BAB 11: ISTRI KEDUA SUAMIKU

 


Karin memandangi wajahnya di depan cermin dengan nanar ketika suster mulai memotong rambutnya. Pelan, tapi pasti helai-helai rambutnya mulai berjatuhan ke lantai. 

"Nanti pasti akan tumbuh lagi, Bu," hibur Suster Bella yang mulai mengerok pangkal rambut Karin hingga terlihat seperti kulit.

Karin tidak menjawab. Iya kalau akan tumbuh lagi. Kalau justru dia yang tak pernah bangun lagi gimana? Wanita itu menghela napas panjang sedangkan Anggun terus menggenggam tangan sahabatnya. 

"Aku akan memberikanmu hadiah wig saat bangun nanti. Tinggal bilang padaku kamu mau model apa."

"Apa saja yang penting bukan model bulu ayam atau anjing pudel."

Anggun terpaksa tersenyum, sebenarnya bukan Karin saja yang takut untuk melakukan operasi, sahabatnya itu pun tak kalah takutnya. Bagi Anggun, Karin-lah sahabat satu-satunya yang dia miliki. Hanya dia yang tak pernah memandang siapa Anggun dan tidak pernah memanfaatkannya seperti orang lain. 

"Om dan Tante bilang akan datang nanti malam sebelum kamu operasi."

"Aku tahu."

"Bagas masih sekolah."

"Aku juga tahu," jawab Karin kemudian tak ada lagi yang bicara di antara mereka. Keduanya diam dan hanya Suster Bella yang melakukan tugasnya dengan baik hingga kepala Karin benar-benar plontos. Tak ada sehelai rambut pun yang tersisa. 

"Rambutnya mau disimpan, Bu?"

"Tidak. Bua ...."

"Taruh saja di meja, Sus!" sela Anggun cepat. "Saya akan menyimpannya."

"Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi." 

"Mau buat apa rambutku?" tanya Karin begitu Suster Bella pergi. Anggun yang mengambil plastik berisi rambut itu menggenggam rambut Karin erat.

"Tenang, gak ada dukun yang bisa nyantet kamu. Mereka kalah saing!"

"Sialan!"

Anggun meletakkan plastik itu di atas meja kemudian duduk di pinggir ranjang untuk memeluk sahabatnya. "Jangan mati dulu, ya. Neraka sedang penuh."

"Huuumm!" Tak terasa air mata mengalir di pipi keduanya. Mereka saling memeluk, saling mengasihi meski tak pernah ada kata manis yang tercucap. 

***

Dokter Brian mencuci kedua tangannya hingga siku dengan hati-hati lalu menaruhnya di depan dada begitu selesai. Dia membuka pintu OK dengan kakinya yang panjang kemudian seorang perawat memakaikan jas untuknya. 

"Tegang, Dok?" 

"Sedikit," jawab Dokter Brian sambil menarik napas perlahan. 

"Tumben, Dok? Karena pasiennya galak, ya?" goda Suster Fitri yang sudah mendengar desas-desus pasien yang akan dioperasi hari ini. Dia terkenal tidak ramah dan nada bicaranya selalu judes kepada perawat dan dokter. 

"Lebih galak mana sama Dokter Hartono?" 

Suster Fitri tertawa kecil. Dokter Hartono memang dokter anestesi yang terkenal garang seperti macan tutul terutama bagi koas di bangsal bedah. Salah sedikit saja dia tak akan berhenti ngoceh. Persis seperti knalpot motor balap yang ada di sirkuit. "Kalau itu, gak perlu diragukan lagi, Dok. Sepuluh tahun saya di OK, tetap merinding!"

Seperti biasa Dokter Brian hanya tersenyum lalu berjalan menuju pasien yang telah menunggunya dengan perasaan tak karuan. Karin hanya menatap ka atas, melihat lampu-lampu berpendar, sesekali menutup mata sambil mencari-cari sesuatu. Malaikat maut, jangan datang padaku. Cari saja pasien yang lain. Oke? Kata Karin entah pada siapa dan pergolakan hatinya terhenti ketika dia mendengar suara langkah kaki itu. Langkah kaki yang yang entah kenapa sudah terpatri di dalam otaknya. Langkah yang besar dari kaki yang panjang dan setiap pijakannya terdengar mantap. 

"Selamat malam, Bu Karina. Bagaimana kabar Anda?"

Karin membuka matanya dan Dokter Brian yang telah mengenakan jas operasinya dan menggunakan masker telah berdiri tegak di sampingnya. 

"Adakah orang yang baik-baik saja saat kepalanya akan dibedah?"

Dokter Brian tertawa kecil. Dalam keadaan genting saja Karin masih judes, masih tempramen, dan justru itulah yang disukai Dokter Brian darinya. Tipe perempuan idamannya yang tidak tertarik dengan wajahnya yang tampan, yang tidak memuji atau berusaha dekat padanya seperti perempuan-perempuan lain. 

