Bab 26: ISTRI KEDUA SUAMIKU


 "Sadarlah, Mas. Aku Irene, bukan Karina," ucap Irene dengan nada dingin sedingin salju di kutub utara. Seketika itu juga Adam kembali ke kesadarannya. Ia menatap ke atas, melihat istri keduanya yang berwajah marah, tetapi matanya dipenuhi kepedihan. 

"Irene?" kata Adam sesaat sebelum tiba-tiba kesadarannya hilang dan dia jatuh pingsan. 

"Mas? Mas Adam?" Sekeras apa pun Irene memanggil dan menggoyangkan bahu suaminya, pria itu tetap tidak bangun. 

Diraihnya ponsel yang ada di dalam tas untuk memanggil ambulance. "Jangan panik, Ir," katanya pada diri sendiri. 

Sambil menunggu ambulance datang, Irene berusaha membuat tubuh suaminya telentang. Napasnya terlihat berat dan wajah Adam seperti menyiratkan kesakitan. Ingin rasanya Irene mengusap wajah itu, mengecup pipinya, tetapi wanita itu mengurungkan niatnya karena mengingat bagaimana Adam memanggil nama istri pertamanya tadi. 

Irene mendengus jengkel. Mengutuk kebodohannya sendiri karena begitu mencintai pria itu.

***

"Boleh mengantarmu pulang?" Rasanya sudah lama Karina tak mendengar suara itu. Suara yang diam-diam dia rindukan. Suara yang kadang-kadang membangunkan tidurnya di tengah malam dan membuatnya terjaga.

"Mana mobilmu?" tanya Karina menoleh ke sebelah kanan di mana Brian sudah berdiri tegak di sana. Kali ini dia tidak memarkir mobilnya tepat di depan halte bus melainkan di tempat parkir yang letaknya cukup jauh dari sana. 

"Di parkiran. Hari ini aku sedang tak ingin diamuk masa supir angkot," jawabnya enteng dan suaranya serentah biasanya. 

Karina tersenyum. Ternyata pria itu masih seperti biasanya, humoris dan konyol. Namun, justru itulah yang membuat pertahanannya runtuh.

"Ke mana keberanian Dokter Brian pergi? Biasanya tak takut pada preman jalanan, kan?"

Lelaki yang mengenakan celana jins warna biru dan kemeja putih itu langsung duduk di sebelah Karina. Ia menggulungkan lengan kemejanya sampai ke siku. Sekilas, Karina bisa melihat otot-otot tangan Brian yang menonjol. Kulitnya yang kecoklatan dan bulunya yang lebat membuat pria itu nampak gagah. Jika boleh membandingkan, Adam suaminya adalah lelaki yang tampan dan gagah. Namun, Brian tak hanya tampan dan gagah. Lelaki itu memiliki karisma yang tidak dimiliki semua pria, bahkan oleh suaminya.

"Mulai hari ini aku takut pada preman. Aku tidak mau mati konyol sebelum menikah." 

"Menikahlah agar kamu bisa mati konyol."

"Kekasihku masih menjadi istri pria lain. Mana bisa aku menikahinya?'

Karina melotot pada Brian dan lelaki itu justru tersenyum nakal dan matanya juga ikut tersenyum, ikut memancarkan cahaya seperti wajahnya. Sudah seminggu dia tak melihat wajah Karin saat sedang marah dan kesal. 

"Siapa kekasihmu? Aku tidak pernah berselingkuh denganmu!"

"Aku tidak pernah bilang bahwa selingkuhanku adalah dirimu."

Sialan! Rutuk Karina yang wajahnya sudah memerah seperti buah tomat.

"Rin?" 

Suara Brian terdengar seperti embusan angin yang lembut dan menyapu wajah Karina. Untuk sesaat dunia seakan berhenti berputar. Tak ada lagi suara klakson mobil yang jengkel karena angkot berhenti sembarangan. Tak ada lagi suara kernet angkot yang teriak sampai kerongkongannya kering untuk mencari penumpang. Yang ada hanyalah dirinya dan pria yang menatapnya dengan lembut.

"Terima kasih karena waktu itu telah menolongku dan ibuku," kata Dokter Brian dengan suara sengau seolah-olah dia berusaha keras agar air mata di pelupuk matanya tak jatuh. 

