BAB 13: ISTRI KEDUA SUAMIKU

 



"Karin ...." Papa berkata dengan nada serius sambil mempertlihatkan tagihan kartu kredit di depannya. "Siapa yang sakit? Kenapa ada tagihan dari rumah sakit sebesar ini?" 

Karin yang sedang makan soto ayam bikinan Mama menjawab dengan santai. "Karin belum bilang sama Papa, ya?" jawab Karin menghentikan suapannya padahal sedang enak-enaknya karena dia menambahkan banyak bawang goreng.

"Belum."

"Hehehe. Bulan lalu Karin nolongin orang, Pa. Nah, dia mau lahiran di jalanan, terus ... duh, panjang deh ceritanya, Pa. Intinya nolongin orang gitu."

"Terus kamu nolongin dia pakai kartu kredit yang baru Papa kasih?"

"Iya. Kalau gak percaya, Papa tanya deh sama Pak Mamat," sahut Karin yang sedang menikmati tempe goreng garing. Masakan Mama memang TOP. Restoran bintang tujuh saja kalah. "Ma, sotonya masih ada, gak?" 

"Masih, Sayang. Mau bawa bekal ke sekolah?"

"Iya deh, Ma. Sekalian bungkusin buat Anggun ya, Ma." 

Mama yang masih sibuk di dapur langsung membuatkan bekal untuk putrinya. Sejak menikah dengan Santoso, Rosmia tak punya pekerjaan lain selain menjadi ibu rumah tangga. Mengurus suami dan anaknya adalah hal yang dia lakukan untuk membunuh waktu.

"Buat Anggun Mama bungkusin double ya, Rin."

"Sip!" Karin mengacungkan jempolnya lalu memandang Papa yang sedang terdiam. "Papa gak marah, kan? Papa kebobolan?"

"Papa tidak marah. Justru Papa kagum. Jika orang lain yang menggunakan kartu kredit itu, pasti sudah mencapai limit."

"Bagus dong, Pa. Berarti dia orang yang tahu berterima kasih."

"Sudah sudah. Cepat pergi ke sekolah. Pak Mamat sudah nungguin, tuh," celetuk Mama menaruh tas kedap udara berisi bekal makan siang. 

"Thank you, Ma. Mama emang the best, deh!" 

"Kenapa, Pa?" tanya Mama ketika melihat suaminya bengong saat Karin sudah berangkat sekolah. 

"Gak apa-apa, Ma. Oya, sekalian bungkusin bekal untuk Papa, ya."

"Papa gak malu makan bekal di kantor?" goda Mama sambil membereskan meja makan. Biarpun ada Bik Munah, Mama tetap bersih-bersih sendiri untuk meringankan beban Bik Munah.

"Buat apa malu? Kan gak cuma sekali Papa makan bekal bikinan Mama."

"Papa masih mikirin Ningsih?" tanya Mama berterus terang karena tak tahan melihat raut wajah Santoso. Waktu mereka menikah dulu, Rosmia tahu suaminya sudah memiliki istri dan meninggalkan mereka karena itu permintaan orangtua Rosmia. Jika ingin menikahi anaknya, maka Santoso harus meninggalkan keluarganya. Dengan begitu Santoso tak hanya mendapatkan istri secantik Rosmia, tetapi juga mendapatkan modal dari mertuanya untuk mendirikan usaha. Berbekal ketekunan dan kerja keras, Santoso bisa membangun perusahaannya sendiri dan menjadi lelaki yang sukses. Namun, di balik itu semua ada setitik rasa bersalah kepada anak dan istrinya yang pertama. Dia tidak tahu di mana mereka saat iji, punya tempat tinggal layakkah? Atau apakah mereka bisa makan kenyang setiap hari?

"Pa ...." Mama memegang bahu suaminya dan beekata dengan lembut. "Mama tahu Papa merasa bersalah, tetapi Mama juga tahu bagaimana usaha Papa mencari Ningsih dan anaknya."

