Suamiku Perkasa. TAMAT

 


Bab 88


Tangis Gera tak kunjung reda. Ia memikirkan anak-anaknya yang menjadi incaran entah siapa itu. Roy juga bingung apa yang harus ia lakukan.  Yang jelas, mulai hari ini ia harus memperketat penjagaan. Baik anak-anak, juga rumah. 

Siang hari setelah rapat, Roy berniat mengunjungi Dewi di penjara. Gera bersikeras ingin ikut kesana. Dia ingin memastikan jika Dewi-lah penyebab semua ini. "Tunggulah di sini sebentar, sayang." Bujuk Roy. Namun Gera terus saja menggeleng keras. "Aku ikut, Roy. Kau tidak boleh membantah!" Tegas Gera membuat Roy tak bisa berkutik. 

Polisi memberikan mereka sedikit waktu untuk berbicara dengan Dewi. Beberapa saat kemudian, Dewi datang dengan seringai liciknya. Gera berdiri dengan hati yang bergemuruh marah. Ia tak sabar ingin menjambak wanita sialan ini. 

"Ada urusan apa kalian mencariku?!" Tanyanya datar. Ia menatap tajam mata Roy yang saat ini melihatnya dengan nyalang. 

"Kau yang sudah meneror kami. Mengakulah!" Gera menggeram dan mencengkram erat lengan Dewi. "Katakan, j*lang!" Desak Gera dengan mata memerah. Ia menahan tangisnya yang terasa ingin sekali pecah. 

"Kau bisa mengaku sebelum aku mendesakmu dengan caraku, Dewi!" Ujar Roy dingin. 

"Apa maksud kalian?! Kalian sendiri yang menjebloskanku ke dalam penjara. Lalu apa maksudnya kalian menuduhku meneror atau apalah yang kalian maksudkan." Bantah Dewi dengan wajah santai namun mengolok. 

Cengkraman Gera pada lengan dewi semakin keras. "Jangan mencoba untuk mengelak, sialan!" Geram Gera. "Mengakulah agar semua menjadi lebih mudah."

"Lepas! Kau tidak mikir atau memang bodoh?" Bentak Dewi. Emosinya tersulut karena merasakan cengkraman Gera yang semakin menyakiti lengannya. 

"Bitch! Kau memaksaku untuk melakukan hal yang tidak kau inginkan!" Ujar Roy menggeram namun hanya dibalas seringai licik oleh Dewi. 

Plakkkk! 

Gera menampar wanita itu. Ia tersulut emosi karena rasa takutnya akan teror kepada anak-anaknya. Roy juga tidak bisa berbuat banyak karena mereka sama sekali tidak memiliki bukti apapun perihal teror ini. 

"Berhenti! Apa yang kalian lakukan?! Bisa tidak kalian berbicara dengan tenang dan baik-baik? Dan Anda!" Polisi itu menunjuk Gera. "Jangan menyakiti tahanan dengan sembarangan. Walaupun mereka bersalah, di sini mereka juga dilindungi!" Tegas polisi itu. 

"Jangan menunjuk istriku, Pak! Anda tidak punya hak akan itu!" Bentak Roy. "Lagipula kami kemari bukan karena alasan main-main. Dia yang meneror rumah kami dan mengancam akan membunuh anak-anak kami. Jadi tidak salah ketika kami datang kemari dan bertanya dengan tegas pada wanita ini." 

Polisi itu terkekeh geli sambil melihat Gera dan Roy bergiliran. "Anda gila? Jelas-jelas tahanan ini semalaman ada di dalam sel. Bagaimana bisa dia terlepas dengan mudah dan meneror kalian? Benar-benar lucu!" Tawa polisi itu pecah membuat Roy naik pitam. 

Brakk! 

"Karena hanya dia orang tua Alea! Surat-surat yang dilempar itu berisi tentang anaknya, Alea." Bentak Roy marah. Polisi itu sedikit marah namun masih bisa menahan diri dan membawa Roy juga Gera menuju ruangan khusus untuk melihat aktivitas para tahanan lewat CCTV. 

Cukup lama mereka menyaksikan rekaman CCTV yang diputar oleh petugas di sana. "Lihat? Apa dia memiliki kekuatan sihir? Aku mulai takut jika itu benar adanya." Sindir polisi itu dengan nada yang sengaja dibuat takut. Merasa diejek, Roy menarik tangan Gera lembut dan mengajaknya pergi dari rumah tahanan. 

"Sial!" Roy berteriak dan membuat istrinya tersentak. "Tenanglah, Roy. Aku yakin pasti akan ada jalan keluar secepatnya." Ujar Gera menenangkan Roy. 

***

Hampir setiap malam mereka diteror. Bahkan Roy melapor ke kepolisian, dan beberapa kali petugas kepolisian membantu mengintai. Termasuk polisi yang mengolok mereka kemarin di rumah tahanan. Roy sedikit risih melihat pria itu, tapi mau bagaimana lagi. Dia juga polisi yang membantu untuk mengamankan rumahnya. Yang terpenting adalah keselamatan triplets. 

Yang terekam di dalam CCTV hanya sosok seseorang bertubuh kekar dengan kupluk hitam menutupi wajahnya. Hal itu membuat Roy dan anak buahnya sedikit kebingungan untuk melacak siapa itu. "Ada yang aneh, Bos." Bisik Luis.

