Pesona Istri Kecilku (17)

Novel pesona istri kecilku

 "Sinta, Dewa, mulai sekarang teruslah berpegangan tangan seperti itu. Jangan pernah lepaskan apa pun yang terjadi. Buatlah pernikahan kalian bahagia dan ciptakan rumah yang damai." Nenek memberi wejangan pada dua cucunya. Baginya di usia yang sudah lanjut ini, kebahagiaan keluarganya adalah hal yang paling penting. Apalah artinya harta dan uang kalau tidak ada kebahagiaan dan ketenteraman dalam rumah?


Dulu Melati Wijaya sibuk dengan bisnisnya. Kerja dari pagi sampai pagi lagi. Itu sebabnya dia tidak memiliki waktu untuk mendidik anaknya, Mike Wijaya. 

Anak gadisnya itu hanya diberikan uang, uang, dan uang. Hingga terbentuklah Mike Wijaya yang sekarang. Yang tamak, arogan, selalu merasa dirinya di atas orang lain, dan selalu menganggap semua permasalahan hidup bisa diselesailan uang. 

Nenek sangat menyesali perbuatannya waktu muda dulu, tapi apalah arti sebuah penyesalan. Toh, waktu tidak akan bisa diputar kembali, kan? Dia tak akan bisa mengubah tabiat buruk putri satu-satunya. 

Sekarang yang bisa Melati Wijaya lakukan hanya memperbaiki kesalahannya di masa lalu, meski hanya sedikit, dan tak bisa mengubah masa lalu itu sendiri.

"Baik, Nek," balas Sinta sambil tersenyum karena Dewangga menggenggam tangannya begitu erat. 

"Dan kamu, Dewa ...." Nenek berhenti sejenak karena terbatuk. 

"Nenek gak apa-apa?" tanya Sinta cemas. 

"Tidak apa-apa." Nenek berusaha menjadi kuat, padahal dia sendiri merasa bahwa hidupnya tak akan lama lagi. "Kalian pulanglah. Jangan lupa mampir ke pasar. Dewa, pastikan jaga Sinta. Dia adalah gadis yang baik. Sekarang aku bisa tenang meninggalkanmu."

Dewangga hanya tersenyum karena dia tahu neneknya tak akan hidup lebih lama lagi. Namun, entah mengapa dia tidak bahagia padahal 30% saham milik Nenek telah jatuh ke tangannya. Sekarang, total saham kepemilikan Dewangga menjadi 50% persen dan dia resmi menjadi pemimpin perusahaan. Sementara 10% saham Nenek, telah diberikan pada Sinta dan 10% lagi untuk Mona dan Mike. 

"Kamu tidak protes?" tanya Nenek heran ketika tadi dia menyerahkan surat pembagian saham padanya. 

Jika itu Dewangga yang beberapa hari lalu, dia pasti sudah marah besar karena neneknya memberikan saham sebanyak itu pada pada orang asing, tetapi Dewangga yang sekarang agak berbeda karena yang terpenting baginya sekarang adalah dia pemegang saham terbesar di perusahaan dan resmi menjadi pemimpin. 
"Buat apa?" Dewangga menjawab tak acuh. Pura-pura tak peduli. 

Nenek hanya tersenyum. Dia sangat mengenali karakter cucu kesayangannya itu. 

"Nenek ingin kamu menyimpan semua milik Sinta. Berbuat baiklah pada ibu dan adikmu juga. Bagaimanapun mereka adalah satu-satunya keluargamu kalau aku tidak ada."
Dewangga hanya terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa karena selama ini mereka tidak pernah hidup sebagai keluarga satu kali pun. 

***

"Saya tidak tahu kamu pinter bohong," kata Dewangga sambil menyetir.

Sinta yang sejak tadi deg-degan karena terlalu senang dan tidak berani bicara, akhirnya menolek ke arah lelaki itu. Lagi-lagi Sinta tak bisa berhenti mengagumi ketampanan calon suaminya. Ah, dari samping begini Dewangga juga tak kalah tampan. 

Rahangnya kokoh, alisnya hitam dan tebal seperti ulat bulu, belum lagi bulu matanya yang lentik. Bahkan Sinta merasa bulu matanya kalah lentik. Dia tahu kalau ibu mertuanya juga cantik, tetapi dia berpikir kalau Dewangga, ibunya, dan adiknya, sama sekali tidak memiliki kemiripan. 

