Bening & Arga. Bab 12

 


Bab. 12

Terusir dari rumah.


Sandra yang kecewa dengan anak dan suaminya langsung kembali ke rumah setelah suaminya dibawa ke kantor polisi. Ia tidak berminat untuk menemui atau pun menemani suami dan anaknya yang kini sedang berada di kantor polisi.

Walaupun Sandra tadi sempat melihat wajah memelas sang putri sebelum masuk ke dalam mobil Pak lurah. Namun, ia terlanjur mengeraskan hati untuk putri kandungnya itu. 

Dan untuk suaminya, Sandra berencana akan segera mengurus surat perceraian mereka. Walaupaun usia pernikahan mereka masih seumur jagung.

Jam di dinding sudah menunjuk angka 3 dini hari saat pintu rumah dibuka seseorang.

"Assalamualaikum Bu."

Baru beberapa langkah Bening menginjakkan kaki di ruang tamu. Ia dibuat terkejut saat semua baju dan barang-barang pribadinya dilempar keluar. Dan Sandra adalah pelakunya.

"Ada apa ini, Bu. Kenapa Ibu mengeluarkan baju dan barang-barang, Bening?"

"Sudah puas kau membuatku malu, seharusnya aku membunuhmu saat kau masih bayi. Dasar anak pembawa sial! Gara-gara kau aku hidup menderita, gara-gara kau aku dibuang keluargaku. Aku sangat membencimu pergi kau dari rumah ini. Aku tidak sudi punya anak sepertimu, yang bisanya hanya menyusahkan saja!" Luapan emosi Sandra sudah tak terbendung lagi dan semua itu ia tumpahkan kepada Bening dengan segala caci dan makian.

"Maaf kan Bening, Bu. Bening tidak bermaksud membuat Ibu susah ataupun mempermalukan Ibu," isak Bening sembari memunguti baju dan barang-barangnya yang tercecer, kemudian memasukkannya ke dalam tas besar.


"Pergi aku bilang!"

"Tapi Bening harus ke mana, Bu? Bening hanya punya Ibu dan rumah ini!"

"Aku bukan Ibumu dan ini juga bukan rumahmu. Pergi!"

"Tapi Bu-"

"Pergi sekarang juga!" 

Sandra mendorong tubuh Bening agar segera keluar dari rumah. Kemudian ia cepat-cepat menutup dan mengunci pintunya kembali.

Bening terus menggedor pintu berharap sang Ibu mau membukanya. Akan tetapi harapannya sia-sia karena wanita yang melahirkannya itu tetap bergeming pada pendiriannya.

Karena tidak mau membuat kegaduhan dan mengganggu ketenangan warga. Ia pun menghentikan aksinya untuk berteriak dan menggedor pintu. Sudah cukup baginya membuat semua warga sekitar heboh dengan peristiwa yang dialaminya tadi malam. Tubuhnya meluruh ke lantai memanggil nama sang Ibu dalam isakan.

Perlahan dia bangkit berdiri dan dengan berat hati Bening menyeret langkahnya menjauh, dari tempat di mana dia dibesarkan dengan membawa tas besar yang berisi semua pakaiannya.

Langit masih tampak gelap, suasana jalanan desa masih sepi dan sunyi karena belum ada warga yang keluar rumah. Mungkin mereka masih nyaman meringkuk di dalam selimut, karena cuaca dingin akibat hujan yang turun semalam.

Bening terus berjalan mengikuti ke mana langkah kakinya pergi. Setelah melewati beberapa ladang dan sawah milik warga. Bening akhirnya sampai di pasar tradisional yang tak jauh dari desanya.

"Mau dibawa ke mana sayur-sayur ini, Pak?" tanya Bening kepada seorang Bapak-Bapak yang sedang sibuk memindahkan sayuran ke dalam mobil bak terbuka miliknya.


"Mau dikirim ke kota, Neng," jawab sang Bapak karena memang desa tempat ia tinggal, terkenal penghasil sayur mayur dengan kualitas terbaik.

"Boleh saya ikut menumpang, Pak?" Sejenak Bapak itu mengamati keadaan Bening yang membawa tas besar di tangannya.

"Si Neng mau ke kota? Tapi kalo duduk di belakang apa Neng tidak apa-apa, karena di depan sudah penuh dengan teman saya," jawab Bapak tadi sambil menunjuk salah satu temannya.

"Iya Pak tidak masalah saya duduk di mana saja, yang penting saya ada tumpangan sampai ke kota," girang Bening.