"Selama ini pengintaian tetap dilakukan, bahkan dibantu oleh pihak kepolisian. Akan tetapi, pria itu tidak pernah terlihat. Dan anehnya, teror itu tetap ada meskipun dalam pengintaian tidak ada orang lain sama sekali." Terang Luis. Roy terdiam dan berpikir lebih dalam lagi. 

Terhitung sudah dua minggu orang itu meneror keluarga Roy. Beberapa kali Roy memberi perintah untuk Luis agar memeriksa CCTV di ruangan Dewi. Tapi hasilnya tetap sama, Dewi tetap berada di ruangannya. Dan tidak ada seorangpun yang mengunjungi dirinya selama ini, kecuali polisi yang mengoloknya waktu itu. Dia yang sering menyambangi sel tahanan Dewi dan berbicara cukup lama. 

"Aku bingung. Dan sekarang aku benar-benar takut akan ancaman-ancaman itu, Luis." Gumam Roy. 

"Tenanglah, Bos. Saya yakin pasti akan ada jalan keluar untuk kita menyelesaikan semua ini." Jawab Luis menenangkan Roy. 

Roy menyuruh Luis untuk perketat penjagaan tiga kali lipat dari kemarin. Ini sangat menganggu pikiran Roy. 

"Hm, Roy. Bolehkah aku menenangkan diri  di sekitaran taman depan rumah? Aku sangat suntuk di sini. Anak-anak juga sedang tertidur lelap. Boleh, ya? Please." Gera meminta izin kepada Roy dengan sedikit nada manja. 

Sontak Roy menggeleng. "Tidak, Ge. Kau lupa kalau sekarang kita dalam kondisi berjaga-jaga? Ini sangat bahaya." Peringat Roy. 

"Aku janji tidak akan lebih dari 20 menit. Lagipula anak buahmu juga sangat banyak di depan. Aku pasti akan sangat aman." Ujar Gera yakin. Ia benar-benar bosan berhari-hari di dalam kamar terus. 

"Baiklah. Tapi berjanjilah kau tidak akan kenapa-kenapa!" Tegas Roy. Gera mengangguk hormat. Setelah mengecup pipi Roy, ia berlari girang seperti anak kecil. Suaminya hanya menggeleng heran melihat tingkah kekanakan Gera. 

Taman terlihat sedikit ramai. Tapi tidak akan mengganggu untuk sekedar menikmati hari yang sebentar lagi akan menjelang siang. Tak apa. Gera juga sengaja keluar agar bisa sedikit berkeringat. 

"Andai saja setiap hari bisa seperti ini. Pasti akan terasa sangat damai." Gumamnya pada diri sendiri. 

Gera sudah membawa sebuah majalah wanita dengan sebotol susu coklat di sebelahnya. Senyumnya tak berhenti tersungging karena perasaan damai yang membuatnya nyaman hari ini. "Coba saja Roy dan anak-anak ikut, pasti akan terasa lebih seru. Bisa sekalian piknik dan menenangkan diri." 

Ia mengedarkan pandangan dan tersenyum lebar seraya menghembuskan napas lembutnya. Sesekali ia menghirup napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Sangat menenangkan. 

Dorrr! 

Gera memegang bagian perutnya dan merasakan ada cairan yang mengalir di bawah sana. Segera ia mengangkat tangannya yang terasa basah akan cairan. Semua merah. Itu darah. Air mata Gera menetes. Perlahan tatapan Gera mulai menggelap. Siapa yang akan menolongnya di sini?


          



Bab 89


"Bagaimana bisa kau tidak menemukan pelakunya? Polisi macam apa kau?!" Bentak Roy sambil menarik kerah baju Reno, polisi yang sempat mengejeknya di rumah tahanan.

Reno berusaha menepis tangan Roy yang masih menggenggam kerah kemejanya. "Lepaskan! Siapa kau berani sekali membentakku? Kau bahkan dengan sangat lancang menarik bajuku! Sialan kau!" Balas Reno marah. 

"Kau yang sialan! Bagaimana mungkin polisi yang sudah berkiprah bertahun-tahun tidak bisa menemukan pelaku penembakan istriku padahal kalian di satu tempat!" 

"Itu bisa saja terjadi! Lagipula kau yang membiarkan Gera bermain di taman. Kenapa kau tidak kurung saja peliharaanmu itu?!" Timpal Reno keras. 

Roy terdiam mendengar apa yang pria ini katakan. Ia mendekati Reno dengan langkah perlahan. "Berani sekali kau mengatakan istriku sebagai peliharaan!" Ujar Roy menggeram. 

Buugh! 

Tubuh Reno sedikit terpental saat Roy memukul bagian perutnya. Ini akibatnya jika orang lain berani mengatakan hal buruk tentang Gera. Tapi bukan Reno namanya jika tidak membalas. Bagaimanapun, dia adalah polisi yang sudah cukup terlatih. 

Perkelahian mereka berlangsung cukup lama. Tidak ada yang melerai karena Roy memang memutuskan untuk menemui Reno sendirian. Mereka saling memukul dengan liar. Ini memang bidang mereka. Roy juga menjadikan ini sebagai pelampiasan karena sudah lumayan lama dia tidak melukai siapapun. Dia sedikit merindukan hal seperti ini. 

"Brengsek kau!" Teriak Roy sembari menghujani Reno dengan berbagai pukulan. Dua kali pukulan di bagian perut Reno membuatnya memuntahkan darah segar. Ujung bibir kanan Reno nampak sobek dan mengeluarkan darah. Dan Roy, dia hanya mendapat lebam di bagian tulang pipinya. 

