Bunga itu Masih Mekar. TAMAT

 

Rasanya pinggul Mayang mau patah ketika membawa barang belanjaan sebanyak ini di tangannya. Semua adalah permintaan Dira. Komik WB, Disney, US, semuanya diminta. Dan untuk Andi dibelikannya bola basket meski anak itu sama sekali tak meminta. Kalau Mayang tahu akan repot begini bepergian sendirian, dia tak akan menolak Rahman ketika lelaki itu menawarkan jasanya untuk menemani. Lumayan kan jadi potter dadakan? Daripada harus angkat-angkat sendiri begini.

"Putri! Begitukah caramu memperlkukan ibumu?" 

Kaki Mayang langsung berhenti melangkah ketika mendengar suara itu. Suara yang tak asing lagi dan pernah suatu ketika didengarnya setiap hari. Ia melihat ke arah restoran di depannya, di sana nampak berdiri seorang gadis remaja dengan penampilan urakan. Tingginya semampai, putih, langsing, mengenakan celana pendek yang tak mampu menutupi pantatnya. Belum lagi rambutnya yang dicat warna-warni. Persis seperti pelangi. Mereka sedang berdiri di sebuah restoran untuk mengantre masuk. Dan tanpa disadari, Mayang berjalan ke arah mereka. Dilihatnya juga Puji berdiri di sana. Mayang yakin, itu bukanlah halusinasi. Itu pasti Putri-nya. Putri kesayangannya. Anak yang terpaksa harus dia tinggalkan. Anak yang selalu datang ke dalam mimpinya dengan air mata berderai-derai. Ya, Tuhan ....

"Putri ...." Air mata Mayang sudah menetes ketika dia menghampiri Putri yang sedang kesal menunggu sambil terus menendang-nendang kursi roda di depannya. "Putri anakku ...." Mayang menjatuhkan tas belanjaannya lalu memeluk Putri yang masih terdiam dan berusaha menerjemahkan apa yang sedang terjadi. Barulah ketika Mayang melepaskan pelukannya dan menyentuh pipi Putri yang kemerahan, barulah dia menyadari siapa wanita paruh baya yang sedang menangis di depannya. Mama. Mama yang pernah mencapakannya, tetapi selalu dia rindukan. Mama yang ia benci karena memisahkannya dengan Andi, tetapi dia jugalah orang paling Putri kasihi. 

"Mama ...." Dipelukanya Mayang dengan tangisan yang keras. Putri tak peduli jika orang lain melihatnya. Dia juga tak peduli jika petugas restoran mengusirnya karena telah membuat keributan.

***

Putri dan Puji tak jadi makan siang bersama Alex dan Hilda. Dia lebih memilih ikut mamanya ke hotel setelah perdebatan panjang. "Papa sendiri kan yang berjanji kalau Putri sudah tujuh belas tahun, Putri boleh tinggal sama Mama?" 

Janji adalah janji. Dan Alex harus menepatinya. Seperti bagaimana dia menepati janjinya terhadap Hilda sepuluh tahun lalu. Dan akhirnya Alex mengalah. Dia membiarkan Putri dan Puji ikut Mayang pergi ke hotel dan dia sendirilah yang nanti akan mengantarkan paspor dan pakaian mereka. 

"Ganti bajumu, Sayang." Mayang melemparkan beberapa dasternya ke atas ranjang. "Mama gak mau anak Mama pakai pakaian yang kelihatan pantatnya."

Puji kelepasan tertawa mendengar ocehan Mayang dan melihat bagaimana masamnya wajah Putri. "Memang cuma Bu Mayang yang bisa mengendalikan liarnya Non Putri!"

Putri mengangkat daster-daster itu dan dilihat betapa menjijikkannya pakaian itu. Gombrong. Gambar tak beraturan. Seperti ibu-ibu yang mau masak. "Mama yakin nyuruh Putri pakai ini?"

"Yakin."

"Mama gak malu anaknya kayak pembokat?"

"Mama lebih malu kalau anak Mama pantatnya dipamerin ke mana-mana."

Hahaha. Sekali lagi Puji tertawa puas. Sejak berpisah dari Mayang, adatnya semakin buruk. Tak ada yang bisa mengendalikannya. Tidak juga papanya. Justru, pria yang dulu pernah ia puja-puja, menjadi pria yang paling dibencinya.

"Jangan bilang Mama juga mau Putri ngubah warna rambut."

"Memang."

"Maaa ...."

"Mama tidak menerima protes. Sekarang juga kamu pergi ke salon dan cat rambut kamu jadi warna hitam."

Dengan terpaksa Putri langsung memakai daster Mayang dan mengajak Puji ke salon terdekat. Dari kecil, ucapan mamanya adalah perintah yang tak bisa Putri tolak. Bukan karena takut, tapi dia tidak mau Mayang kecewa. 

***

"Putri sedang ke salon, Mas. Kamu mau menunggunya?" kata Mayang ketika Alex datang untuk memberikan paspor Putri dan Puji. Pria itu hanya berdiri di depan pintu dan Mayang memang sengaja tidak mempersilakan dia masuk. 

"Tidak. Aku yakin dia akan senang kalau tidak melihatku."