"Waktu SD aku memang pintar kok, Pak. Tapi kalo soal bohong, kadang-kadang aja," kilah Sinta dengan raut muka dan suara yang menggemaskan. Ingin rasanya Dewangga mencubit kedua pipi gadis itu, tetapi dia menahannya. Gengsi, dong. Masak main cubit saja. Bisa-bisa image-nya sebagai si tampan yang dingin langsung berganti dengan si perja kantua yang bucin terhadap calon istrinya. 

"Maksud saya, kenapa kamu bohong sama Nenek kalau pipinya kena cakar." Dewangga berusaha menutupi kegemasannya terhadap calon istri kecilnya itu.

"Oalah. Kalau itu sih gampang jawabnya, Pak. Sinta gak mau jadi tukang ngadu! Soalnya yang boleh diadu itu cuma ayam."

Duh, ternyata dia pinter ngeles! Pikir Dewangga geli. 

"Memangnya waktu SD ranking berapa?" tanya Dewangga lagi agar percakapan mereka terus berlanjut. Selain itu dia juga ingin tahu banyak tentang Sinta. Tentang apa makanan kesukaannya, warna, atau film. Meskipun Dewangga sendiri tidak tahu apakah Sinta pernah menonton film atau tidak.

"Satu terus. Kan udah bilang kalau Sinta itu pinter," jawab Sinta dengan nada sedikit sombong. Soalnya dia memang pinter waktu SD. Keadaan saja yang tidak memungkinkan dia itu mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. 

Meski sudah tahu kenapa alasan Sinta tak melanjutkan sekolahnya, Dewangga tetap ingin bicara. Entah mengapa suara manja dan menggemaskan gadis itu bisa mengobati rasa lelahnya. "Terus kenapa gak sekolah lagi?"

Sinta menghela napas berat. "Bapak gak punya duit. Katanya buat apa sekolah? Lebih baik bantu-bantu di kebun milik juragan."

"Mau sekolah lagi?" Dewangga tidak bergurau. Dia bertanya serius. Kalau memang Sinta mau dan ingin belajar, dia bisa mengaturnya. 
"Pengen, sih. Tapi sekolah kan mahal, Pak. Sinta gak punya uang untuk bayar."

Dewangga mendesah panjang. Andai saja Sinta tahu bahwa Nenek baru saja memberinya saham sebesar 10% dan berapa banyak lembaran rupiah jika di uangkan, dia pasti tak akan bicara seperti itu. Namun, Sinta yang sekarang masih sepwrti kertas putih yang polos. Bodoh dan tidak tahu apa-apa. Sebelum waktunya tiba, Dewangga akan menjaga saham itu untuk Sinta. Hingga suatu saat gadis itu menjelma sebagai perempuan dewasa dan bisa memutuskan sendiri hidup seperti apa yang ingin dia jalani. 

Ah, memabayangkannya saja sudah membuat batin Dewangga perih. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah saat dewasa nanti Sinta masih mau menjadi istrinya? Istri dari lelaki tua yang sudah pantas menjadi ayahnya? 
Rasanya lelaki itu ingin menyimpan Sinta untuk dirinya sendiri, tetapi dia tak ingin menjadi egois. Neneknya memberi saham itu tentu bukan tanpa alasan. Orangtua itu pasti bisa membaca potensi dari dalam diri Sinta. 

"Saya yang akan membayarnya."

Tentu saja Sinta senang dia bisa sekolah lagi, tetapi dia takut menghabiskan uang Dewangga. Saat di kampung, bapaknya suka marah pada ibu kalau uangnya habis. Katanya jadi istri tak becus bekerja dan hanya bisa menghabiskan uang saja. 

Seolah tahu apa yang dipikirkan gadis itu, Dewangga mengelus bahu Sinta yang kurus. "Uang saya tidak akan habis kalau cuma untuk nyekolahin kamu."

Mata Sinta langsung kelihatan bercahaya. Dia melihat Dewangga seperti Dewa yang bisa mengabulkan apa pun keinginannya. "Betul?"

"Ya. Tapi ada syaratnya."

"Syarat? Susah gak?"

"Gampang. Tidak sulit."

"Apa syaratnya, Pak?"

"Cium saya," kata Dewangga dengan wajah datarnya. Padahal di dalam hati dia sedang senyum-senyum sendiri.

0 Comments