"Bajingan! Kau akan mati di sini sekarang!" Bentak Roy semakin geram melihat wajah berantakan Reno. 

"Kau lupa aku siapa?! Aku polisi! Aku bisa menangkapmu dengan catatan percobaan membunuh aparat!" Ancaman Reno ditanggapi tawa pecah Roy. 

"Coba saja! Aku akan menunggu panggilan polisi untukku." Balas Roy meremehkan. "Aku juga perlu mengingatkanmu siapa aku sebenarnya." Bisik Roy. 

"Aku Aroy. Aroy Swara." Napas Reno tercekat mendengarnya. Selama ini dia memang tahu kalau Roy adalah orang yang sangat kaya, apalagi dia memang beberapa kali datang ke rumah itu untuk membantu pengintaian. Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau Roy adalah Aroy Swara. Pemegang saham dibeberapa perusahaan besar. Dia juga mendengar bahwa Roy sangat terkenal dengan sifat dingin dan bengisnya. Tapi apa yang dia lihat selama ini hanyalah ketegasan saja. Tidak ada kebengisan atau apapun itu yang orang lain sebutkan. Hal itu membuat Reno tidak takut sama sekali pada Roy. 

Reno berdecih dan meludah sembarangan. Bibirnya penuh akan darah segar. "Siapapun kau. Aku tidak takut sama sekali!" Reno menekan setiap kata yang ia ucapkan. Roy mengangguk-angguk dan senyum. 

"Baiklah. Tunggu waktu yang tepat, kau akan merasakan nikmatnya penyiksaan dari tanganku ini. Cepat pergilah ke dokter! Lukamu terlihat semakin parah." Olok Roy sambil berlalu pergi. 


Puas melampiaskan amarahnya, Roy kembali menemui istrinya yang masih koma karena tembakan itu. Dokter mengatakan kalau salah satu syaraf yang tersambung ke otak putus akibat terkena tembakan. Gera juga mengalami pendarahan hebat karena tidak langsung dibawa ke rumah sakit waktu itu. Hal ini yang membuat Gera bisa berada dalam kondisi koma. Roy sangat terpuruk dengan kondisi istrinya yang seperti ini. 

"Lagi dan lagi kau menyiksaku dengan cara seperti ini, sayang. Aku sudah mengingatkanmu agar kau tidak keluar dari rumah. Tapi aku juga tidak tega melihatmu bersedih seperti anak kecil." Cicit Roy sedih. 

Roy menyeka air matanya kasar. "Maafkan aku. Aku tidak bisa menjagamu." Ia menghujani punggung tangan Gera yang terlihat sangat pucat dengan ciumannya yang bertubi-tubi. 


"Anak-anak sangat merindukanmu. Bangunlah!" Sesekali Roy mengguncang tubuh Gera berharap Gera akan terbangun dari tidurnya. Tapi nihil. Tidak ada respon sedikitpun dari istrinya.

Clay dan Luis berada di luar ruangan. Sementara Luisa dan David di rumah untuk menjaga anak-anak. Mereka tidak bisa diam dan terus saja berontak karena ingin menemui Gera. Berkali-kali Luisa menenangkan tangis triplets. David juga sedikit trauma saat melihat bagaimana darah segar bercucuran dari perut anak semata wayangnya itu. Ingatannya sekilas kembali...

"Mama!" Triplets memekik saat Roy memberi mereka izin untuk menemui Gera, tentu saja dengan penjagaan beberapa bodyguard. 

Mereka menjaga dari kejauhan, termasuk Steve. Saat mata Steve menangkap bahwa triplets memekik, menangis, dan menutup mulut mereka, Steve segera berlari menuju bangku taman yang Gera duduki. Dan betapa terkejutnya Steve saat melihat bagaimana Gera terduduk dengan perut bersimbah darah. Triplets terus saja memekik dan menggoyang tubuh Gera agar Mamanya terbangun. Saat itu Gera masih dalam keadaan setengah sadar. Setelah sebelumnya pingsan.

"Tolong! Mama bangunlah!" Teriak Ray heboh. Ia dan adik-adiknya terus saja menggoyang tubuh Gera tanpa henti. Sesaat Gera memberikan senyuman tipis untuk anak-anaknya. 

Roy dan David berlari terburu-buru setelah Steve menelponnya. Roy ikut menggoyang tubuh istrinya agar Gera tetap terbangun sampai di rumah sakit. David memeluk triplets seerat mungkin. 

"Ada apa ini?" Tanya seorang pria yang ternyata adalah Reno. Ia menyibak kerumunan dan melihat apa yang menjadi pusat perhatian di sini. 

"Bagaimana kau bisa di sini? Apa Luis memanggilmu?" Tanya Steve pada Reno. Pria itu menggeleng. "Aku sedang bersantai di depan sana. Aku kira ada apa-apa, makanya aku kemari." 

Roy yang mendengar suara Reno segera berdiri. "Jika kau ada di depan sana, lalu bagaimana mungkin kau tidak melihat istriku yang celaka?! Brengsek kau!" Bentak Roy. 

"Sudah, nak. Kita harus membawa Gera secepatnya sebelum semua terlambat." Peringat David. Roy mengangguk dan segera berbalik. 

Sepanjang perjalan Roy menangis tersedu. Ia tak mau melepas tubuh istrinya meskipun sudah di dalam mobil. Ia menekan bagian yang terluka. David ikut menemani. Sampai di rumah sakit, Gera harus dioperasi karena ada peluru yang masih ada di dalam perutnya. 

