Suamiku Perkas- Bab 61

 


"Ge, kau bisa pulang sekarang. Besok sore kau harus berangkat. Kantor pusat mengabarkan kalau akan ada rapat penting lusa. Itu kenapa kau harus datang lebih cepat dari rencana sebelumnya." Suruh Alvin. Gera hanya menghela napas berat. Rasanya berat sekali untuk pergi, apalagi membawa triplets. 

Dengan malas Gera membalik badan. "Baiklah, aku akan pulang." Timpalnya lemas.

"Jangan lesu begitu. Dibalik semua ini aku yakin ada hal yang lebih baik yang Tuhan siapkan untukmu." Ujar Alvin berusaha menyemangatinya. 

"Jika itu mengenai Roy, mungkin aku tidak mengharapkannya." Seru Gera dengan wajah datarnya.

Alvin mendekatinya dan duduk di hadapan Gera. "Kau mungkin memang tidak butuh. Tapi triplets sangat ingin bertemu dengan Papa mereka. Ayolah! Jangan egois!" 

"Berbicara memang mudah." Sindir Gera kesal.

"Lagipula kenapa harus aku yang dikirim ke sana? Apa kau sengaja merencanakan ini, ya?" Tuduh Gera memicingkan matanya.

Refleks Alvin menggeleng. "Tentu saja tidak, Gera! Kau menuduhku keterlaluan! Kau yang dipilih karena memang kau adalah karyawan yang paling teladan. Jangan mengada-ada." Ujar Alvin lalu pergi begitu saja. 

Dengan langkah berat Gera pulang.  Ia harus menjelaskan pada anak-anaknya perihal kepindahan mereka. Gera harus siapkan jawaban dari sekarang. Dua di antara ketiga anaknya sangatlah cerewet dan ribut. 

"Luisa, aku pulang." Seru Gera lemas. 

"Tumben cepat. Kau kenapa lemas sekali?" Tanya Luisa menyambut Gera diekori oleh tiga bersaudara. 

"Mama, ayo duduk. Mama kelihatan tidak sehat." Seru Rico menuntun Mamanya untuk duduk di sofa.

Melihat sikap ketiga anaknya yang memang sangat patuh, Gera selalu tersenyum bahagia. Ia merasa sempurna dengan kehadiran mereka. Sikap dewasa anak-anaknya membuatnya tidak kerepotan menjadi seorang single mommy. Seolah mengerti keadaan, mereka selama ini tidak pernah merepotkan dirinya atau bahkan Luisa. 

"Mama sehat, kids. Kalian tidak perlu cemas." Ujar Gera dengan senyum khas keibuannya. 

"Tapi ada yang ingin Mama bicarakan pada kalian semua termasuk kamu, Luisa." Yang dipanggil namanya melihat dengan bingung. Jarang sekali Gera berbicara seperti ini jika memang bukan hal penting. 

Luisa menghampiri Gera dan ikut duduk bersama mereka. "Bicaralah, Ge." 

Sebelum berbicara, Gera menghela napas panjang dan berat. "Aku sudah bilang sama Alvin untuk menggantikan ku dengan orang lain. Tapi tidak bisa. Surat-suratnya sudah terlanjur dikirim ke kantor pusat. Tuhan, aku benar-benar bingung sekarang." Tutur Gera dengan wajah sedih yang sangat kentara. 

"Lalu kapan kau mau berangkat? Ini hanya rapat sementara, kan? Maksudku, bukan penetapan." Tanya Luisa tak kalah bingung. 

"Itu masalahnya, Luisa. Aku juga berpikir kalau ini memang hanya rapat untuk beberapa hari saja. Tapi aku salah. Yang sebenarnya adalah, aku dipindahkan ke kantor pusat dan harus menetap di sana." Erang Gera frustasi. 

"Dan aku harus berangkat besok sore. Lusa akan ada rapat penting yang tidak bisa kulewati." Tambah Gera semakin lesu. 

"Kenapa sangat mendadak?!" Pekik Luisa heboh. 


Gera beralih melihat anak-anaknya. Wajah polos mereka membuat Gera semakin merasa tertusuk. Mereka hanya melongo menyimak pembicaraan Gera dan Luisa. 

"Entahlah. Rencananya aku akan duluan pergi. Jika tempat tinggal sudah pasti ada, baru aku akan menyuruhmu dan anak-anak menyusul. Aku tidak mau kalian tinggal asal-asalan di sembarang tempat." Kata Gera. 

Sementara itu, Rico yang penasaran mulai memajukan posisinya. Gera tahu apa yang akan Rico katakan. "Mama, kita akan kemana?" Tanyanya mendongak. 

"Kita akan pindah, sayang." Jawab Gera dengan senyum cerianya yang tentu saja palsu. 

