Cerpen: Lidah Mertua

 

Lomba cerpen morfeus

     -Cerpen: Lidah Mertua-Aura menahan diri untuk tidak tergoda. Sejak tadi ia sudah kenyang mendengar obrolan teman-teman seruangan dengan dirinya. Aura hanya bisa mendengar, dia tetap menahan diri untuk tidak merespon obrolan menarik itu. Nanti, setelah pulang kerja, kelima temannya ingin jalan-jalan ke mal. Waktu untuk diri sendiri kata mereka serempak sejak tadi. Aura tiba-tiba merasa hampa!

“Langsung yo, rek? Enggak pakek, a i o e u, yo?” Wiwik memastikan. Aura membatin, teringat kebiasaan beberapa temannya.

“Iyo, iyo, Bu Lurah,” sindir Egy bercanda. “Mbak Santi sing biasane keakehan acara?” Bibir Egy monyong ke depan. Aura melirik sekilas.

“Opo ya, ngerasani aku?” timpal Mbak Santi cepat. Bersamaan semua orang di ruangan itu tertawa ngakak. Aura hanya tersenyum.

Ngerasani iku ojo ono wonge, rek?” ujar Mbak Santi kemudian. Egy tergelak geli. Aura bergantian memperhatikan mereka berdua. Keadaan seperti ini yang sering menerbitkan rasa rindu untuk masuk kantor. Aura sering terhibur apabila sudah berada di kantor. Andaikan saja ia bisa ikut bergabung? Alangkah serunya.

“Aura, kamu tidak ikut?” tanya Wiwik tiba-tiba. Aura merespon dengan menggerakkan kedua ujung bahunya bergantian. Aura balas melihat kepada Wiwik. Wajah Aura datar saja.

“Hari ini tidak bisa, Wik. Kebetulan aku sudah ada janji dengan ibu mertuaku. Kapan-kapan ya.” Aura tersenyum manis. Aura berharap wajahnya tidak melukiskan keadaan hatinya.

“Mbak Wik, Mbak Wik! Percuma mengajak Aura. Tidak mungkin bisa. Aura itu tidak mungkin keluar sembarangan tanpa alasan dan ijin dari ibu mertuanya. Bukannya senang malah senep, Mbak. Begitu sampai di rumah, muka mertua menyambut persis kain kusut. Selanjutnya, rentetan pertanyaan sampai ke tulang sumsum. Aura pasti capek menjelaskan semuanya pada ibu mertuanya. Benar begitu kan, Aura?” dengus Egy tanpa beban.

“Hush! Kamu Egy kalau ngomong seperti paling tahu saja!” hardik Wiwik cepat.

Aura memilih diam. Tidak perlu ia membantah atau meluruskan penyataan Egy. Mereka berenam dalam ruangan ini sudah seperti keluarga. Sedikit banyak saling tahu tentang kehidupan pribadi masing-masing. Sejak ia pacaran dengan Yudhi lalu menikah, kelima teman kantornya tahu sedikit-sedikit tentang kehidupannya. Biasanya Aura bercerita pada Wiwik. Tidak menutup kemungkinan teman-teman lain dengar dengan sendirinya. Namanya perempuan pasti saling cerita.

Wes ngerti ngono lo, Egy?” jawab Aura meredakan susasana. Wiwik tetap melotot ke arah Egy. Santi memandang samar dari kursinya. Mia dan Brenda kebetulan tidak berada di kantor sore itu. 

Aura pulang dari kantor dengan grap. Biasanya Aura nebeng dengan Wiwik sampai terminal angkot yang tidak jauh dari kantor mereka. Sore ini Aura harus menjemput Daffa putra sulungnya les drum. Tempat les Daffa sangat berlawanan arah dengan posisi kantor Aura. Harusnya Yudhi lebih praktis menjemput Daffa. Tapi Aura ingin menghindari tajam lidah ibu mertuanya kalau tahu Yudhi yang menjemput cucunya.

“Yudhi itu kepala di kantor. Kau pasti tahu pekerjaan dia banyak. Jangan kau tambahi dengan urusan jemput-jemput anak. Kau pasti bisa menjemput Daffa, kan? Jangan apa-apa suami, apa-apa Yudhi!” Aura menekan keningnya. Teringat omelan ibu mertuanya membuatnya pening.

Daffa keluar dari pintu kursus drumnya dengan wajah gembira. Aura menyambutnya dengan penuh cinta. Aura banyak belajar dari kehiduapan dirinya sehari-hari. Yudhi selalu sayang padanya. Daffa dan Megan selalu menjadi anak-anak manis baginya. Di rumah ia memang tidak memiliki kuasa apapun. Dulu, Aura merasa terkekang, namun sekarang Aura mulai mengendalikan situasi itu agar tidak menjerumuskan dirinya pada stress. Aura berusaha mengimbangi sikap mertuanya. Aura belajar melihat segala sesuatu dari sisi kebaikan saja. Mertuanya judes seperti itu tentu karena beribu alasan. Aura semakin belajar.

