Pesona Istri Kecilku (16)

 

Novel pesona istri kecilku

Begitu selesai mengganti baju, Kristina lansung membimbing Sinta bagaimana cara memakai makeup. Tipis-tipis saja karena Sinta memiliki keunggulan tersendiri. Wajahnya yang kecil sudah dipahat sempurna oleh Sang Pencipta yang tanpa diapa-apakan pun sudah cantik secara apami. Dan rambutnya yang hitam dan berkilau, sengaja tidak Kristina apa-apakan lagi. Dibiarkannya tergerai begitu saja dan voila! Pesona Sinta makin memancar. Wajah blasteran Belanda-Jawa yang melekat pada dirinya begitu memukau. Kalau saja Sinta tinggal di kota besar dan memiliki keluarga yang berada, pasti dia sudah menjadi artis terkenal. Pikir Kristina.

Gadis itu jadi ingat saat bosnya memberitahu bahwa dia akan mencari istri, tetapi bukan perempuan dari golongan pebisnis, artis, apalagi seorang model. Dewangga bilang dia tak mau direpotkan oleh perempuan karena biasanya mereka hanya bisa menuntut. Dia juga tak ingin dimanfaatkan sebagai alat bisnis atau penunjang ketenaran. Yang Dewangga butuhkan hanya perempuan pendiam yang tak menuntut cinta darinya pun tidak memanfaatkan apa yang dimilikinya. 

Huh! Kristina mendesah pelan. Dia memang tidak mengerti dengan bosnya itu. 

"Cantik ya, Mbak," gumam Sinta saat melihat pantulan wajahnya di cermin. Kristina tersenyum karena apa yang dikatakan Sinta memang kenyataan. "Mbak Kris juga cantik. Matanya ijo kayak padang rumput yang banyak bunganya," puji Sinta sungguh-sungguh. Ya, meskipun pujian gadis itu terdengar sedikit aneh. Maklum saja Sinta memang bukan orang yang pandai bersosiaoisasi karena ruang lingkup hidupnya sangat terbatas.

Kristina tertawa kecil tanpa merasa tersinggung sedikit pun. "Kalau mata saya ini palsu, Bu. Aslinya warna hitam."

"Palsu?" Sinta bertanya bingung. Memang ada mata palsu? Kayak boneka saja.

Melihat wajah Sinta yang kebingungan, Kristin melepaskan soft lense miliknya dan menunjukkan pada Sinta. "Ini namanya soft lense, Bu. Warnanya bisa macam-macam."

Oh, ini yang namanya soft lense? Sinta akhirnya tahu apa yang dimaksud Mona kemarin. 
Ternyata dia ngira aku pakai mata palsu? Mataku kan asli! Pikir Sinta jengkel karena kemarin dia ketakutan matanya akan dicongkel. 

Setelah selesai bersiap, Kristina mengajak Sinta pergi ke restoran untuk sarapan. Gadis itu tidak berhenti mengagumi Kristina. Meskipun dia memiliki tubuh yang bisa dibilang gendut, tetapi Kristina sangat lincah. Dia pandai memadupadankan pakaian yang cocok untuk. Juga pintar menata rambut dan make up. Menurut Sinta, Kristina sangat cantik.

Sepanjang perjalanan menuju restoran, ke butik, dia tak pernah berhenti memandang Kristina saat menyetir. Sangat lincah. Mempesona. Belum pernah sebelumnya dia melihat wanita yang menyetir. Saat di kamoung, beberapa kali dia melihat ada perempuan yang naik motor dan dia jadi ingin naik motor pula karena baginya bisa naik motir itu keren. Sayangnya dia tidak pernah mendapatkan kesempatan itu, bahkan naik sepeda pun tidak. Kata bapaknya, buat apa? Tugas Sinta cukup bantu-bantu ibunya di rumah dan kebun. Tak perlu bisa naik sepeda atau motor.

"Bu Sinta ingin latihan menyetir? Saya bisa ajari." Kristina menawarkan dengan sopan.

Mata Sinta yang seperti birunya langit itu berbinar-binar. Persis seperti mata ibu-ibu kalau habis nerima gajian dari suami. "Betul, Mbak?"

"Betul, dong. Masak saya bohong."

"Kalau nabrak gimana, Mbak? Soalnya Sinta gak bisa naik motor."

"Jangan kuatir, Bu. Belajar nyetir lebih mudah daripada belajar naik motor," kata Kristina santai. 