David menggeleng setiap kali mengingat kejadian itu. Terlebih ketika dia melihat bagaimana triplets memekik dan berusaha menolong Mama mereka. Beberapa kali air matanya menetes karena merindukan anaknya. Ia merasa sangat terluka saat mendengar kabar kalau Gera koma. 

"Tenanglah, nak. Kalian harus tetap di sini. Mama kalian pasti akan pulang secepatnya." David dan Luisa sudah kehabisan akal untuk menenangkan anak-anak ini. 

"Tidak, Kakek. Kami akan menemui Mama sekarang juga! Harus!" Tegas Ray. 

"Jika Kakek tidak mau mengantar, kami bisa menggunakan angkutan umum untuk mencari Mama." Giliran Rio yang berteriak keras membantah Kakeknya. 

David menatap mereka dalam-dalam. "Kakek bilang tidak ya tidak. Jangan keras kepala! Kakek tidak mau kejadian seperti sebelumnya terjadi lagi. Masuk ke kamar!" Bentak David. Ada rasa sesal setelah dia membentak triplets. Namun ia juga tidak mau jika cucu-cucunya itu ikut terluka. Situasi saat ini sangat berbahaya mengingat ada orang yang meneror mereka. 


***


Hari ini jadwal Gera untuk mengunjungi Alea di rumah rehabilitasi. Tapi karena Gera masih koma, Roy yang mewakilinya ke sana. Saat Leva tahu kalau Gera koma, ia menangis dan menyalahkan Roy kenapa ia tidak memberi kabar pada Leva. 

"Aku tidak bisa berpikir sampai sana, Lev. Maafkan aku. Aku benar-benar kacau melihat istriku seperti ini." Jawab Roy. 

"Jika kau mau, kau bisa mengunjunginya di rumah sakit. Aku kemari mewakili Gera untuk melihat perkembangan Alea. Bagaimana kondisinya?" 

Leva menyeka air matanya dan mulai menjelaskan pada Roy. "Ini sedikit sulit, Roy. Karena ini semua sudah terjadi bertahun-tahun. Lea mengatakan kalau ia awalnya jijik melihat apa yang Mommy-nya lakukan. Tapi lama kelamaan dia berkata bahwa dia akhirnya menyukai kegiatan Mommy-nya itu bahkan berniat untuk mencobanya. Brengseknya, dia yang berperan sebagai Ibunya Alea malah mengajarkan anaknya melakukan itu. Aku juga melihat di beberapa bagian tubuhnya ada lebam. Lea mengakui itu akibat dipukul Mommy-nya." Terang Leva. Ia menghela napas berat. 

"Akan butuh waktu untuk menyembuhkannya." Tambah Leva. 

Roy tidak tahu harus berkata apa. Ia meminta Leva mengantarnya untuk melihat bagaimana kondisi Alea. Roy termangu saat melihat bagaimana gadis kecil itu bermain sendirian di kamar isolasi. Leva menyuruh Roy masuk untuk mengajak Alea berinteraksi. 


"Hai! Kau senang di sini?" Tanya Roy membuat gadis kecil itu tersenyum senang. 

"Roy!" Lea memeluk Roy erat. Roy membalas pelukannya. Namun Roy merasa seperti ada yang aneh. Pria itu sangat terkejut saat tangan mungil itu sudah bersarang di selangkangannya. Dengan kilat Roy mendorong tubuh Alea. "Apa yang kau lakukan?!" Bentak Roy. 

"Tolong, aku sangat ingin menyentuhnya. Itu terlihat sangat besar. Lebih besar dari milik om-om yang pernah aku pegang." Ada sedikit rasa jijik saat Roy mendengar Alea berkata seperti itu.

"Aku yakin kau pasti senang. Mereka juga sangat bahagia saat mulutku melahap batang keras  yang terasa sangat lembut itu." Ujar Alea sembari mendekati Roy. Roy segera berdiri dan meninggalkan anak itu. "Bitch!" 

Sialan! Anak itu benar-benar sudah seperti Ibunya. Ganas. Roy tak habis pikir jika Alea akan berbuat menjijikkan seperti itu. 

Seminggu berlalu, Gera masih terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit. "Kenapa kau sangat suka tidur di sini, sayang? Aku saja bosan melihatmu tertidur terus. Lalu bagaimana kau bisa sebetah ini?" Gumam Roy seolah-olah berbicara dengan Gera. Dengan lembut ia mengelap setiap inci tubuh istrinya. Membersihkannya walaupun tidak ada kotoran sama sekali. 

Roy sangat setia menemani Gera. Seminggu ini sangat banyak orang yang menjenguknya. Di ruangan ini saja dipenuhi buket bunga yang sangat banyak. Belum lagi parsel dengan berbagai isi. Roy selalu geleng-geleng melihatnya. "Bangunlah, sayang. Orang-orang membawakanmu banyak sekali hadiah. Kau harus melihatnya." 

"Papa!" Pekik triplets. Roy menyambut anak-anaknya dengan pelukan. Mereka datang bersama Luisa. 


"Pergilah untuk mandi! Kau terlihat sangat kacau!" Sindir Luisa tanpa melihat Roy. Pria itu menggeleng tanpa mengalihkan tatapannya dari Gera. 

"Mandilah, Pa. Kami yang akan menjaga Mama sementara Papa pergi mandi." Ujar Ray sembari memainkan dagu Roy yang mulai ditumbuhi bulu-bulu panjang. 