“Bu, kita beli ramen boleh, ya?” rengek Daffa sepenuh hati.

Ramen! Aura menimbang banyak hal sebelum memberi jawaban putranya. Di rumah ibu mertuanya pasti sudah masak. Masalah masak ibu mertuanya tidak perlu diragukan lagi. Chef terbaik di kota ini pun belum mampu menandingi masakan ibu mertuanya.

“Eyang hari ini masak cacahan daging dengan kecap, Sayang. Eyang juga membuat sapo tahu kesukaan Daffa. Bukan Ibu tidak ingin membelikan Daffa Ramen, Nak. Daffa tahu sendiri kan, Eyang paling tidak suka buang-buang makanan?” jawab Aura penuh perhitungan.

Daffa merengut. Aura membiarkan beberapa detik. Aura paham ibu mertuanya. Perihal makanan, uang, dan biaya, ibu mertuanya tidak dapat ditawar-tawar. Ibu mertuanya bisa berubah menjadi bom apabila prinsip yang ia tidak suka itu mereka langgar. Siapapun tidak berani untuk melerai apabila ibu mertuanya sudah marah. Termasuk Yudhi, putra kesayangannya.

“Begini saja, Daffa. Kita langsung pulang saja dulu. Kita makan masakan Eyang. Nanti agak malaman Ibu ajak kamu ke mal yang paling dekat dengan rumah kita. Ramen di situ sampai jam sepuluh malam, kan?” Aura tersenyum penuh kasih sayang pada putranya. Tidak lama Daffa melihat ibunya dan tersenyum.

Grab mereka meluncur dengan lambat. Lampu-lampu kota mulai menyala dengan indahnya. Aura menatap lampu-lampu aneka bentuk dan warna itu. Aura teringat seperti itu dulu kehidupannya saat tinggal pertama kali dengan ibu mertuanya. Penuh warna lampu berkelap-kelip.

“Sekarang kau sudah menjadi istri Yudhi, anakku. Waktunya kau belajar tentang sifat dan karakter suamimu. Istri itu selain pintar mengolah dapur wajib juga pintar mencari tambahan untuk keluarga. Usahakan selalu masak, jangan pandai jajan dengan tinggal pesan saja. Perut suami harus kenyang dengan masakan istri. Kau tahu itu, Aura!” Ceramah ibu mertuanya setiap kali mereka bertemu di dapur. Aura boleh cerdas di sekolah, cekatan kerja di kantor, di dapur bersama ibu mertua dia berubah seperti orang buta sekolah. Semua salah!

“Masak tidak perlu lama-lama! Bangun lebih pagi dari suami. Begitu suami bangun kau harus sudah mandi dan rapi. Istri itu tugasnya banyak, begitu kau memutuskan menikah makan kau siap mengubah segala kebiasaanmu untuk rumah tanggamu. Kau paham!” Suara ibu mertuanya terngiang-ngiang memecah dinding.

Grab mereka berhenti di depan rumah. Pintu gerbang terbuka sedikit termasuk pintu depan rumah mereka. Ibu mertuanya tampak rapi dan elegan menyambut kedatangan mereka. Megan berada di samping Eyangnya. Ibu mertuanya menyambut hangat Daffa.

“Aura, segera mandi ya. Daffa biar Ibu yang rapikan. Setelah ini kita makan malam bersama. Ibu sudah buatkan botok udang, tahu, dan tempe kesukaan kamu. Ada sop jagung juga. Yudhi juga dalam perjalanan pulang. Cepat ya?” suara Ibu mertuanya lebih lunak dari biasanya. Lidah ibu mertuanya berubah.

Aura mengangguk tanpa suara. Aura teringat kelima temannya di mal yang sedang bahagia. Tetapi ia di rumah juga sama bahagianya dalam bentuk yang berbeda.


-Tamat-




                     

Lomba cerpen morfeus

                               

RICARDO MARBUN, kelahiran Jakarta, 27 Nopember. Lulusan Unesa. Menyukai menulis sejak tahun 2010. Karyanya dimuat di berbagai media nasional. Pemenang Utama Travel & Love tahun 2014. Satu Karyanya masuk dalam Kumpulan Cerpen Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta. Pemenang Lomba Cerpen Preman dan Corona, ANP Books, 2020. Pemenang 2 Lomba Cerpen Narrative Writing, 2020, Pemenang 2, Lomba Cerpen Penulis Muslim, 2020, Pemenang 3 Lomba Cerpen Pejuang Antologi, 2020. Pengagum Budi Darma, Pramudya dan Mira W. Tinggal di Surabaya. Ingin menulis sepanjang hayat.











     












0 Comments