Cerpen: Tujuh Helai Uban

 

Lomba cerpen penerbit morfeus

Dilwa sulit bergerak, terdekap dalam pelukan tanpa kenikmatan. Hembusan napas yang begitu dekat tiba-tiba mengundang risih. Seperti ketika ada orang iseng meniupkan udara dari lubang sedotan minuman ke wajahmu. Dilwa geli membayangkan selain udara akankah ada hal lainnya yang menyertai. Lalu aroma kecut keringat seperti pengecut yang menyerang tanpa menampakkan wujud. Semuanya bersekongkol bagai geng nakal yang gemar merudung.

Sayangnya Dilwa tiada berhak memposisikan diri sebagai korban. Karena dia yang memintanya sendiri bahkan dengan rengekan. Ditambah suara manja pula. Dan kini dia tinggal dalam penyesalan. 

"Setelah mengambil kesenangan, kamu mau tidur begitu saja," sindir Dilwa. Tangannya bersila di dada, bibirnya mengerucut bak piramida, dua kakinya menghentak kasur. Itulah latar belakang yang menghantarkan Dilwa pada masalah ini. 

"Lalu?" tanya Hans lugu, tidak tahu judul drama apa yang sedang ditayangkan istrinya.

"Tidak ada terimakasih?"

"Terima kasih, ya. Terima kasih sayangku. Cukup? Atau aku harus menulis seratus banyaknya di buku tulis?" Lengan Hans menindih wajah lebarnya. Cahaya mata sudah menyusut dayanya. Dia sudah tidak berminat bicara, hanya ingin tidur segera.

"Bukan itu. Aku maunya dipeluk." 

"Cepat sini!" Hans menarik tubuh Dilwa lantas membungkusnya dalam pelukan. Akan tetapi yang dirasakan Dilwa seolah dirinya dilumpuhkan oleh atlit sumo. 

"Besok aku disuruh Mamah ke rumah." Dilwa mulai masuk pada pembahasan. Dalam khayalannya, tidak ada yang lebih romantis yang dilakukan oleh pengantin baru selain berbincang dari hati ke hati dalam pelukan yang menghangatkan. Ya, dia baru tujuh malam menjadi seorang istri. Hingga dengkuran halus Hans menguncang teori romantis dalam kepala Dilwa. 

*

"Nasi sebentar lagi matang. Tumis pare dan ayam goreng ada di lemari. Nanti ambil sendiri sarapannya, aku harus segera ke rumah Mamah," lapor Dilwa ngos-ngosan. Tangan Dilwa menyabet handuk, mengobok-obok kotak lemari plastik; memilih celana dalam dan BH bermotif kembang-kembang. Masih juga mulutnya sempat mengomel secara terselubung. Betapa multitasking-nya seorang perempuan. 

"Hmm..." gumam Hans tanpa mengangkat wajah apalagi menoleh. Dia duduk di pinggir kasur dengan dua kaki menjulur, punggungnya rebah pada tembok, pikiran terfokus pada lawan mainnya di game; bukan pada lawan bicaranya. 

Dilwa melempar tombak matanya ke arah jam dinding. Jarum panjang pendek memukul angka sepuluh. Dia menyadari tidak akan sempat lagi mengomentari suaminya. Gegas Dilwa menuju jeding¹, mandi keduanya dalam sepagi ini. Subuh tadi dia sudah mandi keramas demi mengguyur kewajiban. Lalu menyapu rumah hingga halaman, mencuci di mesin diselingi memasak, dan menyadari betapa dia berkeringat saat menjemur pakaian. Tentu dia tidak mau tercium apek oleh ibu mertuanya.

Selepas mandi, Dilwa berdandan sewajarnya. Menyisir rambut, menyapukan bedak, memulas bibir dan melukis alis. Beruntung sebelum menikah, Dilwa meluruskan kembali rambut dengan smoothing salju sehingga tidak dibuat putus asa oleh rambut bergelombangnya. Mengenai bedak, dia suka bedak dari merk yang sama dengan facial wash dan foamy cleanser yang telah dinilainya cocok. Perihal pemerah bibir memang dia sangat membutuhkannya, dalam rangka menutupi aib bibir hitamnya. Begitu pula dengan pensil alis, dia ditakdirkan punya alis tipis dan akhir-akhir ini alisnya juga rontok.

