Cerpen: Dijah dan Ibundaku

Lomba cerpen morfeus publisher


Selesai menemui klien, waktunya kembali ke hotel mengistirahatkan tubuh lelah ini. Dalam perjalanan, masuk sebuah panggilan video call.


"Assalamu'alaikum, Bang."

"Wa'alaikumussalam, Dijah."

"Bang … masya Allah! Alhamdulillah, Dijah sudah terima hadiah dari abang. Sempat heran saat kurir datang. Dia mengatakan paket atas nama Dijah. Padahal sudah sebulan ini tidak melakukan transaksi belanja online. Ternyata paket dari abang … alhamdulillah." Dengan wajah ceria, Dijah menunjukkan kepingan emas Antam seratus gram di tangannya.

"Terima kasih kiriman hadiahnya ya, abang … semoga Allah membalas kebaikan yang abang lakukan untuk Djjah."

"Aamiin … doa yang sama untuk Dijah."

"Abang kapan pulang?"

"Insya Allah dua hari lagi."

"Baiklah, jaga kesehatan selalu ya, Bang! Jangan lupa dikonsumsi suplemen imunitasnya."

"Insya Allah! Oh ya … abang ingin ngomong sesuatu."

"Iya … ngomong apa, Bang?"

"Terima kasih karena selama dua puluh lima tahun pernikahan kita, Dijah selalu berusaha menjadi istri yang shalihah untuk abang. Terima kasih karena mau bersabar dalam segala keadaan yang telah kita lalui. Terima kasih karena Dijah sabar menemani perjuangan abang, sejak kita miskin hingga kita berada di posisi saat ini. Terima kasih karena Dijah sabar atas segala kekurangan abang sebagai suami. Bagi abang, Dijah adalah bidadari di dunia. Insya Allah bidadari pula bagi abang nanti di surga."

"Sama-sama, Bang … maafkan Dijah karena selama ini belum bisa seratus persen menjadi istri yang shalihah. Dijah sadar bahwa diri ini hanyalah wanita biasa yang juga punya kekurangan dan cela. Benar, hidup kita tidak selalu indah. Namum, insya Allah Dijah akan selalu mendukung dan melayani abang hingga ajal memisahkan kita."


Setelah saling berpesan kebaikan dan mengucapkan salam penutup, video call kami akhiri. Hari ini adalah hari jadi pernikahan kami. Dua puluh lima tahun mengarungi luasnya samudera kehidupan pernikahan, aku bersyukur karena bahtera kami masih berlayar dengan layar kokoh yang terbentang di udara.


Rumah tangga tentunya tak hanya seputar hal-hal indah nan romantis. Ada perjuangan, kesabaran, dan air mata yang juga mengisi hari-hari selama masih bergandengan tangan, menuju tujuan dan jalan yang sama. Tak ada satu pun bahtera rumah tangga yang tidak dihantam ombak. Ada kalanya, badai pun datang menguji ketangguhan nakhoda dan chief officer-nya.


Dari Aceh, aku merantau menuntut ilmu ke Pulau Jawa. Setelah memperoleh gelar sarjana di salah satu universitas di Depok, sebuah perusahaan di Balaraja, menerimaku sebagai karyawan. Tempat kosku di Balaraja dekat dengan masjid. Dekat pula dengan kediaman sederhana milik orangtua Dijah.


Sholat berjama'ah ke masjid merupakan kebiasaan sejak kecil yang ditanamkan orangtuaku. Dikarenakan rutin sholat berjama'ah di masjid Al Barokah Sadarussalam, aku menjadi akrab dengan pak Jubair, seorang marbut yang sekaligus menjadi muazin di masjid tersebut.


Keakrabanku dengan pak Jubair, menjadi awal pertemuanku dengan putri bungsu beliau yakni Dijah. Di usia dua puluh tujuh tahun, kunikahi Khadijah Munawarah. Kala itu, ia baru lulus dari Madrasah Aliyah, usianya delapan belas tahun saat resmi menjadi istriku.


Dua tahun pasca pernikahan kami, aku dipindah tugaskan ke Jakarta. Sebulan kemudian, ayahku di Aceh, meninggal dunia. Sebagai putra sulung, tanggung jawab mengayomi ibunda dan adik perempuan satu-satunya, menjadi pikulanku. Ibunda dan Yuldaira kubawa ke Jakarta, seminggu setelah pemakaman ayah. Ibunda, Yuldaira, aku, Dijah dan Syam putra sulungku yang masih batita, sejak saat itu tinggal serumah.


Suatu hari, kala hujan turun membasahi bumi, kulihat dari jendela ruang tamu, ibunda sedang berdiri di teras depan rumah. Beliau memandangi tanaman hias yang dipeliharanya sejak tinggal di Jakarta bersama kami.