Roy berpikir sebentar, lalu tersenyum pada triplets. "Baiklah. Papa akan pergi mandi. Siapa tahu kalau Papa sudah terlihat tampan dan wangi, Mama kalian akan bangun." Ujar Roy diangguki triplets dengan sangat antusias. 

Luisa sedikit kasihan melihat keadaan Roy saat ini. Dia terlihat sangat kacau dan kurus. Luisa bersyukur Gera bisa mendapatkan suami sehebat Roy. Walau kadang-kadang Roy memang sangat kurang ajar pada Gera. 

Roy sudah gagah dengan celana jeans selutut dipadukan dengan kaos oblong dan jaket kulit kesayangannya. Ini semua dibelikan oleh Gera. Ia berharap ketika dia memakai setelan ini, Gera akan terbangun. Lucas juga ada di sini. Sedang berbicara dengan Luisa. Mereka terlihat sangat serasi, pikir Roy. 

"Kenapa kalian tidak pacaran saja?" Celetuk Roy. Pertanyaan Roy langsung membuat Lucas salah tingkah. Begitu juga dengan Luisa, wajahnya Semerah tomat matang. 

"Sialan kau! Luisa malu karena kau, brengsek!" Tegur Lucas. Luisa memegang tangan Lucas. "Jangan berkata kasar jika ada anak-anak di sini!" 

"Jelaskan padanya, Luisa!" Goda Roy. 

Luisa hanya menatap sinis Roy. Ia kesal pada Roy. Karenanya, Luisa jadi malu pada Lucas. "Jangan malu-malu, kalian terlihat sangat serasi!" Ujar Roy lagi. 


"Ah, benarkah?" Tanya Lucas sembari menatap dalam mata Luisa, membuat wanita itu malu dan salah tingkah. 

"Maaf menganggu, Bos." Luis datang. 

"Kebetulan saudaramu datang Luisa. Luis, apa kau mengizinkan Lucas untuk mendekati saudarimu? Dia menyukai Luisa." Seru Roy tepat saat Luis masuk ke ruangan Gera. 

"Roy! Gera sedang sakit!" Luisa menggeram mengingatkan Roy. Pria itu merasa tertampar. Bagaimana bisa dia begitu ceria dan melupakan istrinya yang sedang terbaring lemah? 

Luis mengangguk hormat. "Kita bisa membicarakannya nanti, Lucas." Jawaban Luis membuat Luisa tergelak tak percaya. "Maaf, Bos. Ada hal yang jauh lebih penting yang harus saya bicarakan." Ujar Luis serius. 

Roy mengajak Luis berbicara di luar. Sementara Gera dan anak-anak, ia menitipkan mereka bersama Luisa dan Lucas. 

"Ada apa, Luis? Kau terlihat sangat serius." 

"Bos, selama Bos menemani Gera di rumah sakit, kami semua melakukan pengintaian tanpa sepengetahuan polisi.  Setiap malam kami membuat pos dengan penempatan satu orang di masing-masing tempat. Itu memungkinkan akan lebih cepat menemukan pelakunya." Terang Luis. 

Roy penasaran. Disamping itu dia sangat bangga pada karyawan-karyawannya. Mereka sigap dan bertindak tanpa perintah. Tentu ini menjadi kabar baik bagi Roy. "Lalu bagaimana hasilnya, Luis?" 

"Anda akan terkejut, Bos. Sangat terkejut." Kata Luis semakin membuat Roy penasaran. 

"Luis, aku ingin tertawa tapi ini masalah serius. Kau mengajakku bercanda? Katakan saja terus terang." Desak Roy tak sabar. 

"Entahlah. Jika itu bisa membuat Anda sedikit terhibur, saya akan senang melakukannya. Yang pasti orangnya sudah sangat Anda kenal. Tapi bukan pesaing bisnis. Bukan juga teman dekat Anda. Saat ini Toni masih mengumpulkan beberapa data pria misterius itu untuk menguatkan bukti."

Roy sangat bingung namun berusaha menebak teka-teki Luis. Yang pasti, dia tidak akan tinggal diam apalagi hanya memberikan hukuman kecil bagi pelakunya. Pria brengsek dengan jiwa pengecut itu harus diberikan hukuman setimpal agar dia bisa merasakan sakit dan takutnya Gera selama ini. Ia tidak sabar ingin mengetahui siapa bajingan yang sudah menembak istrinya. 


      


         



Bab 90


"Katakan secepatnya Luis! Aku sudah tidak sabar." Geram Roy karena Luis masih saja memberinya teka-teki perihal pelaku penembakan Gera. 

Luis ingin sekali tertawa melihat wajah geram Roy. Tapi ini bukan permainan, ini masalah serius. "Baiklah. Orangnya adalah Reno. Toni punya rekamannya. Saat itu Steve yang menangkap Reno tentunya dengan bantuan pistol listrik andalan kami. Jangan bertanya sekarang, pulanglah sebentar dan Toni akan menceritakan skema permainan polisi sialan itu!" Terang Luis. Sebelum pulang ia meminta pada Roy untuk mengizinkannya melihat temannya sebentar. 

"Maaf, aku tidak bisa menjagamu, Ge. Bertahanlah! Banyak orang yang menunggumu di sini. Kami semua merindukanmu." Gumam Luis. Ia sangat sedih dan menyesal disaat bersamaan ketika melihat kondisi temannya ini. 

Mereka harus meluruskan sedikit masalah sekarang. Roy ikut bersama Luis untuk pulang. Ia tak sabar ingin menemui orang yang sudah membuatnya geram selama ini. 

