Cerpen: Jerit Hati Nurani

 

Lomba cerpen penerbit morfeus

Sejak pagi buta, Nur sudah sibuk mengerjakan pekerjaan rumah dan menyiapkan menu sarapan untuk suaminya beserta kedua mertuanya. Hari ini ia hanya mampu menghidangkan nasi goreng ayam. Meskipun begitu, suaminya justru sangat menyukai menu yang satu ini. 

Pukul 06.30 WIB, di meja makan.

“Tidak ada menu tambahan lainnya, toh, Nur selain nasi goreng ini?”, ucapan pertama yang terlontar dari bibir sang ibu mertua. Seketika Nur sedikit merasa terkejut mendapati pertanyaan itu. Namun dengan tenang, ia berusaha untuk menjawabnya.

“Emhhh, ini permintaan Mas Handi, Bu. Beliau semalam request nasgor ayam kesukaannya. Jadi Nur buatkan pagi ini.”, sesekali ia melirik ke arah suaminya. 

“Meskipun putraku hanya meminta itu, tapi seharusnya kamu berinisiatif membuatkannya menu pelengkap lainnya. Telur ceplok atau sosis goreng, kek.”, mertuanya seakan masih belum menerima.

“I...iya, Bu. Lain kali Nur akan lebih banyak belajar lagi.”, dalam hatinya ia merasa dipermalukan dan kecewa. Mengapa usahaku seakan tak dihargai? Batinnya.

Bekal untuk Mas Handi pun sudah ia kemas dengan rapi di dalam kotak makan siangnya. Ia segera bergegas mengantar suaminya yang akan segera berangkat kerja. 

“Hati-hati di jalan, ya, Mas! Jangan ngebut-ngebut! Yang semangat kerjanya!”

“Iya, Sayang. Baik-baik di rumah, ya! Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk berbicara kepada ibu, ya!” pesan suaminya sesaat sebelum bergegas. Nur hanya mengangguk kecil.

Dalam hatinya, ia seakan berat untuk mengiyakan pesan sang suami. 

Tak lama, Nur sempat menyendiri di dalam kamarnya. Pikirannya mulai jauh melayang. Kembali ke masa-masa dimana ia masih melajang. Dulu ia sempat berharap mendapatkan seorang ibu mertua yang baik, ramah dan sayang kepadanya selaiknya anak kandung. Ia sangat berharap bahwa mertuanya nanti dapat menjadi sosok pengganti sang ibu yang telah tiada sejak ia masih gadis. Tangisnya perlahan pecah. Semua kenangannya kembali memuncak di dalam benaknya.

Beberapa tahun yang lalu.

“Nur, tumbuhlah menjadi anak yg baik budi pekerti, dapat menghargai orang lain, terlebih orang yang lebih tua darimu! Janganlah menilai orang hanya dari luarnya saja, bila kamu belum benar-benar mengenalnya!”, suara sang ibu selalu terngiang di telinganya. Meskipun kini raga mereka tak bersama, namun ia selalu merasa dekat dengan mendiang sang ibu. Ingin rasanya ia bercerita kepada sang ibu, bahwa kini ia sudah menikah dengan lelaki pilihan hatinya. Lelaki yang benar-benar ia cintai karena kebaikan hatinya. Namun ada sesuatu yang membuat hatinya selalu mengganjal.

Setelah pernikahannya dengan Mas Handi, Nur harus ikut tinggal dengan sang suami di rumah kedua orang tuanya di Bandung. Sebagai seorang istri, memang sudah seharusnya mengikuti kemana pun suami pergi. Begitu pun dengan Nur. Ia tak mungkin menolak permintaan suaminya. Selain karena Mas Handi belum memiliki rumah sendiri, pekerjaannya pun memang berada di daerah sana. 

Sementara dahulu, Nur dan Mas Handi dipertemukan di Jakarta. Saat itu Nur berprofesi sebagai pelayan di sebuah cafe kecil. Pertemuan mereka awalnya biasa saja. Namun di kesempatan kedua kalinya, mereka kembali dipertemukan di sebuah toko buku. Nur yang kala itu tengah mencari sebuah buku novel, tanpa sengaja menyenggol Mas Handi yang tengah mencari suatu buku incarannya. 