"Dijah, ke marilah!" kupanggil Dijah yang sedang menidurkan Syam di kamar.

"Ada apa, Bang?" tanya Dijah sembari beranjak dari ranjang, lalu berjalan menghampiriku.

"Lihat itu!" tanganku menunjuk ke arah ibunda di teras.

"Kenapa, Bang?"

"Itu siapa?"

"Ibunya abang," jawab Dijah dengan raut wajah bingung.

"Dijah … wanita itu adalah wanita yang melahirkan abang ke dunia. Darahnya mengalir dalam tubuh abang. Sebagaimana dalam ajaran agama kita, setiap laki-laki muslim wajib patuh dan berbakti kepada ibunya meskipun telah menikah. Sedangkan wanita muslimah, wajib patuh dan berbakti kepada suaminya bila telah menikah. Jadi … baik-baiklah kepada beliau!" aku dan Dijah diam sejenak.

"Jika terjadi konflik antara Dijah dengan ibunda, abang tak akan meninggikan Dijah di atas beliau. Apabila ibunda memerintahkan abang agar menceraikan Dijah, maka abang akan melakukannya. Jadi … sekali lagi, abang berpesan pada Dijah … baik-baiklah kepada beliau!" tambahku.

"Iya, Bang … Dijah akan berusaha," ucapnya sembari menundukkan wajah.


Di hari yang lain, dari kamarku terdengar ibunda yang meninggikan suara seperti sedang marah pada seseorang. Penasaran, aku keluar dari kamar, lalu berjalan menuju dapur. Dari balik tembok, kuintip apa yang terjadi di dapur.


Tampak olehku, ibunda yang sedang memarahi Dijah. Dari pembicaraan beliau, sepertinya Dijah melakukan kesalahan saat memasukkan bumbu masakan. Namun, menurutku tak sepenuhnya kesalahan Dijah.


Melihat peristiwa itu, aku hanya mengintip dan menutup mulut rapat-rapat. Begitu pula dengan Dijah. Saat ibundaku memarahinya, ia hanya menundukkan wajah dan beberapa kali berucap, "Iya, Bu … maafkan Dijah." Selesai kemarahan ibunda, Dijah pergi masuk ke kamar kami.


Kubuntuti langkah Dijah ke kamar. Kulihat ia membuka lemari pakaian, lalu mengambil handuk kecil. Dijah mengggit handuk kecil itu, sembari memekik tertahan. Segera kupeluk Dijah dari belakang dan berbisik di telinganya, "Sabar ya istriku. Kesabaranmu sedang dinilai oleh Allah. Abang berjanji akan setia dan berusaha membahagiakan Dijah. Tak akan abang lupakan kesabaran Dijah hari ini, menghadapi kemarahan ibu."


Setelah itu, Dijah membalikkan tubuhnya menghadapku. Kemudian ia menangis dengan suara pelan sembari memelukku.


Waktu terus berlalu, kesabaran Dijah membuahkan kasih sayang ibunda kepadanya. Tak ada beda perlakuan beliau kepada Dijah maupun adikku. Tiga tahun kemudian, adikku menikah dan ibunda tinggal di rumah Yuldaira bersama suaminya.


Bisa kumengerti, memang tak mudah bagi seorang istri tinggal serumah bersama mertua. Bersyukur karena Allah memberikan seorang istri yang sabar sebagai pendamping hidupku. Dijah adalah wanita sederhana dengan kesabaran yang jarang dimiliki wanita di luar sana. Dijah memiliki kecantikan natural yang terpancar dari hatinya.


Sebagai ibu bagi anak-anakku, ia juga tampil sebagai ibu yang luar biasa. Kesabaran dan kelembutannya, berhasil meluluhkan hatiku sepenuhnya. Cintaku berada dalam genggamannya. Kuakui banyak wanita di luar sana yang secara fisik jauh lebih muda dan lebih cantik dari pada Dijah.


Apabila kumau, bisa saja kugeser posisi Dijah dalam bahtera rumah tangga ini. Namun, tak bisa kulakukan itu padanya. Kesetiaan sebagai suami telah kuikrarkan untuknya.


*** Tamat

Penulis: Zi Chaniago

——————

*Madrasah Aliyah: Jenjang pendidikan formal di Indonesia yang setara dengan Sekolah Menengah Atas. Pengelolaannya di bawah naungan Kementerian Agama.

*Marbut/Marbot: Penjaga dan pengurus masjid.

*Muazin: Orang terpilih yang ditugaskan untuk mengumandangkan panggilan ibadah shalat.

0 Comments