Braaakk! 

Roy menggebrak pintu dengan kasar. Ia melihat seseorang sedang terikat dan terlihat sangat lemas. "Kenapa kau lemah seperti itu?! Kau terlihat lucu!" Olok Roy. "Angkat kepalamu dan lihat aku dengan mata menantangmu itu!" Bentak Roy sambil menjambak kasar rambut Reno. 

"Maaf, Bos. Kami sudah berhasil mengetahui alasan dibalik semua perbuatannya." Celetuk Toni mengundang tatapan Roy. 

"Jelaskan padaku!" 


 Toni menjelaskan semua hal yang dia tahu mengenai maksud dan tujuan dari Reno selama ini. Seperti yang Luis katakan sebelumnya, Roy sangat terkejut mendengar kenyataan yang ia cari selama ini. Roy berdecak kagum dengan kecerdikan polisi bajingan ini. 

"Pantas saja aku tidak pernah bisa menangkap pelaku yang menerorku selama ini. Untung saja anak buahku inisiatif untuk melakukan pengintaian tanpa melibatkan polisi bajingan sepertimu. Ternyata kau yang menjadi dalang dibalik semua ini." Kata Roy menggeram. 

"Maaf, Bos. Yang paling penting, dia yang menembak Gera waktu di taman. Dan dengan bodohnya dia bertindak mencari pelaku yang jelas-jelas adalah dirinya sendiri. Pantas saja tidak ketemu." Lapor Luis. 

Plaakkk!

 Ketika indra pendengaran Roy mendengar apa yang baru saja Luis katakan, tangannya refleks menampar Reno hingga membuat wajah pria itu menoleh keras. Terpampang jelas di wajah putih Reno bekas memerah akibat tamparan tangan besar Roy.  

"Bajingan kau! Brengsek! Kau benar-benar tidak punya hati, setan!" Bentak Roy. Awalnya dia bisa menahan amarahnya agar tidak pecah, tapi mendengar kalau dialah yang menembak istrinya hingga koma, Roy benar-benar murka. 

"Kau juga menelantarkan anakku, bajingan! Dia tidak gila! Dia masih anak-anak!" Timpal Reno tak kalah kerasnya. 

Roy terlihat bingung. Anak? Siapa anaknya? Siapa yang gila? Roy tidak pernah merasa menelantarkan seorang anak sebelumnya. "Ton, apa yang dia maksud?" 

"Alea. Ternyata Alea itu anak Dewi dari Reno, Bos. Tapi dia sengaja membawa gadis kecil itu kepada Anda agar kehidupannya terjamin. Dewi juga yang memberitahu Reno kalau Alea ada di sini. Agar Reno memiliki dendam dan meneror Anda, Bos. Seperti yang sudah terjadi." Terang Toni. Roy mengangguk, mulai mengerti kemana arah dari semua masalah ini. 

"Kalian benar-benar cerdik. Hebat! Kau dan dia sangat pintar memanfaatkan situasi. Yang membuat aku bingung, bukankah kau memiliki istri dan anak? Lalu kenapa kau mau menusuknya? Bahkan sampai memiliki anak." Roy tersenyum menyeringai. Ia mendekati wajah Reno dengan senyum liciknya. "Jika istrimu tahu, ini pasti akan sangat seru!" 

Reno melotot mendengar apa yang Roy katakan berusan. Ia menggeleng keras. "Jangan berani melakukan itu! Aku tidak mau anak-anakku terluka. Itu alasannya kenapa aku mau menerima Alea walaupun aku tahu Dewi tidak hanya melakukannya denganku saja, karena aku tidak bisa melihat seorang anak terluka." Reno memohon dengan air mata berlinang. Semua yang ada di ruangan itu bisa melihat bagaimana rapuhnya Reno saat Roy menyebut anak-anaknya.

Dengan kasar Roy mengangkat kerah kemeja Reno. "Lalu bagaimana kau dengan sangat tega mengancam anak-anakku?! Mereka juga anak-anak, sama seperti anakmu! Istriku sampai berhari-hari menangis karena ketakutan. Dan itu semua ulahmu, setan!" Bentak Roy. Ia sangat kesal dan geram, namun masih berusaha menelannya. 

"Aku marah padamu karena kau membawa Alea pada psikiater. Kau bahkan meninggalkannya di sana sendirian. Apa kau tidak membayangkan bagaimana sedihnya dia?" Lirih Reno. Air matanya sudah mengalir deras menyebut nama Alea. 

"Ren, kamu harus tahu alasanku membawa Alea itu karena apa. Jangan asal teror seperti ini. Anakmu itu sudah diracuni otaknya. Dewi memang brengsek." Tutur Roy.

Akhirnya Roy menceritakan semua hal dan masalah yang berhubungan dengan Alea. Mulai dari masalah mental, juga kepribadian yang terlanjur buruk akibat lingkungannya. "Awalnya aku tidak tahu karena aku hanya berniat mengadopsinya agar triplets memiliki teman bermain di rumah. Tetapi Alea menampilkan sifat aslinya dan mengatakannya dengan blak-blakan padaku dan juga Gera. Aku akan membawamu menemui psikiaternya Alea jika kau mau melihatnya." 

"Tapi jika istriku sampai kenapa-kenapa, kau akan tamat! Aku tidak berbohong. Kau akan kehilangan semua harta bendamu dan aku tidak akan meninggalkan satu sen pun untukmu." Ancam Roy. 