"Gak jadi ah, Mbak. Takut. Kalau mobilnya rusak gimana? Mobil kan harganya mahal "

Polos sekali! Pikir Kristina. Dia menganggap bahwa Sinta sama sekali tidak mengetahui siapa calon suaminya dan sekata apa lelaki itu. Jangankan memperbaiki mobil yang seandainya rusak kalau dia gunakan untuk belajar menyetir, kalau mau, Dewangga bisa membeli showroom mobilnya sekalian. 
"Kita mau jenguk Nenek?" tanya Sinta ketika mereka sampai di parkiran rumah sakit. Sinta maaih ingat nama rumah sakit itu. 

"Iya, Bu. Pak Dewa meminta saya membawa Bu Sinta ke sini," jawab Kristina sopan. Dia langsung membukakan pintu untuk Sinta ketika gadis itu kesulitan melepaskan sabuk pengaman. Begitu sampai di ruang rawat Melati Wijaya, dia kaget ternyata di sana juga ada Dewangga. 

"Pak Dewa ada di sini?" 

Seperti biasa, lelaki itu pura-pura cuek dan tidak membutuhkan. 

"Ke marilah, Nak," kata Nenek sambil mengayunian tangannya. "Biarkan orangtua ini memelukmu."

Sinta menoleh pada Dewangga, tetapi pria itu justru membuang muka dan melihat ke arah lain. Nenek tertawa kecil dan melambaikan tangannya lagi. "Jangan takut. Ke sinilah."
Gadis itu mendekat perlahan dan memeluk Nenek. "Kamu harus banyak makan biar gemuk," kata Nenek sambil mengelus rambut Sinta dengan penuh kasih sayang. 

"Baik, Nek. Tapi rumah Pak Dewa gak ada makanan. Sinta buka satu-satu lemari di dapur, adanya cuma piring. Di kulkas adanya air."
Ehem! Dewangga berdehem. Dia tidak tahu kalau Sinta tukang ngadu.

"Ha-ha-ha. Nanti kalian bisa belanja di supermarket."

"Supermarket?" Sinta nampak kebingungan. Cepat-cepat Nenenk meralat kalimatnya. 
"Pergi ke pasar. Oya, kenapa wajahmu, Nak?" tanya Nenek yang masih bisa melihat goresan di pipi Sinta padahal Krisna sudah berusaha menutupi menggunakan concealer.

"Ini?" Sinta memegang pipinya sambil tersenyum. "Sinta kalau tidur suka garuk-garuk pipi, Nek. Makanya begini.

Tentu saja Nenek tahu kalau Sinta sedang berbohong. Dia sudah terlalu berpengalaman untuk tahu mana yang dusta dan tidak. Melati Wijaya menjadi perempuan terkaya di Asia bukan tanpa keahlian. 

Wanita tua itu melihat ke arah Dewangga yang berusaha menghindari pandangan neneknya.
"Dewa?" panggil Nenek dengan suara yang berwibawa. Meski suaranya lemah, tetapi masihengandung magis. Barangkali ketegasan dan kelembutan suara itulah yang menjadikannya pebisnis sukses.

"Ya."

"Kamu tahu apa kesalahanmu?"

Tanpa menjawab, lelaki itu langsung berlutut. Pemandangan itu sangat biasa bagi Kristina, tetapi tidak bagi Sinta. Dia langsung ikut berlutut meski tidak tahu alasan kenapa Nenek menyuruh cucunya untuk berlutut.
"Sinta? Kenapa ikut berlutut?" tanya Nenek cemas karena tindakan Sinta yang tiba-tiba.

"Karena Nenek nyuruh Pak Dewa berlut gara-gara Sinta, kan? Karena Sinta pas tidur garuk-garuk pipi?"

Sungguh polos dan baik anak ini. Nenek mendesah lembut lalu meminta Sinta untuk berdiri, tetapi gadis itu menolaknya dengan tegas. "Gak mau! Kalau Pak Dewa berlutut, Sinta juga akan berlutut!"

Nenek tersenyum senang kemudian meminta Dewangga untuk berdiri. "Berdirilah. Kali ini kamu harus berterima kasih pada calon istrimu. Ayo, bantu Sinta berdiri."

Lelaki itu mengulurkan tangannya dan Sinta pun menyambutnya. Entah kenapa dia menyukai tangan itu. Tangan yang besar dan juga hangat. Tangan yang semalam memeluk dan menyentuh pipinya, lalu bibirnya. 

Ah, Sinta jadi malu sendiri. Pipinya memerah karena mengingat kejadian semalam. Rasanya Sinta ingin mengulang hal itu. Merasakan bagaimana lembut bibir Dewangga dan bagaimana terpaan napas lelaki di wajahnya. 

0 Comments