"Aku berangkat, Mas!" 

"Jalan kaki saja, tidak usah naik motor! Skuter matiknya mau aku cuci!" Teriakan Hans membuat Dilwa jengkel. Digantungnya kembali kunci motor ke tempatnya semula. Menjadi sia-sia Dilwa mandi kedua kali, dia akan berkeringat kembali.

Memang rumah mertuanya tidak terlalu jauh tetapi berjalan kaki paling tidak disukainya. Dia akan mencuri perhatian khusus dari tetangganya. Pula dia harus rela meluangkan cukup waktu untuk melayani segala sapaan, pertanyaan juga basa-basi dari para tetangga di sepanjang perjalanan dari rumah ke rumah mertuanya. 

"Mencari Mamah? Mamah ada di Gazebo." Bapak mertua yang sedang bercengkrama dengan burung peliharaannya menangkap kehadiran Dilwa.

"Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu." Langkah Dilwa melipir lewat samping rumah, berjalan terus ke belakang hingga mencapai gazebo. Sebuah gazebo yang cukup luas dengan kolam ikan di bawahnya. Berlantai keramik coklat, bertiang empat, diimbuhi halaman depan yang cukup untuk meja  dan kursi santai. Cocok untuk acara keluarga.

"Geus dahar acan?"² sapa Mamah yang tampaknya sudah menunggu kedatangan Dilwa. Mamah pernah tinggal dan berdagang batik di Cianjur. Dua belas tahun lebih. Dari Hans masih di bangku SMP hingga baru tiga tahun silam Mamah pulang dan menetap di kampung kelahiran. 

"Apa, Mah?"

"Wis sarapan durung?"³ 

"Oh sudah, Mah." Dilwa memilih berbohong. Dia tidak mau kejujuran membuat nilainya memburuk. Datang terlambat, belum sempat sarapan pula.

"Ya sudah sini cepat. Ayo dimulai!" Mamah menepuk tikar tempatnya duduk. Mungkin lantai gazebo belum dipel hingga Mamah menggelar tikar di atasnya.

"Mulai apa, Mah?" Mimik Dilwa tampak bodoh. 

"Mulai mencabut uban." Mamah mengangsurkan sisir dan pinset pada Dilwa. Tangan Dilwa menerima tetapi tidak dengan pikirannya. Dia belum memahami undangan Mamah padanya untuk datang ke rumah minggu pagi ini, dia semalaman gelisah sendirian memikirkan ada apa gerangan, lalu segala persiapan yang dia lakukan sebaik-baiknya sebelum datang.

"Copot saja kucirannya!" perintah Mamah membuat Dilwa terperangah. Dengan gerakan ragu, dia melepas kucir dan mulai menyisir rambut ibu mertuanya. Memilah jalur rambut sembari menajamkan penglihatan.

Mencabut uban merupakan pengalaman pertama Dilwa. Ibu kandungnya sendiri sepertinya belum beruban, toh kalau ada rambut putih pasti akan langsung disamarkan oleh cat rambut. Ibunya pernah mencoba berbagai warna, kecuali hitam dan putih tentunya. Ibu selalu berjiwa muda, seolah menolak disebut tua. 

Ibu ingin serupa Kajol-artis Bolywood kesukaannya-yang semakin berumur semakin matang kecantikannya. Oleh karena itu Dilwa diberi nama dari kata depan film India laris berjudul "Dilwale Dulhania Le Jayenge". Dilwale yang berarti berhati besar.

Kala film Kajol dan Shahrukh Khan itu merajai bioskop, ibu sedang hamil tujuh bulan. Ibu memang penggemar berat film India. Dari masa Sridevi hingga Alia Bhatt. Dari jaman Amitabh Bachchan sampai Ranveer Singh. 

"Teh Ade itu asli Sunda. Dia dahulu keukeh tidak mau menikah dengan laki-laki Jawa. Cinta Hari ditolaknya berkali-kali. Konyol, dia saat itu percaya mitos kalau perempuan Sunda dan laki-laki Jawa tidak akan berjodoh panjang. Namun pendiriannya runtuh saat Hari menyerahkan uang dua kali lipat dari tantangan yang diberikan ayahnya sebagai syarat narosan atau lamaran," cerita Mamah tiba-tiba mengalir. 