Setelah beberapa jam menginterogasi Reno, Roy akhirnya memberi keringanan pada Reno. Entah apa yang membuatnya memutuskan seperti itu. Luis dan yang lain juga bingung sendiri, kenapa Bos mereka bisa bersikap sebaik ini pada orang yang hampir membunuh istrinya. Ini aneh! Karena memikirkan anak dan istri Reno, Roy memberikan kebebasan pada pria itu dengan pengawasan tetap. Roy juga menegaskan agar Reno meminta maaf dan mengakui kesalahannya di depan Gera setelah istrinya sadar nanti. 

***

"Bagaimana keadaan istriku sore ini?" Tanya Roy seakan berbicara dengan Gera. Luisa yang melihatnya tersenyum sendiri. Salut akan ketabahan Roy.

Roy memperlakukan Gera seperti saat di rumah. Ketika dia kembali dari suatu tempat, dia akan pulang dan memeluk istrinya erat. Seperti yang dia lakukan saat ini. Luisa menyadari kalau ekspresi Roy berbeda sesaat setelah memeluk Gera. "Kau sangat wangi, sayang. Padahal aku belum mengelap tubuhmu. Ini hebat." 


"Luisa, apa kau yang mengelap Gera?" Tanya Roy. Luisa menggeleng, "Tidak. Itu tugasmu, Roy. Bukan aku." 

"Peluk Gera sepuasmu, aku yakin Gera juga sangat merindukanmu. Kau pergi lama sekali." Suruh Luisa. 

Benar saja, Roy membungkuk dan kembali memeluk tubuh istrinya yang masih terbaring lemah. Sembari melontarkan berbagai ucapan romantis sarat akan kerinduan. Tiba-tiba tangan Gera melingkari punggung Roy. Pria itu sangat terkejut dengan apa yang terjadi.

"Aku juga sangat merindukanmu, babe." Bisik Gera serak. Roy melotot tak percaya. Sesekali ia mengucek matanya seakan ia sedang mengkhayal melihat Gera yang terbangun. "Kau sudah sadar?" Gera mengangguk pelan. 

Air mata Roy menetes cepat melihat istrinya sedang tersenyum sekarang. "Kau tampan sekali!" Seru Gera masih sedikit lemah. Mendengar suara Gera membuat Roy menangis tersedu-sedu. "Jangan tertidur lagi. Kau harus tetap menemaniku sekarang. Gera tidak boleh jauh-jauh dari Roy." Ujar Roy terisak. 

Semua sangat terharu karena Gera sudah sadar. Triplets sangat senang dan menangis gembira, mengingat bagaimana mereka melihat Gera yang bersimbah darah kala itu. "Jangan seperti itu lagi, Mama. Kami panik saat melihat perut Mama penuh dengan darah. Itu terlihat sangat mengerikan!" Ujar Rio sembari menyeka air matanya. 

Luisa sengaja menyembunyikan kondisi Gera yang sudah siuman dari Roy. Dia menyuruh Gera untuk tetap tertidur walaupun dia sudah sangat lelah. Gera pun setuju untuk memberi kejutan pada Roy dengan kondisinya yang masih selemah itu. Lucas dan juga Luisa sudah memberitahu Gera perihal kejadian dan kondisinya selama dia koma. 


"Kabar gembira! Kau sudah boleh pulang lusa, Ge! Apa kau senang?" Tanya Lucas ikut antusias. Gera mengangguk lemas. "Tapi ingat, Roy. Gera masih harus istirahat dan tidak boleh terlalu banyak gerakan. Kau masih harus menahan diri, dude!" Sindir Lucas membuat Luisa tertawa pecah. 

Roy menatap tajam Luisa yang tertawa lepas melihat dirinya menderita. "Tertawamu lepas sekali. Kau tidak malu dengan Lucas?" Ujar Roy berusaha mempermalukan Luisa.

"Tentu saja tidak. Sejak kemarin aku berbicara dengan dia aku selalu tertawa lepas dan sangat puas. Lalu untuk alasan apalagi aku harus malu?" Kini Roy lagi yang malu. Gera meremas lemah tangan Roy. 

"Aku mencintaimu, sayang!" Bisik Roy lalu mencium kening Gera cukup lama. 

"Jarang sekali aku mendengar kau mengucapkan kata-kata itu, Roy." Celetuk Gera membuat Roy hanya nyengir tak jelas. 

Kehidupan mereka damai setelah semua masalah datang bertubi-tubi. Reno juga sudah meminta maaf pada Gera tepat disaat Gera pulang ke rumah. Awalnya Gera sempat kaget dengan kejujuran Reno, tapi dia tidak bisa menolak permintaan maaf dari seseorang. Gera tetaplah Gera. Wanita yang penuh dengan jiwa manusiawi. 

Reno sendiri sekarang menjadi partner Roy, juga menjadi salah satu anak buah Roy. Sejak kebenaran terungkap, Reno memanfaatkan segala sesuatu untuk menyiksa Dewi. Karena kebetulan dirinyalah yang bertugas berjaga-jaga di sel wanita malang dan menyedihkan itu. 

Lima tahun berlalu...

"Hai, Pa! Mama!" Seru Rico turun dari lantai atas sembari menenteng ranselnya. Dia tetaplah yang paling heboh. Sedangkan kedua kakaknya hanya berjalan santai di belakang. Dengan kerennya mereka memakai kacamata hitam. 