Brukkk!!!

Mas Handi hampir saja terjatuh seketika saat Nur tak sengaja menyenggolnya. Nur pun langsung meminta maaf dengan wajah sedikit tertunduk.

“Maafkan Saya, Mas. Saya tidak sengaja.”

“Oh, tidak apa-apa, Dik. Bukan suatu masalah. Saya baik-baik saja, kok.” Jawab Mas Handi dengan senyum simpulnya. Tak lama ia kembali melanjutkan pembicaraannya.

“Maaf, Adik ini bukannya waitress cafe yang kemarin melayani pesanan Saya?”

Perlahan Nur mulai berani menatap mata Mas Handi, sambil memperhatikan wajahnya yang teduh dan ramah.

“Emhhh, sepertinya iya, Mas. Saya sedikit ingat.”, jawabnya sambil mengalihkan pandangannya dari Mas Handi. 

“Salam kenal. Saya Handiyono. Tidak apa, bukan bila kita saling mengenal?”, lagi-lagi senyum manis Mas Handi selalu membuat Nur menjadi salah tingkah.

Perlahan Nur membalas uluran tangannya.

“Saya, Nurani. Senang bisa mengenal Mas Handi.”

Sejak pertemuan itu, hubungan mereka terus berlanjut dan komunikasi mereka semakin intens. Hingga pada akhirnya mulai tumbuh perasaan diantara keduanya. Lambat laun mereka mulai menjalin hubungan yang serius dan berkomitmen untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Keduanya sudah merasa saling yakin akan hal itu. Namun dalam hati Nur selalu muncul rasa takut. Rasa takut bila Mas Handi dan keluarganya tak mampu menerima ia apa adanya. Nur yang hanya seorang waitress cafe kecil, seorang yatim piatu dan hanya gadis biasa yang tak berpendidikan tinggi. Beda halnya dengan Mas Handi yang lulusan S1. 

Akan tetapi takdir tak dapat dirubah. Mereka pun menikah di Jakarta. Setelah menikah, mereka sepakat bahwa akan langsung pindah ke Bandung, untuk tinggal bersama kedua orang tua Mas Handi. Salah satu pertimbangannya adalah agar pekerjaan suaminya tak terkendala jarak. Sebagai istri, Nur pun harus siap turut serta mendampingi sang suami kemana pun pergi. Ia tak ingin memaksakan kehendaknya sendiri. Yang ia tahu, seorang istri wajib berbakti kepada suaminya. 

Awalnya sempat muncul keraguan dan ketakutan dalam dirinya perihal sifat kedua mertuanya yang belum terlalu ia kenal. Apakah mertuaku seorang mertua yang baik dan ramah terhadap menantunya? Batinnya bertanya-tanya. Hingga pada akhirnya Nur benar-benar merasakan tinggal seatap dengan mertuanya. Kesan pertama masih baik, tak ada yang aneh.

“Nurani! Sekarang kamu sudah resmi menjadi istrinya Handi. Otomatis kamu pun menjadi anak ibu dan bapak saat ini. Tinggallah dengan kami disini dengan nyaman. Tidak usah sungkan ataupun merasa malu, ya!”, ucap ibu mertuanya di awal-awal mereka pindah. 

“Baik, Bu. Nur akan berusaha menjadi istri yang baik dan In S yaa Allah akan tinggal senyaman mungkin bersama kalian di rumah ini.”

“Anggaplah kami sebagai orang tua kandungmu! Meskipun kami hanya seorang ibu dan bapak mertua, tapi tetaplah kami merupakan orang tuamu juga saat ini.”, ayah mertuanya melengkapi.

Sejak saat itu, perlahan Nur mulai membuang rasa takut dan keraguan yang dulu sempat hadir di benaknya. Ia yakin bahwa mertuanya merupakan sosok yang baik untuknya. Ia tak pernah berpikir macam-macam terhadap mertuanya. Ia hanya selalu berusaha hidup berdampingan dengan baik di dalam rumah itu. 