"Maksud Mama kita akan pindah ke kota?!" Tanya Rio antusias.

Gera hanya bis mengangguk. Ia tak bisa berbohong. Mereka sangat peka dan cerdik untuk ditipu. 

"Yeay! Ray, Rico! Kita akan mendapat teman baru di sana!" Pekik Rio senang.

Ray hanya menatapnya datar. "Konyol!" Hanya sepatah kata yang keluar dari mulut Ray dengan sangat dinginnya. Pasalnya, Gera tahu bahwa anak sulungnya ini memang sangat 

"Mama, kapan kita akan pindah? Rico senang sekali!"  Giliran Rico yang bertanya dengan antusias.

Yang ditanya tersenyum lembut. "Mama dulu yang akan pergi. Jika Mama sudah mendapatkan tempat tinggal yang nyaman untuk kalian, baru Mama akan menyuruh kalian untuk menyusul." 

"Apakah kami akan bertemu dengan Papa di sana?" Tanya Ray.

Deg!!

"Ma-maafkan Mama, sayang. Ini masih belum waktunya untuk kalian bertemu dengan Papa. Papa sedang banyak sekali pekerjaan, hingga belum menemukan waktu yang tepat untuk menemui kita." Jawab Gera terbata-bata. 

Wajah Ray tidak menunjukkan perubahan. Masih dingin dan datar. Gera sedikit takut akan ada pertanyaan bahaya lagi dari Ray. Dia memang yang paling berpikir dewasa diantara ketiga putranya. 

"Ray merasa selama ini Mama berbohong. Jujurlah, Ma!" Desak Ray dengan mata tajamnya. Kata-kata Ray mengundang semua tatapan bingung saudaranya. 

"Untuk apa Mama berbohong, sayang. Thats not good attitude! Mama sangat benci berbohong. Just wait! Suatu hari Papa pasti akan tiba-tiba datang menghampiri kita." Kata Gera berusaha mengalihkan kegugupannya dalam menutupi kebohongan. 

Triplets berlarian menuju Gera dan memeluk wanita hebat itu erat. Gera sendiri tahu, anak-anaknya bukanlah anak biasa. Mereka dianugerahi kepintaran yang memang menurun dari Roy dan juga Gera.


***


"Pak, boleh saya masuk?" Tanya Sinta, sekretaris yang baru beberapa Minggu bekerja di perusahaan milik Roy. Sebelumnya sudah sangat banyak sekretaris yang dipecat karena memang mencari masalah. Apalagi kalau bukan mencoba untuk menggoda Roy. 

"Masuk saja." Suruh Roy tanpa melihat. Matanya hanya fokus melihat ke arah komputer. 

Bukannya duduk di depan meja Roy, Sinta malah lolos dan mendekati Roy seraya membawa sepotong cake coklat. 

"Apa maksudmu?" Tanya Roy jengat.

"Maaf, Pak. Saya berniat memberikan sepotong cake ini untuk Bapak. Ini dibuatkan langsung oleh Ibu saya. Terimalah kebaikan Ibu saya, Pak." Kata Sinta sambil menunduk sopan. 

Roy menelisik secara bergilir cake itu dan juga si pemberi. " Keluarlah!" Perintah Roy dengan nada datar. 

Sesuai perintah, wanita itu melangkah keluar takut dimarahi. Dengan harapan, semoga Roy mau memakan kue pemberiannya itu. 

"Wanita itu sepolos Gera. Ya Tuhan! Dia mengingatkanku pada wanitaku." Gumam Roy memperhatikan kue yang bertengger di depannya ini. 

Sampai kapanpun ia tidak akan bisa melupakan Gera. Demi ingatannya akan Gera, Roy memakan kue coklat itu sendu. Air mata menggenang, namun tak bisa menetes karena sudah lelah. 


"Ge, kau dimana?" Lirih Roy. 

Bertahun-tahun kehilangan orang yang dia cintai bukan berarti membuat hidupnya berubah. Memang berubah, tetapi semakin membaik. Luis yang menjadi saksi bagaimana perubahan Roy selama ini. 

Jenggot pendek yang memenuhi dagu runcingnya menjadi bukti nyata kalau dia sangat kacau tanpa Gera. Wanita itu membuatnya hancur. 

"Kenapa tiba-tiba gerah?" Roy melihat AC dan menambahkan volume suhunya. Tetapi tetap saja gerah. 

Tenggorokannya tercekat dan sangat haus. Tangannya meraba seluruh kulit tubuhnya dengan gelisah. 

"Permisi, Pak. Apa yang terjadi?" Tanya Sinta yang masuk ke dalam ruangan itu. 


"Entah. Tubuhku terasa panas." Jawab Roy acuh. 

