Izinkan Aku Mengobati Lukamu. Bagian 1

 

Suara-sorak sorai kelulusan terdengar di setiap penjuru sekolah. Mereka diizinian untuk teriak, tertawa, menangis, tapi tidak untuk coret-coretan atau konvoi di tengah jalan. Bagi siapa pun yang melanggar, ijazah murid-murid itu akan ditahan sampai waktu yang tidak tentukan. Dan alhasil, ancaman itu pun berhasil. Anak-anak remaja itu hanya merayakan kelulusan sekadarnya daripada disetrap bokap gara-gara ijazah ditahan. Sekolah bayar mahal-mahal, masa sih gak dapat ijazah? Ya, meski ada yang bilang bahwa selembar kertas itu tak berguna, tetapi tetap saja penting. Terutama untuk orangtua yang telah mati-matian membiayai pendidikan anak-anak mereka. Biar saja anaknya nanti jadi pengangguran. Jadi beban keluarga. Yang penting punya ijazah. Entah untuk dipamerkan atau sekadar disimpan di lemari sampai warna kertasnya menguning.

"Put, masak sih kita ngerayain kelulusan cuma glesotan di rumput gini? Berasa kayak bandot yang mau digorok lehernya."

Desi dan teman-temannya tertawa dengan selorohan Nunik. Gadis itu kalau ngomong memang kayak motor yang remnya blong. 

"Tenang, girls ...." Putri berdiri lalu menghadap ke arah ketiga temannya. "Coba perhatikan apa yang ada di tangan Putri cantik jelita seantero jagat raya!" Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Duit!" Nunik langsung tersenyum senang. Segepok duit yang semuanya warna merah. Seratusan ribu semua!

"Betul!" balas Putri seperti orang yang sedang berorasi, tetapi dengan gayanya yang centil. "Mama ngasih duit ini buat kita seneng-seneng di kantin! Cus, ke kantin. Keburu baksonya habis!"

"Jadi, kita boleh makan bakso sepuasnya, nih?" tanya Juwita yang sudah ngiler membayangkan bakso beranaknya ibu kantin yang super duper gede dan porsi jumbo.

"Boleh dong, Juwi. Kalian boleh makan bakso sepuasnya. Mau ngabisin pancinya sekalian juga boleh."

"Yeee, emangnya kita-kita Limbad!"

"Ya kali anaknya Limbad. Cus, ah. Buruan!" Dan tanpa menunggu waktu lagi, Desi, Nunik, dan Juwi berdiri dari rerumputan menuju tempat yang selalu menjadi favorit para siswa. Kantin! Dan ketika mereka melewati lapangan basket, Putri menghentikan langkahnya. 

"Stop, girls. Gue mau manggil si Twin dulu." Dan teman-temannya itu tahu siapa yang dimakaud. Siapa lagi kalau bukan Andi, kakak yang dikenal mereka sebagai saudara kembar Putri Bramantyo. "Twiiin!" 

Suara Putri yang melengking langsung didengar oleh Andi dan kawan-kawannya. Andi tak jadi men-drible bola. Pandangan mereka semua tertuju pada Putri yang ada di koridor. 

"Lo mau makan bakso, gak? Gue traktir, nih!"

"Gak. Lo aja yang pergi. Biar tuh lemak makin numpuk! Biar tahun depan tinggal disembelih!"

"Sialan, lo!" Mata Putri langsung melihat ke arah gengnya Andi. "Boys, menurut kalian gue seksi apa seksi banget?"

Siswa-siswa itu langsung bersorak. Ada yang bersiul. Ada juga yang bertepuk tangan. "Seksi BE GE TE, Put!"

"Berarti mata kalian masih normal. Gak kayak Kakak gue yang matanya sudah rabun! Yuk deh kita ke kantin. Gue yang traktir!"

"Serius?"

"Sepuluh rius! Cepetan, deh. Bola basket gak bisa dimakan!" Dana anak-anak itu pun langsung berlari dari lapangan. Rezeki nomplok gak boleh disia-siakan. Dan terpaksa Andi pun mengikuti mereka dari belakang.