Namun beberapa bulan kemudian... 

Semalaman Nur begadang, mencoba menyelesaikan tumpukan pakaian yang menggunung. 3 keranjang ia selesaikan dalam waktu beberapa jam. Suaminya yang saat itu tengah masuk shift 3, tak mengetahui bahwa sang istri luar biasa berjuang menyelesaikan semua itu. Lantas sang ibu mertua tengah asyik menonton TV di ruang tengah sambil menikmati semangkuk mie yang wanginya sampai ke ruangan belakang, tempat dimana Nur menyetrika. Ibu mertuanya tak sedikitpun menengok atau bahkan sekedar berbasa basi menawarkan bantuan kepada Nur. Justru sang ayah mertuanya-lah yang datang menghampiri untuk menawarkan bantuan.

“Nur! Kalau capai, bisa diselesaikan besok menyetrikanya. Istirahatlah dahulu agar kamu tak merasa kelelahan!”.

Namun Nur menolaknya dengan halus, meskipun dalam hatinya ia merasa sangat lelah dan mengantuk. Ingin rasanya ia mencicipi mie kuah yang semerbak wanginya itu. Namun apa daya, ibu mertuanya nampak tak memperhatikannya sedikit pun. 

Di kesempatan lain, saat ia hendak mencuci pakaian, begitu kagetnya Nur saat membuka keranjang pakaian. Pakaian kotor nampak lebih banyak dari biasanya. Bila biasanya mertuanya tak pernah menyatukan pakaian kotor milik mereka ke dalam keranjang yang sama, namun kali ini semua menjadi satu. Dan herannya, pakaian-pakaian tersebur terlihat tak begitu kotor dan masih ada bau pewangi. Tapi karena tak ingin membuat masalah, akhirnya Nur tetap mencuci pakaian-pakaian tersebut hingga selesai. Hatinya merasa lelah dan bertanya, mengapa seakan ada perubahan pada sikap ibu mertuanya? Mengapa sekarang ini ibu mertuanya lebih bersikap acuh dan tidak welcome kepadanya?

Entahlah. Nur hanya merasa mulai jenuh dan tertekan. 

Namun ia tak mungkin menceritakan hal ini kepada sang suami. Ibunya begitu special di mata sang suami. Bila pun ia bercerita, sudah pasti suaminya tak akan percaya dan membelanya. Benar saja, belum juga ia mencurahkan isi hatinya, Mas Handi lebih dahulu mengawali pembicaraan.

“Sayang! Mas minta untuk pekerjaan sehari-hari, tolong kamu bantu ibu, ya. Mas nggak mau ibu kecapaian.”

“Iya, Mas. In Syaa Allah selalu aku usahakan setiap harinya. Mas nggak usah khawatir!”, ia berusaha tenang, meskipun hatinya menjerit. 

Seandainya Mas tahu kalau sekarang, setiap hari aku menyelesaikan pekerjaan rumah seorang diri. Kupaksakan mengerjakannya meskipun fisikku lelah, sangat lelah.

Namun, ia tak ingin membebani suaminya dengan segala keluh kesahnya yang tak penting. Toh di rumah itu, ia hanya numpang tinggal saja. 

Pagi ini, Nur kesiangan bangun. Bila biasanya sebelum subuh ia sudah terbangun untuk menyiapkan semuanya, namun pagi ini ia harus tersontak kaget melihat jam dinding yang menunjukkan sudah pukul 05.00 WIB. Ia sudah bersiap diri menerima wejangan dari sang ibu mertua. Akan tetapi saat jam sarapan sudah tiba, Nur merasa kaget karena di meja makan sudah tertata rapi berbagai macam masakan enak. Siapa yang memasak menu selengkap ini?

Tiba-tiba ibu mertua datang dan berkata, “Kenapa kamu terdiam, Nur? Ayo segera bersiap-siap sarapan bersama. Jangan mematung dan melamun seperti itu!”