Mayang tak mengatakan apa-apa. Dia hanya merasa kasihan terhadap mantan suaminya. Usianya belum enam puluh, tetapi penampilannya sudah sangat tua. Gurat-gurat ketampanannya kini hanya tinggal sisa dan warna rambutnya sudah berubah menjadi putih. Mayang tak tahu bahwa waktu bisa menggerus Alex begitu cepat. "Boleh minta waktumu sebentar, May. Aku ingin minum kopi bersamamu."

Wanita itu tak menolak dan akhirnya kini mereka duduk berdua di cafe yang ada di lantai lima, hotel tempat Mayang menginap. "Maafkan aku, May. Dan maafkanlah Hilda juga. Percayalah, kami sudah mendapat balasannya."

Dihelanya napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Tadi siang saat melihat Hilda, entah kenapa kebencian yang selama ini ada di hatinya musnah begitu saja. Wanita itu kini hanya bisa duduk di kursi rodanya. Sebagian tubuhnya lumpuh karena stroke dan yang paling menyiksa lagi, Putri sama sekali tidak mengakui Hilda sebagai ibunya. Apakah ada yang lebih menyiksa dibandingkan dibenci anak kandung sendiri? Tidak, kan?

"Maaf, Bu. Maafkan saya." Itulah kalimat yang diucapkan Hilda dengan susah payah dan air mata yang jatuh begitu saja. Mayang langsung memeluknya  mencium keningnya dengan sungguh-sungguh dan tulus.

"Maafkan saya juga, Hil. Seandainya saya lebih bijaksana, saya yakin sekarang kamu masih baik-baik saja," balas Mayang dengan dada yang terasa plong. "Dan terima kasih telah melahirkan Putri ke dunia ini. Terima kasih telah menghadirkan warna-warni dalam hidup saya," kata Mayang sesaat sebelum ia dan Putri meninggalkan Hilda serta Alex di restoran.

"Sudahlah, Mas." Mayang menyeruput es kopi miliknya. "Aku sudah memaafkan Mas Alex dan Hilda."

"Terima kasih, Mayang. Kamu memang wanita yang baik."

Mayang tak menjawab pujian itu dan dia hanya tersenyum. Di mata Alex, senyum itu tak berubah. Tetap menawan. Dan lagi, rambut Mayang masih nampak hitam. Belum dilihatnya yang berwarna putih sehelai pun. Wanita itu masih tetap cantik dan menarik.

"Tadinya kami tinggal di Paris, lalu dua tahun belakangan kami pindah ke New York. Kamu tahu kenapa, May?"

"Kenapa?" 

"Niagara. Walaupun pertemuan kita di Niagara bagian Kanada, tapi di sini aku merasa dekat denganmu."

Wanita itu tak bereaksi apa-apa dan hanya menatap mantan suaminya dengan pandangan yang sulit diarikan. "Hilda tahu alasan Mas pindah ke sini?"

Pria itu menggeleng pelan. "Tidak, tetapi dia tahu kalau aku selalu mencintaimu. Bunga-bunga yang pernah kamu tanam di hatiku tidak layu, May. Mereka masih ada. Masih mekar."

Mayang menggigit bibirnya perlahan. Berharap bisa menguasai emosinya. "Kalau masih mekar, kenapa kamu memilih Hilda, Mas?"

Alex tersenyum dan meraih tangan Mayang yang ada di atas meja. Digenggamnya tangan itu erat-erat. "Ketika pilihan datang pertama kali, aku memilihmu. Kuminta Hilda untuk pergi dan kucampakkan anak dalam kandungannya. Dan saat pilihan yang kedua datang, aku memilihnya sebagai penebusan dosa. Sejujurnya ingin kupilih keduanya, tapi bukankah itu terlalu rakus, May? Tidak ada wanita yang bisa membagi cinta, tetapi pria bisa mencintai dua wanita secara bersamaan." 

Untuk sesaat, Mayang tak bisa berkata apa-apa lalu menarik tangannya dan mengambil sebuah foto dari dalam dompet. Diserahkan foto itu pada Alex yang masih menatapnya dengan dengan memelas. "Ini Andi, Mas." 

Alex tersenyum dan mengecup mesra foto Andi. 

"Dan yang di sebelahnya, Dira. Anak kita. Dia ada di rahimku ketika kita bercerai."

Sekali lagi hati Alex hancur. Namun, dia berusaha tegar meskipun pada akhirnya Mayang bisa melihat air matanya yang diam-diam jatuh dan tangannya yang gemetar ketika mengelus foto Dira. 

"Dia mirip sepertiku ...." 

Hanya anggukan yang Mayang berikan. "Saat kamu merindukan mereka, datanglah, Mas. Kamu adalah Papa mereka dan mereka akan selalu menerimamu." 

Kali ini tangis Alex tak terbendung lagi. Dia tak peduli semua mata tertuju padanya. Dia tidak peduli bagaimana dunia memandangnya. Kini dia hanya ingin menangis. Dan hanya dia dan Tuhan yang tahu air mata apa yang dia keluarkan. Apakah dia bahagia karena pada akhirnya Mayang bisa melahirkan anaknya atau air mata penyesalan yang meski air mata itu sebanyak sungai Niagara, tetap tak akan mampu memutar waktu untuk kembali ke masa lalu. 



***Tamat

0 Comments