"Maafkan Papa telah menyakitimu sampai saat ini, Ma."

"Justru Mama yang ingin minta maaf. Karena Mama, Papa terpaksa harus meninggalkan keluarga Papa."

Santoso memegang tangan istrinya dan menariknya ke pangkuan. "Papa tidak pernah terpaksa bersamamu, Ma. Sejak melihatmu, aku langsung jatuh cinta padamu terlepas siapa kamu. Kamu tidak pernah memandang derajat orang lain, di matamu semua sama termasuk aku yang saat itu masih menjadi buruh pabrik ayahmu."

"Tapi Papa dulu mengagumimu, Pa. Kamu rajin, pekerja keras, inovatif, dan ulet."

"Aku tidak bisa memungkiri itu. Kalau tidak, mana mau dia menyerahkan putri satu-satunya padaku."

Mama tertawa kecil dan memeluk suaminya. Meskipun saat ini dia merasa bahagia, tetapi jauh di dalam hatinya Rosmia merasa takut dan bersalah karena telah merebut kebahagiaan wanita lain demi keegoisannya. Jika karma itu ada, akankah Rosmia mendapatkan balasannya?

***

Dokter Brian mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya, kartu kredit yang sudah selama 18 tahun ia simpan dan selalu dibawa ke mana pun dia pergi. Sejak terakhir kali kejadian di rumah sakit delapan tahun lalu, dia tak pernah lagi bertemu dengan Karina, anak perempuan yang tanpa ragu memberikan bantuannya padanya. Dan anehnya, kartu kredit itu tak pernah diblokir. Beberapa kali dia dalam keadaan terdesak saat ibu atau adiknya sakit, Dokter Brian dengan rasa bersalah menggunakan kartu itu dan berjanji akan mengembalikan hutang-hutangnya suatu saat nanti. 

"Dok! Ada pasien!" kata Suster Mala mengetuk ruangannya. Kebetulan malam ini dia yang berjaga.

"Di mana pasiennya, Sus?" tanya Dokter Brian bergegas.

"Sudah dibawa ke bangsal dua, tapi kata keluarga pasien ada yang ingin didiskusikannya dengan Dokter."

Dengan cekatan Dokter Brian menuju bangsal dua diikuti Suster Mala. Suster yang kebetulan harus lembur karena temannya sedang sakit. 

"Siapa nama pasiennya, Sus?"

"Karina Santoso, Dok."

Langkah kaki Dokter Brian terhenti di depan kamar yang berisi dua orang. Karina Santoso? Karina yang itukah? Dokter Brian bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah akhirnya Tuhan mendengar doa-doanya?

"Ada yang salah, Dok?" tanya Suster Mala bingung.

"Ah, tidak apa-apa. Ayo masuk, Sus."

Dokter Brian masuk ke ruang inap dengan perasaan tak menentu. Jantungnya berdebar kencang dan matanya tertuju pada pasien baru yang masih tertidur. Mula-mula Dokter Brian ragu, tapi setelah melihat bagaimana wajah Karin, Dokter Brian yakin pasti dialah gadis SMP yang dulu pernah menolongnya. Meskipun kini kerutan di wajahnya sudah terlihat dan nampak lebih tua dari umurnya, tetapi Dokter Brian yakin dia tak salah terka. Baginya tak ada wanita lain yang secantik bidadarinya, seorang gadis yang selama delapan tahun ia sebut di dalam doanya. Namun, ada sedikit kecewa saat lelaki itu tahu bahwa orang yang dinantikannya kini telah menikah dan memiliki anak. 

"Apa lagi yang kamu harapkan, Brian? Bukankah kamu hanya ingin balas budi?" rutuk Dokter Brian pada dirinya sendiri.

"Bagaimana, Dok?" tanya Anggun yang membuyarkan lamunan lelaki itu. "Saya takut sel kanker Karin akan semakin menyebar. Malam ini dia pingsan karena melihat foto perselingkuhan suaminya, tapi besok siapa yang tahu? Oh, Tuhan ...."