“I...iya, Bu. Sebentar Nur panggilkan Mas Handi dan bapak terlebih dahulu.”

“Eitsss..nggak usah! Sebentar lagi mereka akan datang. Sudah ibu panggilkan, kok.”

Nur semakin terheran-heran saja, mengapa pagi ini ibu berbeda sekali sikapnya?

Mereka pun segera menikmati sarapan yang telah tersedia di meja makan. Bapak mertua memulai pembicaraan.

“Bagaimana perasaanmu, Nur dimasaki masakan selengkap ini oleh ibu?”

Nur tersontak kaget. “Emhhh, bagaimana, Pak? Ibu memasak ini semua untukku?”

“Betul, Dik Sayang. Ibu memasak ini semua special untukmu yang hari ini berulang tahun yang ke-25, bukan?”, sambung Mas Handi.

“Ayo dinikmati semua masakan kesukaanmu ini! Ibu rela bangun pagi sekali demi membuatmu bahagia di hari ulang tahunmu ini.”, ibu mertuanya pun ikut berbicara.

Entah bagaimana ceritanya mereka bisa merencanakan semua ini di tengah rasa sedihnya, yang menilai ibu mertuanya tak peduli akan dirinya. 

“Maafkan ibu, ya sejak kemarin selalu acuh kepadamu. Ibu sengaja tak mempedulikanmu saat kamu tengah sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu sengaja bersantai ria, hanya ingin menguji sejauh mana kesabaranmu. Dan ternyata menantu ibu ini benar-benar penyabar, kamu tak sedikit pun mengeluh.”.

Mata Nur mulai berkaca-kaca. Ia bingung harus mempercayai semua ini atau tidak, namun hati kecilnya mengatakan bahwa semua ini benar-benar tulus. Lantas ibu mertuanya mulai menggenggam tangannya yang mungil, sambil menatap matanya secara mendalam.

“Selamat ulang tahun, ya, menantu ibu terbaik. Semoga panjang dan berkah usiamu, dilimpahkan rejeki yang luas dan segera diberikan momongan. Kami menyayangimu sebagaimana anak kami sendiri, Nurani.”, pelukan hangat pun mengakhiri ketegangan hati Nur. 

Dalam kehangatan itu, tak terasa air matanya mengalir. Ia teringat akan almarhumah ibunya. Ia membayangkan seandainya sang ibunda masih ada, pasti akan melakukan hal yang sama kepadanya. Tak lama, Mas Handi pun berganti memeluk dan mengecup keningnya, sambil memberikan do’a terbaik untuk Nur.

“Selamat ulang tahun, istri mas tercinta. Do’a terbaik untukmu dan keluarga kecil kita. Semoga kamu senantiasa berada dalam keberkahan Allah, menjadi istri yang shalihah dan segera menjadi ibu dari anak-anakku kelak, Aamiin. Mas amat mencintaimu.”

Akhirnya tangisnya pun semakin pecah. Nur tak dapat menyembunyikan rasa haru dan bahagianya saat itu juga. Meskipun ia belum mampu berbicara dan membalas do’a dari semua anggota keluarganya, namun ekspresi dirinya sudah mampu menyiratkan bahwa betapa berkesannya semua itu baginya. 

Kini Nur teringat kembali akan pesan almarhumah ibunya yang berpesan bahwa jangan menilai orang hanya dari luarnya. Karena kita belum tentu mengetahui hatinya seperti apa. Bisa jadi orang yang kita anggap buruk dari luarnya, justru niatan hatinya penuh dengan kebaikan. Begitupun sebaliknya. Dan hal itulah yang kini tengah ia rasakan terhadap ibu mertuanya. 

Ternyata ibu mertuaku adalah sosok yang baik dan menyayangiku apa adanya, laiknya ia menyayangi anak kandungnya sendiri. Maafkan aku yang pernah berburuk sangka terhadapmu, ya, Bu. Kata hatinya mulai bersuara. 

***Tamat 


Oleh: Rina Suryani


0 Comments