"Ya sudah silahkan naik, Neng." Bening pun duduk di belakang mobil dengan bak terbuka, bersama beberapa sayuran yang akan dikirim ke kota.

"Terima kasih Pak!" ucap Bening setelah Bapak tadi membantu Bening naik ke atas mobil miliknya.

Perjalanan dari desa ke kota membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam lamanya. Dengan kondisi jalan yang rusak dan becek akibat terkena guyuran hujan. Tetapi setelah keluar kecamatan jalannya mulai beraspal.

Karena dirasa masih jauh dengan tujuan. Bening pun memutuskan untuk tidur karena semalam ia belum sempat beristirahat. Sungguh rasanya dia sangat lelah, bukan hanya lelah fisiknya saja tetapi hati dan pikirannya juga.

"Neng bangun Neng, kita sudah sampai." Bening mengerjapkan mata saat merasa ada tangan yang mengguncang bahunya. Ekor matanya menyapu keadaan  sekitar. Ternyata sudah sangat ramai dengan orang-orang. Rupanya ia telah tiba di sebuah pasar induk.

"Ah iya, terima kasih banyak atas tumpangannya Pak," ucap Bening setelah turun dari mobil pengangkut sayur.

"Iya Neng sama-sama," jawab si Bapak kemudian ia melanjutkan kembali pekerjaannya menurunkan sayuran dari atas mobil.

Bening pergi melanjutkan langkahnya dengan tidak tentu arah. Ia merasa bingung harus bagaimana di kota sebesar ini, karena ini merupakan pengalaman pertama bagi dirinya. Selama 19 tahun hidup di dunia Bening belum pernah keluar dari desanya

"Aku harus cari kerja di kota ini. Ayo Bening semangat, kamu pasti bisa!" monolognya.

Beberapa kali ia menyinggahi tempat makan yang ia lewati, untuk menawarkan tenaga bantu-bantu mencuci piring atau melayani pembeli. Namun, selalu saja ia ditolak dan diusir pemilik warung.

"Ya Allah ternyata susah sekali mencari pekerjaan di kota besar," lirih Bening seraya mengusap keringat yang membasahi keningnya.

Bening meraba perut ratanya yang terasa lapar, karena seharian ini perutnya sama sekali belum terisi apapun. Bagaimana ia akan makan jika sepeser uang pun ia tak punya.

Karena merasa lelah Bening mendudukkan dirinya di sebuah halte sambil menikmati kesibukan jalanan di ibu kota, dengan melihat banyaknya kendaraan yang berlalu lalang di sana. Perhatiannya tiba-tiba tertujuh saat lampu jalan yang berubah menjadi warna merah. Dilihatnya banyak sekali anak kecil berdatangan menyerbu kendaraan yang tengah berhenti, untuk menunggu lampu kembali berwarna hijau. Bahkan ia juga melihat beberapa orang dewasa menuju ke sana.

"Sedang apa mereka?" gumam Bening.

Bening melihat berbagai aktifitas yang dilakukan orang-orang dan anak jalanan tadi. Seperti membersihkan kaca mobil, mengamen bahkan ada yang meminta-minta.

'Apa aku juga harus bekerja seperti mereka? Ah enggak-enggak masih banyak pekerjaan lain di luar sana dari pada harus meminta-minta.' Bening segera mengenyahkan pikiran itu.

Dari arah belakang ada pria yang dari tadi terus mengawasinya tetapi hal itu tidak disadari oleh Bening. Saat kondisi halte sepi, pria asing itu perlahan mendekat ke arah Bening dengan sesekali menoleh kanan dan kiri guna melihat keadaan sekitar, dan hap- secepat kilat pria asing itu menyambar tas milik Bening yang terletaknya di bangku halte sebelah ia duduk.

"Hei, kembalikan tas saya!" teriak Bening.

"Jambret tolong ada jambret!"

"Tolong tas saya!"

"Tolong ...!"

Bening berusaha mengejar orang itu tapi tidak berhasil. Sedangkan orang-orang yang berada di sana saat kejadian itu hanya melihat tanpa berniat untuk membantu. Apa memang seperti ini hidup di kota besar, sama sekali tidak ada rasa empati kepada orang lain.

Bening menunduk lemas saat penjambret tas nya tadi sudah pergi jauh dari pandangannya.

'Ujian apa lagi ini ya Tuhan?' tangis Bening dalam hati.


1 Comments

  1. Sabar bening ini ujian🤣🤣🤣,lanjut ya min👌👌👌👌

    ReplyDelete