BAB 12: ISTRI KEDUA SUAMIKU



"Jemputanmu belum datang, Rin?" tanya Anggun menghentikan sepeda bututnya di depan Karina. Sahabat sekaligus teman sebangkunya sejak pertama kali masuk SMP. Walaupun Karina Santoso terkenal sebagai anak orang kaya yang kalau ngomong asal ceplas-ceplos, dia tidak pernah memamerkan duit bokapnya. Lagian, tanpa pamer juga murid-murid sudah tahu kalau dia sering diantar jemput sedan mewah. "Aku antar, yuk! Aku kan selalu ngelewati rumahmu kalau pulang."

"Gak, ah. Naik sepeda panas, banyak debu!" balas Karin sambil mengelap peluh di dahinya. "Ke mana sih Pak Mamat? Sudah jam dua, tapi hidungnya belum nongol."

"Ban mobilnya bocor kali, Rin. Kenapa gak SMS aja, sih?" balas Anggun yang sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Karin. Dia sudah hafal adat teman yang otaknya jarang dipakai itu. Meskipun mulutnya pedas kayak cabai setan, bagi Anggun dia tetap gadis yang baik. Buktinya mau berteman dengan gadis miskin sepertinya yang hanya mengandalkan beasiswa untuk masuk ke sekolah elit tanpa biaya sepeser pun. Di saat teman-teman lain menjauh darinya, hanya Karin yang nempel terus seperti kutu rambut tanpa embel-embel minta sontekan saat ulangan.

"Benar juga, ya. Thank you, Nggun. Kamu memang jenius!" 

"Makanya kalau di kelas jangan kebanyakan molor biar otaknya gak tengkurep!"

Karin langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan belum sempat dia menekan tombol huruf, mobil Pak Maman sudah berhenti di depannya. "Maaf, Non. Ban bocor," ucap Pak Mamat ketika dia membuka jendela.

"Nah, betul kan kataku, Rin!"

"Kamu memang cenayang, Nggun. Soal-soal ujian aja kamu bisa tahu jawabannya."

"Anggun gitu, loh!" Anggun menjawab dengan bangga dan Karin masuk ke dalam mobil tanpa protes. "Hati-hati ya, Princess. Jangan sampai nabrak pangeran!" kata Anggun lagi sebelum Karin menutup jendela dan belum ada dua kilo meter Pak Mamat mengendarai mobil, terjadi kerumunan persis di depan mobil yang menimbulkan kemacetan.

"Gara-gara Anggun, nih. Omongannya manjur kayak tukang obat!" gerutu Karin berusaha melihat apa yang sedang terjadi dari tempatnya duduk. "Tabrakan ya, Pak?"

"Gak tahu, Non."

Daripada mati penasaran, Karin turun dari mobil dan begitu melihatnya, Pak Mamat ikut-ikutan turun dari mobil. Kalau ada apa-apa dengan bos mudanya itu, bisa-bisa dia dipecat.

"Permisi permisi ...." Suara Karin berusaha memecah kerumunan agar orang-orang mau memberinya jalan. "Ada apa sih, Pak?"

Tak ada yang menjawab pertanyaan Karin karena tidak tahu anak itu sedang bertanya pada mereka. Yang jelas, semua mata sedang tertuju pada seorang pemuda yang dihajar preman, sementara itu seorang ibu dengan perut besar yang sedang merintih kesakitan di atas becak. 

"Kok gak ada yang nolongin sih, Pak?" tanya Karin sengit.

"Gak ada yang berani, Dik. Nunggu polisi datang saja."

"Kalau nunggu polisi, keburu KO dan itu ibu sudah brojol bayinya!" Meskipun sudah bicara seperti itu, terap tak ada yang bergerak, tak ada yang peduli. Entah karena takut atau memang tak ingin tontonan gratis mereka selesai sebelum mereka puas melihat. Dan Karin dengan gagah berani maju untuk menghentikan tiga preman itu memukuli seorang anak SMA itu dengan kesal.

"Om, jangan main hakim sendiri, dong!"

Ketiga preman itu berhenti menghajar anak lelaki itu yang sudah setengah teler babak belur. "Biar dia tahu rasa. Kalau bawa motor hati-hati!"

"Maaf, Bang. Ibu ... ibu saya akan segera melahirkan." Brian mencoba mengeluarkan segenap tenaganya. "Tolong kasihani saya, Bang."

Hati Karin berdenyut sakit melihat anak itu meminta belas kasihan. "Kan tinggal benerin aja Om kalau mobilnya lecet!"