Karina tersenyum lembut berusaha menahan tangannya agar tak menyentuh tangan pria itu. "Aku senang anak yang kurus seperti kekurangan gizi itu tumbuh menjadi pria yang tampan dan berkelas."

Meski suara Karina terdengar judes dan tak acuh, Brian tahu bahwa Karina tulus menolongnya. Di balik pedasnya kata-kata Karina, terdapat kebaikan yang tak semua orang miliki. 

"Lebih tampan siapa, aku atau suamimu?"

Ah, tentu saja itu bukan pertanyaan sulit. Orang buta sekalipun bisa tahu siapa yang lebih tampan di antara mereka berdua. Brian memiliki tubuh yang lebih tinggi, lebih atletis, dan memiliki wajah yang lebih kokoh. Namun, Karina tak mengiyakan begitu saja. Ia berpaling dari lelaki itu menatap angkot serta mobil yang berlalu lalang di depannya.

"Kalau kamu lebih tampan daripada suamiku, mana mungkin kamu masih bujangan sampai sekarang?" balas Karina sinis.

"Hahaha." Brian tertawa renyah kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya yang diabaikan oleh Karina. "Kalau begitu, maukah kau mengubah status bujangku menjadi pria yang menikah?"

Hah! Terlalu percaya diri pria itu. Dan sikap Brian yang seperti itulah yang membuat Karina luluh. Wanita itu berdiri kemudian berjalan menuju parkiran. "Cepat antarkan aku pulang. Mumpung aku berubah pikiran."

Brian berjalan di belakangnya dengan bibir yang tak bisa berhenti tersenyum. Sesaat, dia merasa keputusannya benar karena tak memberitahu Karina bahwa tadi saat pulang, dia melihat Adam di rumah sakit.

***

Sudah tiga hari Karina tidak melihat bosnya muncul di kantor dan sudah tiga hari itu pula hari-hari di tempat kerja gersang karena tak ada yang dikerjai, tidak ada yang memerintah dirinya semena-mena. Kata karyawan yang sudah lama bekerja di kantor ini, Irene memang bukan bos yang bisa membaur dengan karyawannya. Dia cenderung pendiam, jarang bicara, dan hampir tak pernah tersenyum. Meskipun begitu, hampir tak ada yang mengatakan bahwa dia adalah atasan yang jahat. Kalau kerja bawahan bagus, atasan tak akan marah. 

"Kayaknya Bu Ir punya dendam kesumat sama kamu deh, Rin!" cetus Nurmala ketika mereka sedang beristirahat. "Dua tahun kerja di sini, gak pernah tuh Bu Ir ngamuk begitu."

"Apa jangan-jangan di kehidupan lalu kalian adalah saingan?" Sunti ikut nimbrung juga dan mulai mengutarakan pendapatnya berdasarkan apa yang dia lihat di sinetron. "Habisnya Bu Ir lain betul sama kamu. Bu Ir memang galak kalau kumat, tapi dia gak jahat."

"Betul. Orang kapan hari ada satpam yang ibunya kena tumor aja Bu Ir yang nanggung semua biayanya."

"Ciyus?" tanya Karina setengah tak percaya. Mana ada perempuan yang merebut suami wanita lain memiliki hati seperti malaikat? Bah! Dia bukan Robin Hood yang merampok, lalu hasil rampokannya diberikan kepada rakyat miskin. Ah, memang apa bedanya Robin Hood dengan Irene? Perbuatan mereka sama-sama tak terpuji. Menutupi kejahatan dengan kebaikan. Menutupi bangkai dengan taburan bunga tak lantas membuat bangkai itu harum, kan?

"Serius, Rin. Kelihatannya saja galak, padahal hatinya seperti malaikat."

Malaikat maut? Pikir Karina kesal. Atau malaikat perebut laki orang? Bagi Karina malaikat atau bukan, tak ada bedanya. Kebaikan Irene tak bisa bisa menghapuskan dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Karena perbuatan wanita itulah rumah tangganga hancur, tetapi bukankah karena Irene juga Karina bisa bertemu kembali dengan Brian? Cowok cungkring yang pernah ditolongnya ketika masih remaja dulu. Lelaki yang kini bisa membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya? Seharusnya Karina tidak membenci Irene, tetapi haruskah dia bersyukur jika rumah tangganya di ambang kehancuran?

0 Comments