Begitu mereka sampai di kantin, ruangan itu hampir penuh. Terpaksa mereka yang berjumlaj sepuluh orang duduk berdempetan di pojok. Malah, ada yang sengaja lesehan karena kursinya gak muat. 

"Bu Mésem, baksonya masih ada?" tanya Putri yang sambil nyomot tahu isi sayur di depannya. 

"Luber-luber, Non Put. Emangnya mau pesen berapa, sih?"

"Sepuluh. Es soda gembira sepuluh. Tuh, buat lagi pada glesoran itu tuh, Bu," sahut Putri sambil menunjuk ke arah teman-temannya. 

"Beres! Ada lagi Non?"

"Ntar kalau mereka mau nambah apa aja, masukin bon Putri ya, Bu."

"Sip! Ibu siapin baksonya ya, Non."

Putri berjalan ke arah teman-temannya dengan tubuh yang melenggak lenggok bak pragawati. Dan memang begitulah Putri. Centil, bandel, cantik, sekaligus primadona di sekolah mereka. Rambutnya yang kecoklatan, kulitnya yang putih, serta tingginya yang sudah mencapai 160 cm membuat Putri terlihat menonjol di antara teman-temannya. Meskipun begitu, Putri dikenal sebagai anak yang ceria dan bersahaja. Biarpun terkadang dia sombong, dia tak pernah menyakiti orang lain dengan kesombongannya. Tak ada yang membenci anak remaja itu. Apalagi setelah mereka tahu bahwa dia adalah adik dari Andi, siswa nomor satu di sekolah sekaligus ketua tim basket yang sudah mengharumkan nama SMA Harapan berkali-kali. 

"Boleh nambah gak nih, Put?" tanya Anton yang sudah menghabiskan bakso miliknya. 

"Boleh, dong. Bungkus juga boleh."

"Serius, nih?" Mata Juwi melotot. Di mana ada gratisan, di sanalah semangatnya meledak-ledah. 

"Boleh! Bungkus aja. Duitnya masih cukup buat beli seratus mangkok!"

"Gile bener!" sahut Boim yang duduk di lantai sambil ngunyah bakwan yang udah setengah alot. "Emang enak jadi orang kaya! Duitnye tumpeh-tumpeh!"

Putri hanya tersenyum sambil memakan baksonya. Sedangkan Andi hanya diam dan mengamati adiknya. Dialah yang paling tahu bahwa tak selamanya jadi orang kaya itu enak. Tak selamanya uang bisa membuat manusia bahagia. Dan dia juga tahu bahwa Putri hanya menggunakan uangnya sebagai pelarian. Ketika mengingat Papa mereka, Putri akan membeli apa pun yang dia inginkan meskipun pada akhirnya barang-barang itu ia berikan kepada orang lain. 

"Thanks ya, Put. Jangan kapok traktir kita-kita." Mereka semua berpamitan di depan gerbang dan pulang ke rumah masing-masing. 

"Beres, deh. Hati-hati jalan, guys!" Putri melambaikan tangannya dan begitu mereka semua sudah menghilang dari pandangan mata, gadis itu merangkul tangan Andi. "Kita pulang naik taksi apa naik Bus, Bro?"

"Lo mau naik apa?"

"Kok balik nanya, sih?"

"Kan lo gak suka naik bus."

"Yaudah. Naik taksi aja, deh!" Dan akhirnya mereka berdua pun menunggu taksi lewat. Tak sampai lima menit, taksi yang ditunggu datang dan mereka berdua pun naik ke dalamnya. 

"Papa tadi telepon. Ngucapin selamat," kata Andi memulai pembicaraan. "Katanya Papa nelpon kamu, tapi gak diangkat."

"Males, ah."

"Ngirim pesan juga."

"Sudah gue hapus pesannya."

Andi tak berkata lagi ketika Putri menyandarkan kepalanya di bahunya. Dia hanya diam saat melihat bahu adiknya bergetar. Dan tanpa terasa, seragam sekolahnya pun ikut basah. 


***Bersambung ....

0 Comments