Ia masih fokus meraba setiap jengkal tubuhnya. Bahkan kemaluannya sendiri ia pegang-pegang dengan penuh gairah. Sepertinya ada yang salah.

"Sinta, apa yang kau taruh di dalam kue itu?" Tanya Roy keras.

Wanita yang terlihat panik itu hanya menggeleng keras, menampik tuduhan kejam Roy. "Maafkan saya, Pak. Sumpah, tidak ada apapun yang saya taruh di dalam kue itu." Jawab Sinta dengan wajah memerah ketakutan.

"Aku begini setelah memakan kue darimu!" Bentak Roy.

Roy sudah tak bisa menahan tangannya yang semakin ingin berjelajah. Ia terus memainkan miliknya yang menegang sempurna. Gairah sudah menguasai otaknya. Ia melihat Sinta seperti Gera.


 Tiba-tiba Roy berlari tergopoh-gopoh menuju Sinta dan menyambar tubuh wanita itu. Sinta menangis dan berusaha berontak. 

"Ingat sopan santun Anda, Pak! Jangan sentuh saya!" Pekik Sinta dengan air mata yang sudah berurai membasahi pipi tembamnya. 

Namun Roy tidak mengindahkan kata-kata Sinta. Wanita itu bahkan berteriak meminta tolong. Berharap akan ada yang lewat dan menolongnya.

"Diam, jalang!" Bentak Roy kasar. Ia sudah kalap dan dikerubungi nafsu. Miliknya sudah menegang sempurna dan siap menerobos 

Roy berusaha menerobos pertahanan Sinta ketika wanita itu mencoba menutupi tubuh dan wajahnya dari Roy. 

"Tolong, jangan lakukan ini!" Pinta Sinta lirih. Mata hitam Roy semakin pekat seperti legamnya malam. 

Wanita polos itu kebingungan apa yang terjadi pada Bosnya. Baru tadi ia masih bersikap sangat dingin dan angkuh. Tak berselang lama, entah kenapa Roy berubah ganas dan brutal seperti ini. 

Mendengar pertanyaan Roy tadi, Sinta menjadi semakin bingung. Apa maksudnya? Kalimat itu terdengar sangat asing di telinganya. Apa yang ada di dalam kue coklat itu? Ibunya membuat kue itu baru pagi tadi. Tidak mungkin basi secepat itu, pikirnya. 

"Kau mengingatkanku pada Gera. Sialan! Dan sepertinya kau membubuhkan obat perangsang di dalam kue sialan itu! Kukira kau berbeda dari sekrestaris-sekretarisku sebelumnya, but i'm wrong! You are same, bitch!" Bisik Roy geram. 

Ia sendiri bingung dengan reaksi tubuhnya. Ia tidak pernah berubah sebrutal ini hanya karena digoda bahkan diberi perangsang. Ia benar-benar merasa dikendalikan tubuhnya. 

Roy berteriak dalam dirinya, ia tidak mau mematahkan perubahan sikapnya dan semua perjuangannya selama beberapa tahun ini gagal. 

"Tolong, Pak. Jangan seperti ini. Saya benar-benar tidak bermaksud buruk atas kue itu. Dan saya memang saya. Tidak ada niat buruk sejak detik pertama saya bekerja di sini." Tutur Sinta lirih. Wajahnya basah karena air mata. Ia mulai sesenggukan dan memeluk tubuhnya erat. Semua kacau! Tetapi Roy benar-benar tak bisa mengendalikan diri. 

Kekuatan Roy tak bisa dikalahkan siapapun. Dia sungguh perkasa jika sudah menyangkut nafsu. Sudah hampir lima tahun lamanya ia tidak melampiaskan nafsu birahinya. Dan apakah memang sekarang saatnya ia melepas itu? Tapi bagaimana dengan Gera? Bagaimana dengan semua perubahan yang berusaha ia bangun selama bertahun-tahun? 

Jika ia mengalah pada nafsunya dan menuruti birahinya yang ingin menyetubuhi Sinta, semua akan hancur detik itu juga. Ia akan rugi serugi-ruginya. Dan disaat Gera mengetahui itu nanti, maka semua akan semakin kacau. Anaknya akan kecewa dan semakin membencinya. Yang paling parah, apakah dia, anaknya, bisa menerima dia sebagai seorang Ayah lagi?

"Aarrrgghh! Kau membuatku seperti ini, sialan! Kau yang membubuhi obat perangsang! Kau!" Tuding Roy. Tangannya terasa geli ingin menyentuh Sinta terus menerus. Miliknya pun sudah siap menggempur Sinta tetapi masih tertahan hati dan juga pemberontakan dari wanita itu. 

Braaaakkkkk! 

"Astaga, Roy!" 

0 Comments