Pesona Istri Kecilku (15)

 

Novel pesona istri kecilku

Sinta mengerjapkan matanya ketika mendengar suara berisik seperti dengungan mesin. Saat membuka mata, dia melihat Dewangga sedang mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Lelaki itu sudah berpakaian rapi dan aromanya wangi. 
Gadis itu tidak berhenti mengagumi calon suaminya. Tidak hanya tampan, tetapi dia juga perhatian. Sinta masih terngiang bagaimana Dewangga memeluknya semalam. Dia juga menggendong Sinta ke kamar tidur dan menutupkan selimut padanya. Ternyata, menjadi istri bayaran tidak selalu buruk. Pikir gadis itu dengan hati berbunga-bunga. 
"Pak Dewa mau kerja?" tanya Sinta dengan suara yang masih terdengar mengantuk dan mata yang sembab. 
Dewangga memastikan hair dryer. Ditolehnya Sinta yang masih malu-malu di bawah selimut. "Hmm. Ingat apa yang saya katakan semalam?" tanya Dewangga dengan suara datarnya seperti biasa. Padahal, hatinya sedang berdetak kencang dan darahnya mendesir. Dia membayangkan lagi kejadian semalam saat memeluk gadis itu dan mengelus pipi Sinta yang halus seperti bayi. 
Gadis itu mengangguk cepat. "Mbak Kris akan ke sini mengantarkan baju."
"Bagus!" Lelaki itu mengenakan jasnya lalu duduk di atas ranjang. "Ambilkan tasmu."
Sinta meraih tas miliknya yang ada di nakas dan memberikannya pada Dewangga. 
Lelaki itu mengeluarkan dompet dari celananya dan mengeluarkan kartu kredit berwarna hitam bertuliskan diamond. "Ini namanya kartu kredit. Kamu bisa menggunakan untuk belanja apa pun yang kamu inginkan," katanya sambil menaruh kartu itu di dalam dompet Sinta. "Dan ini uang, kamu bisa membeli apa saja yang kamu inginkan." Dewangga memasukkan lagi uang dua juta rupiah ke dalam dompet Sinta. 
Sinta hanya mengangguk saja. Dia belum tahu apa yang akan dia lakukan dengan uang sebanyak itu, tetapi dia akan memikirkannya nanti. 
"Dan untuk Ibu serta adik-adikmu ...." Lanjut Dewangga lagi. Setelah mendengar cerita Sinta semalam, dia merasa kasihan terhadap gadis itu dan entah mengapa rasanya dia ingin menghapus semua kesedihan yang ada di hati Sinta. Apalagi saat dia merasakan bagaimana manisnya bibir gadis itu ....
Ah, untung saja semalam lelaki itu bisa mengendalikan diri. Kalau tidak, dia akan tenggelam dalam pesona Sinta yang belum resmi menjadi miliknya. Pernikahannya dengan Sinta memang nikah kontrak, tetapi bukan berarti pernikahan itu tidak sah, kan? 
Untuk pertama kalinya Dewangga merasa membutuhkan seorang perempuan untuk memuaskan hasratnya. Dan untuk pertama kali pula rasanya dia ingin memberikan semua isi dunia ke pada seorang gadis. Dia benar-benar seperti tersihir. Ingin rasanya Dewangga menyangkal itu semua, tetapi seberapa kerasnya pun logikanya menolak, hatinya tak bisa berdusta. Dia menaruh hati pada gadis kampung itu. Gadis yang berhasil memikat dirinya dengan mata birunya yang cemerlang. 
"Akan saya pastikan ibu dan adik-adikmu tidak akan dikasari oleh ayahmu lagi."
Gadis itu mengangguk. "Satu lagi, jika kebetulan kamu bertemu ibu dan adikku, dan mereka mengasarimu, kamu harus membela diri. Jangan biarkan mereka memukulmu lagi. Mengerti?"
Sinta mengangguk lagi dengan semangat. Seperti apa yang calon suaminya katakan, dia tidak akan membiarkan orang lain menindasnya. Dia tidak boleh mengecewakan Dewangga. 
***
"Selamat pagi, Bu," sapa bodyguard yang sejak semalam menunggui rumah Dewangga. Kristina yang baru saja turun dari mobil langsung tersenyum. 
"Pagi, juga. Ibu di rumah?"
Lelaki berpakaian rapi dan mengenakan jas warna hitam itu menoleh ke arah rumah. Sejak pagi tidak ada yang keluar rumah kecuali Dewangga. "Ibu masih di dalam, Bu."
"Kalau begitu saya masuk ke dalam dulu. Masih ingat kan apa pesan saya semalam? Jangan biarkan siapa pun masuk kecuali Pak Bos dan istrinya, dan juga Bu Melati."