"Masalahnya dia gak mau bayar kelecetan mobil kami!" 

"Saya tidak punya uang, Bang," sela Brian yang tak berhenti melirik ibunya. Siang ini dia tiba-tiba mulas dan terpaksa Brian harus mengantarnya ke rumah sakit menggunakan becak ayahnya. Sejak ayahnya meninggal tiga bulan lalu, Brian-lah yang menggunakan becak itu untuk manarik penumpang. Dan apesnya, hari ini dia tak sengaja menyenggol sebuah yang diisi oleh preman karena terburu-buru.

Karin yang kesal akhirnya mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. "Berapa sih Om?" tanyanya dengan bibir yang dimonyong-monyongkan.

Ketiga preman itu saling pandang sebelum mengajukan harga. "Lima ratus!"

Gadis itu tersenyum sinis. Dasar perampok! Pikir Karin gemas lalu mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. "Nih, sejuta!"

"Tengkyu Adik Manis! Kamu pasti kaya ya bisa ngasih dua kali lipat ke kita?" Baru preman itu hendak pergi Karin buru-buru mencegahnya. Enak saja, mentang-mentang sudah dapat uang langsung kabur.

"Bantuin ibu itu masukin ke dalam mobil dong, Om! Kan sudah dibayar."

"Beres, Bos!" Dengan cepat orang-orang itu membantu ibu Brian masuk ke dalam mobil sementara Brian sendiri masih bengong dan melihat betapa mengagumkannya gadis itu. Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam mengkilap, dan wajah cantiknya terlihat bercahaya. Barangkali kalau malaikat benar-benar ada di bumi, pasti itulah wujudnya.

"Eh, jangan bengong aja, dong! Kamu gak mau kan ibumu melahirkan di jalan?"

Brian akhirnya sadar dan buru-buru meminggirkan becaknya. Dia setengah berlari mengikuti Karin di belakang dan dengan aba-aba, Pak Mamat menjalankan mobilnya ke rumah sakit terdekat.

***

Begitu sampai di UGD, perawat tidak langsung menangani ibu Brian yang merintih kesakitan. "Urus administrasi dulu ya, Pak," kata salah seorang perawat pada Pak Mamat. Mungkin mereka mengira wanita itu adalah istri Pak Mamat. 

Pak Mamat menoleh pada Karin dengan cemas. "Gimana nih, Non?"

Karin berpikir sejenak. Dia ingat kata-kata papanya, kalau melakukan sesuatu kerjakan sampai tuntas. Jangan setengah-setengah. "Eh, kamu!" Karin memanggil pemuda yang masih bengong melihat ibunya. 

"Ayo ikut ke administrasi. Kata Suster harus cari kamar dulu."

Brian dan Pak Man mengikuti tanpa protes, habisnya mau gimana lagi? Di antara mereka bertiga hanya Karin yang punya uang. "Siapa nama pasiennya?"

Karin menoleh pada Brian. "Jawab, tuh." 

Brian menjawab dengan terbata sambil sesekali menahan nyeri di tubuh dan wajahnya dan begitu pendaftaran selesai, barulah ibu Brian ditangani dan dipindahkan ke ruang yang telah dipesan. "Nih," ucap Karin menyerahkan kartu kredit miliknya yang jarang dipakai. "Passwordnya Karin12."

"Apa ini?"

"Kartu kredit. Masak kamu gak tahu?" Brian bukannya tidak tahu, tetapi bingung. Gadis itu sudah menolongnya dari amukan preman, membawa ibunya ke rumah sakit, dan sekarang memberikan kartu kreditnya?

"Tapi ...." Seolah-olah tahu kegelisan Brian, Karin langsung menyahut.

"Kamu gak mau ibumu melahirkan di jalanan, kan?"

Brian yang kehabisan kata-kata menggeleng. Delapanbelas tahun dia hidup di dunia, baru kali ini bertemu orang sebaik Karin. 

"Nah, kalau begitu ambil ini. Limitnya seratus juta."

"Seratus juta?"

"Ya. Kalau sudah selesai urusanmu, kembalikan padaku."

"Tidak takut aku menghabiskan uangmu?"

"Tenang saja. Uang segitu gak ada artinya buat papaku," jawab Karin dengan nada pongah. Dan belum sempat Brian meminta alamatnya, gadis itu telah menghilang dari hadapannya dan kehidupannya. Tak pernah lagi dijumpainya malaikat penyelamatnya, gadis yang telah mengambil hatinya, dan cinta pertamanya.


0 Comments