Gera hanya bisa takjub dan kagum setiap kali melihat anak-anaknya yang semakin beranjak dewasa dan terlihat angkuh seperti Papa mereka. Terlebih Ray. Dia yang paling dingin diantara tiga anaknya, persis sekali dengan Roy. Sementara Alea, dia menghilang. Reno sempat mengambilnya dari rumah rehabilitasi setelah 2 tahun menjalani perawatan. Tapi beberapa tahun dirawat oleh Reno, Alea menghilang begitu saja walaupun sudah dicari kemana-mana. Reno mengatakan kalau dia adalah anak yang cukup keras. Hingga dirinya pun tak bisa melawan gadis kecil yang sudah terlanjur emosional seperti Alea. 

"Aku terlihat semakin tua, Roy." Gumam Gera sambil berkaca memperhatikan setiap inci kulit wajahnya. 

"No! Kau salah. Istriku malah terlihat semakin cantik dan segar saja." Puji Roy sembari memeluk Gera dari belakang. "Dan tentu saja semakin nikmat dan memabukkan." Bisik Roy membuat bulu kuduk Gera berdiri.  

"Diamlah! Kau harus mengantar anak-anak ke sekolah. Jika aku melayanimu sekarang, kau akan membuat mereka terlambat!" Kata Gera mengingatkan. 

Tangan Roy menjalar ke bagian bawah perut Gera. Menyingkap dress Gera yang hanya sampai lutut dan mengelus paha itu lembut hingga mengundang gairah wanita ini. "Jangan membuatku memangsamu, Roy!" Tantang Gera menggeram. 

"Coba saja. Aku tidak takut digigit oleh singa cantik ini." Goda Roy. 

"Awas saja jika kau memberontak, babe!" Ancam Gera membuat Roy semakin mengeluarkan smirk andalannya. 

Gera yang sudah terlanjur bergairah akibat sentuhan demi sentuhan Roy kini mulai mendekati suaminya dengan langkah dan senyum yang begitu menggoda. Roy segera menyambut Gera dan menelentangkan tangan kokohnya menyambut wanita seksi ini. 

"Bergoyang di atasku dan mengeranglah, baby! I will make you scream loudly." Bisik Roy sembari menjilat daun telinga Gera. Tubuh Gera semakin bergetar hebat saat merasakan hangatnya napas Roy di antara ceruk lehernya. 

"Baiklah. Nikmati permainanku, dan kau akan mengumpat dengan keras!" Tantang Gera sembari membuka satu persatu kancing kemejanya. 

Dua insane yang merasa seakan mereka masih berpacaran itu mulai bergulat lidah sambil saling menindih di atas ranjang empuk itu. Decakan mereka terdengar begitu nyaring memenuhi ruangan. 

"Papa! Ini sudah jam berapa? Oh my God!" Pekik Rio dari luar.


"Kalian mau membuat kami terlambat? Astaga! Orang tua kita memang beda!" Sindir Rico.

"You can do it later, Papa! Just hold on." Giliran Ray yang berteriak tak sabar. 

Gera dan Roy hanya tersenyum malu mendengar apa yang triplets katakan. Mereka sudah mulai beranjak remaja sekarang. Dan tentu saja mengerti apa yang orang tua mereka lakukan. 

"Kalian bisa menyuruh Paman Luis untuk mengantar kalian! Papa tidak bisa meninggalkan Mama kalian saat ini." Seru Roy berteriak dari dalam kamar. 

"Damn!" Ketiganya mengerang dan menghela napas kasar. Gera yang mendengar itu memukul dada Roy sedikit keras. "Mereka mendengarmu mengumpat. Lihatlah! Mereka jadi biasa menyebutnya sekarang." Omel Gera. 

Begitulah kehidupan mereka. Damai dan harmonis tanpa gangguan siapapun. Roy yang berhasil membuat triplets kecewa hanya bisa tertawa lepas sembari memenuhi kebutuhan batin istri juga dirinya. Bermain ranjang sepuasnya hingga Gera terkapar lemah dan memuntahkan cairan nikmatnya berkali-kali. Dia sangat bangga menyaksikan tubuh istrinya yang menggelinjang dan bergetar hebat. Itu tandanya dia bisa memuaskan wanita pujaannya ini. Seiring bertambah usianya, dia semakin kuat dan perkasa. Triplets sesekali memergoki mereka bermesraan entah itu di ruang tamu, di kolam renang, atau bahkan di dapur. 

Tapi memang seperti itulah Roy. Yang awalnya bernafsu bejat, sekarang sudah bisa mengontrol semua sikap dingin dan arogannya. Giliran Ray, Rio, dan Rico yang meneruskan sikap angkuh Roy entah di sekolah ataupun di lingkungan tempat mereka bermain. 

"Jangan biasakan anak-anak bersikap keras dan kasar, Roy. Kau selalu saja mendukung mereka bahkan mendorong mereka ketika ada yang menantang berkelahi atau sejenisnya. Kau orang tua macam apa?" Tegur Gera. 

"Sayang, bagaimanapun mereka harus belajar tegas dari usia dini. Itu penting untuk masa depan mereka. Triplets harus punya banyak bekal masa depan. Mandiri dan sederhana dari kamu, angkuh, tegas, dan dingin sepertiku. Mereka akan menjadi pemimpin suatu hari nanti." Terang Roy menjelaskan tujuannya untuk masa depan triplets. 

Roy memeluk pinggang istrinya posesif. "Hanya saja aku butuh satu anak perempuan untuk menjadi pengingat kakak-kakaknya. Apa kau siap?" 


-Tamat-

0 Comments