"Siap, Bu!" Lelaki berbadan besar dan tegap itu memberi hormat pada sekretaris Dewangga. 
"Bagus," kata gadis itu sambil lalu dengan koper di tangannya. Semalam saat bosnya menelepon, Kristina langsung menghubungi beberapa kenalannya yang memiliki kantor penyewaan bodyguard dan juga debt collector. Setelah datang langsung ke kantor untuk melihat bagaimana tampang dua bodyguard yang akan disewanya, Kristina langsung membawa mereka berdua ke rumah Dewangga. 
Secara bergantian mereka akan menjaga rumah Dewangga dengan taruhan nyawa karena biaya yang dibutuhkan untuk merekrut seorang bodyguard tidaklah murah. Selain memiliki fisik yang lebih prima, mereka juga lebih sulit disogok dripada security biasa. 
Memang enak jadi orang kaya. Pikir Kristina. Uang bisa membeli segalanya, karena segala yang manusia butuhkan bisa dibeli dengan uang. Tapi kalau ingat bagaimana bosnya, gadis itu menarik kembali kata-katanya. Sepuluh tahun menjadi sekretaris Dewangga, yang dia lihat hanya robot gila kerja, kerja, dan kerja. 
Tidak ada yang Dewangga pikirkan selain perusahaannya dan perusahaan yang didirikan oleh neneknya. Banyak artis, anak pengusaha, yang datang karena ingin dekat menjadi istrinya, tetapi semuanya dihempaskan. Ditolak mentah-mentah. Hingga akhirnya gosip itu pun muncul ke public bhwa Dewangga tidak suka perempuan karena dia seorang gay yang sedang menjalin kasih dengan dokter keluarganya yaitu Dokter Setiawan. 
Menurut Kristina, orang-orang yang menganggap Dewangga adalah gay, sungguh salah besar. Karena yang ada di pikiran orang itu hanya satu. Bagaimana caranya mengembangkan bisnis dan membuat perusahaan sebagai yang nomor satu. 
Mike Wijaya adalah pengusaha perempuan terkaya di Asia sekaligus di Indonesia. Dan sebagai calon pewaris tahta kerajaan bisnis Wijaya, Dewangga memikul beban berat di punggungnya. 
Kristina langsung masuk ke dalam rumah karena pintu itu tidak dikunci. Ruang tamu kosong, dia lalu berjalan ke ruang keluarga. Kosong juga. Gadis itu melongok ke ruang makan dan dapur, kosong juga. Terpaksa dia memanggil bakal calon majikannya itu. Soalnya tugasnya hari ini sangt padat dan dia harus bergerak cepat. 
"Bu Sinta? Apakah Anda di atas? Saya Kristina, sekretaris Pak Dewa."
"Ya, Mbaak!" Sinta yang sejak tadi menunggu kedatangan Kristina di kamar Dewangga berlari ke luar kamar. Sengaja dia tidak menutup pintu kamar agar tahu kalau sekretaris Dewangga memanggil.
Dengan cepat Sinta menuruni tangga agar tidak membuat Kristina menunggu. 
"Selamat pagi, Bu Sinta." Kristina menyapa dengan ramah lalu mengulurkan tangannya. "Saya Kristina, sekretaris Pak Dewa."
Sinta langsung menyambut uluran tangan itu dengan gembira. "Aku Sinta, Mbak."
"Bapak sudah bilang kan tujuan saya ke mari?"
Gadis yang masih menggunakan pakaian Dewangga itu mengangguk. 
"Kalau begitu, mari kita ke atas. Saya sudah membawa beberapa pakaian Bu Sinta."
"Biar aku bawa, Mbak," kata Sinta berusaha merebut koper dari tangan Kristina. 
"Jangan. Ini tugas saya. Kalau Bapak tahu, saya akan dimarahi."
"Pak Dewa suka marah-marah ya di kerjaan?" tanya Sinta dengan nada suara yang lembut mendayu-dayu. Kristina sampai mengantuk dibuatnya.
"Jelas. Kalau gak marah-marah, bukan Pak Dewa namanya. Macan saja kalah galaknya," jawab Kristina dengan enteng. Tak lupa senyum yang selalu terpasang di bibirnya dia tunjukkan. 
Sinta tertawa, tetapi tawanya terlihat anggun. Selain itu dia juga cantik. Meski baru bangun tidur dan mengenakan pakaian laki-laki, tetapi pesona yang dipancarkan Sinta tidak luntur. Mungkin karena wajahnya yang blasteran, Sinta memiliki paras ayu yang tak miliki banyak orang.
Kristina tak yang melihat tawa itu saja merasa senang. Apalagi laki-laki. Ah, pantas saja bosnya yang terkenal sebagai perjaka tua dan gay itu nampak perhatian pada calon istri kecilnya ini. 

0 Comments