"Dari cara bicara Anda, saya yakin Anda baik-baik saja."

"Tidak baik kalau dokter bedahnya tukang jagal!" gerutu Karin, tapi Dokter Brian yang mendengarnya tidak marah, tidak pula tersinggung. Dan begitu semua persiapan selesai, Dokter Hartono mulai melakukan tugasnya sebagai dokter anestesi. 

Selama tiga jam dokter spesialis saraf, dokter bedah saraf, dan dokter anestesi melakukan tindakan operasi dengan lancar. Pasien juga tak perlu melakukan transfusi darah. Dan begitu semua selesai, Karin dipindahkan ke ruang ICU. Dokter Brian bernapas lega, dia berterima kasih pada Dokter Hartono dan Dokter Hadi karena telah membantunya. 

"Pasien spesial?" goda Dokter Hadi yang bisa merasakan ada yang berbeda dengan teman sejawatnya. Biasanya Dokter Brian kalau berdoa hanya sebentar, tetapi kali ini doanya cukup lama sebelum tindakan dimulai. Dokter Hartono sampai menyelesaikan doanya terlebih dahulu sebelum tangannya keram..

Dokter Brian hanya menjawab dengan senyuman kemudian keluar OK dan menemui keluarga pasien yang telah menunggu di lorong.

"Bagaimana keadaan Karin, Dok?" tanya Mama dan Papa bersamaan. Sedangkan Anggun yang sedang mengelus-ngelus rambut Bagas yang tertidur di pangkuannya mendengarkan dengan saksama. 

"Baik, Bu, Pak. Semuanya lancar. Kalau Bu Karin sudah sadar, kami akan memindahkannya ke ruang inap." 

Ada perasaan lega dari ketiga orang itu ketika mendengar jawaban Dokter Brian. Namun, mereka belum bisa bernapas lega. Karin masih dalam pengaruh obat bius dan peelu dilakukan serangkaian tes setelah dia sadar untuk memastikan bahwa fungsi tubuh lasien bekerja dengan normal.

"Terima kasih, Dok," balas Papa dengan suara gemetar kemudian Mama memintanya kembali duduk. 

"Karin pasti baik-baik saja, Pa. Tuhan masih memberikan kita kesempatan untuk menebus dosa," kata Mama sambil menyandarkan kepala di bahu Papa yang ringkih. 

"Sama-sama, Pak, Bu. Ada baiknya kalian pulang saja ke rumah, besok pagi ke sini lagi. Saya tidak ingin Pak Santoso begadang di rumah sakit."

"Tapi ...." 

Belum sempat Papa meneruskan kalimatnya, Dokter Brian keburu menyela. "Soal Bu Karin, serahkan saja pada saya. Saya yang akan mengobservasinya sendiri."

"Betul, Om," sahut Anggun bersemangat. "Kita serahkan saja pada Dokter Brian. Iya kan, Dok?" Anggun mengerlingkan mata dan pria ity hanya tersenyum.

Papa mendesah pelan. "Baiklah kalau begitu. Besok juga Bagas harus sekolah."

"Mari saya antar sampai parkiran, Pak."

"Tidak perlu, Dok. Kami sudah cukup merepotkan Dokter."

"Ah, tidak apa-apa. Saya akan membantu membawa Bagas. Kasihan kalau dibangunkan," jawab Dokter Brian yang langsung membawa tubuh Bagas menuju mobil Anggun yang terparkir. 

"Seandainya suami Karin adalah Dokter Brian," keluh Mama yang membantu Papa berjalan. 

"Tenang saja, Tan. Masih ada kesempatan bagi Dokter Brian."

"Menurutmu, Karin akan menuntut cerai?"

Anggun yang membawakan tas Mama tersenyum lebar. "Kenapa tidak? Anggun yakin bahwa Karin dan Dokter Brian memiliki ikatan takdir!"

"Kayak cenayang aja kamu, Nggun," sahut Papa yang akan merasa senang seandainya itu benar-benar terjadi. 

"Yang mana mobilnya, Bu?" tanya Dokter Brian ketika mereka sudah sampai di parkiran. 

Anggun buru-buru berlari dan membuka pintu mobilnya. "Taruh di sini saja, Dok," kata Anggun menggeser bantal untuk Bagas. 

"Terima kasih, Dokter. Maaf telah merepotkan," kata Mama begitu mereka telah masuk ke dalam mobil.

"Sama-sama, Bu."

"Dokter, tolong jaga teman saya, ya," goda Anggun sebelum menjalankan mobil dan Dokter Brian hanya tersenyum karena tanpa diminta pun dia pasti akan menjaga Karina.

0 Comments