Jadi, suaminya selingkuh? Apakah mungkin mereka akan bercerai? Itu berarti aku masih punya kesempatan? Lagi-lagi Dokter Brian terhanyut dalam pikirannya sendiri yang dinilainya tak bermoral karena mengendaki rumah tangga orang lain rusak.

"Bagaimana, Dok?"

"Ah, soal itu sebaiknya besok kita lakukan tes terlebih dahulu. Pasien tidak pernah memeriksakan diri ke rumah sakit ini sebelumnya, kan?"

Anggun menggeleng cepat. "Baiklah kalau begitu. Kali ini saya akan memaksa Karin untuk melakukan operasi. Apa pun risikonya!"

***

"200 joule!" kata Dokter Brian yang sejak tadi berusaha membuat jantung Karina kembali berdetak karena tiba-tiba bedsite monitor menunjukkan EKG bergaris lurus. "Kumohon, Rin. Bangunlah," gumam Dokter Brian sementara perawat yang bertugas di ruang ICU sama tegangnya dengan Dokter Brian. "Beri aku kesempatan untuk membalas kebaikanmu."

Tut ... tut ... tut ... setelah berjuang keras akhirnya monitor menunjukkan bahwa jantung Karin kembali berdetak dengan normal. Suster Mia dan dan Dokter Brian langsung tertunduk lesu, hampir saja mereka kehilangan satu pasien lagi malam ini. Meskipun di rumah sakit kematian bukanlah hal tabu, tetapi tetap saja sebagai seorang petugas kesehatan nyawa manusia adalah hal yang berharga.

"Doter ...," panggil Suster Mia ketika Dokter Brian membantunya membereskan defibrilator. 

"Ya, Sus?"

"Pasien membuka matanya, Dok."

Pria itu langsung menoleh ke belakang dan dilihatnya Karin matanya telah terbuka setelah dua jam pasca operasi. "Selamat malam, Bu. Anda bisa mendengar suara saya?" terdengar nada bahagia dari suara Dokter Brian.

Karin hanya membalas dengan kedipan mata. Dia tak menyangka bahwa orang yang pertama kali dia lihat saat kematian hampir menjemputnya adalah dokter yang beberapa hari menguras kejengkelannya. 

"Apakah Anda bisa menggerakkan tangan?"

Karin dengan sekuat tenaga menggerakkan jari-jarinya. Dia merasa dibodohi karena pertanyaan bodoh pria itu.

Dokter Brian tersenyum  lalu berjalan ke arah kaki Karin dan membuka selimut. "Tolong gerakkan kaki Anda."

Karin menurut sambil mengumpat dalam hatinya. Dia belum mati, tak perlu disuruh menggerakkan tangan dan kaki. 

"Syukurlah. Saya senang Anda bisa menggerakkan anggota tubuh."

Karin hanya mendesah dengan sangat pelan. Dia belum mampu membuka mulut, tetapi bisa melihat senyum Dokter Brian dengan jelas. Senyum yang entah kenapa hadir ketika tadi sesosok makhluk berpakaian serba putih menghampiri dan ingin mengajaknya pergi. Malaikat mautkah itu? Pikir Karin dengan tangan gemetar. 

"Jangan pergi, Rin." Kata-kata itu masih teringat jelas di kepala Karin. Perkataan seorang anak lelaki yang bahkan tak pernah ada di dalam mimpinya dan bahkan dia sudah melupakannya. "Beri aku kesempatan untuk membalas kebaikanmu," katanya lagi lalu menarik tangan Karin dengan erat saat dia hendak melangkah ke gerbang yang dipenuhi cahaya. Karin tidak tahu siapa anak itu, tetapi sekarang Karin ingat. Anak yang memanggil dan menggenggam tangannya adalah orang yang pernah dia selamatkan delapan belas tahun lalu. 


0 Comments