Kali ini menyadari bahwa menantunya buta bahasa serta budaya Sunda, Mamah menjelaskan tentang kebiasaan, adat istiadat dan berbagai hal menarik dari tanah Sunda, khususnya Cianjur. Mamah kemudian menyambung ceritanya tentang Teh Ade. Segala kelebihan, keberhasilan dan sisi positif lainnya mengenai Teh Ade dituturkan secara jelas dan deras. Sampai Dilwa berpikir Teh Ade adalah menantu kebanggaan Mamah. Mungkin secara tersirat Mamah ingin Dilwa meneladani Teh Ade, menantu yang sukses melanjutkan bisnis yang ditinggalkan Mamah di Cianjur.

Satu uban hari ini tercabut. Dilwa takut ibu mertuanya kecewa. Padahal dia sudah berupaya keras mencari uban dengan teliti namun setiap permulaan pasti sulit. Dilwa menenangkan diri dan berjanji akan lebih semangat lagi pekan depan. Karena Mamah sudah memintanya untuk selalu datang tiap hari minggu.

*

Pekan kedua mencabut uban. Dilwa tampak lebih gairah. Dia datang lebih pagi dan sudah sarapan. Dia mengira Mamah akan berkisah tentang Teh Ade atau hal-hal unik di Cianjur lagi. Mamah tanpa diduga bercerita tentang menantu keduanya: Mbak Risma. 

Tidak menjadi masalah bagi Dilwa tentang siapa yang menjadi subyek dari cerita Mamah. Hingga sesuatu mendadak menabok perasaan Dilwa. Pujian yang bisa dibilang berlebihan kembali diberikan ibu mertuanya kepada menantu keduanya. Seketika Dilwa merasa rendah diri. Dia bukan apa-apa dibanding dua menantu hebat itu. Dia hanya gadis manja yang selalu menggelendot pada lengan ibunya. Alih-alih selulus kuliah mencari pekerjaan dan mengumpulkan pengalaman, dia hanya iseng membantu di butik milik ibunya. Di butik itulah dia bertemu dengan Hans. Mereka menjalin asmara hanya sebulan sebelum menginjak pelaminan. Dan sekarang dia hanya berstatus sebagai ibu rumah tangga.

"Sudah, cukup untuk hari ini," pungkas ibu menepis tangan Dilwa. 

Lagi, hanya tercabut satu uban. Dilwa mulai berpikir mungkin ini yang terbaik. Kalau dia mencabut banyak uban, akan seberapa sedih ibu mertuanya. Mamah akan berpikir sudah sangat tua. 

*

Pekan ketiga, keempat, kelima, keenam berlalu begitu saja. Dilwa melewatinya dengan tabah. Meski ibu mertuanya berturut-turut membanggakan para menantunya yang enam. Meski dia hanya selalu dapat satu uban pada tiap minggunya. Akan tetapi tampaknya bukan uban yang dibutuhkan ibu mertuanya. Kemungkinan Mamah hanya butuh pendengar.

Beragam kemungkinan bermain-main dalam batok kepala Dilwa. Apa yang akan terjadi esuk pagi di pekan ketujuh? Apakah Mamah akan membanggakan dirinya juga sebagai menantu ketujuhnya? Tapi apa yang bisa dibanggakan darinya? Batin Dilwa bertanya. Pesimis membelai dada. Membuat cemas.

Oh, bisa jadi Mamah bukan ibu mertua kebanyakan. Mamah lebih suka memuji dan melebih-lebihkan kebaikkan menantunya dibanding mencibir tiada guna yang justru memaku luka. Pasti Mamah juga akan berlaku adil padanya. Optimis menguncang dada. Mencipta semangat. 

"Kamu sudah tidur?" Hans menoleh pada isterinya. Dilwa malam ini di luar kebiasannya. Bukan adatnya dia diam saja saat Hans yang membuka perbincangan.

"Hmm..."

"Kukira sudah tidur, dari tadi kamu diam saja. Padahal biasanya kamu yang merengek-rengek agar bisa mengobrol sambil pelukan." Hans menunggu respon manja atau apapun itu dari istrinya tetapi Dilwa sibuk dengan pikirannya sendiri. Selanjutnya Hans menyerah tidur karena Dilwa tidak menggubrisnya sama sekali.

Terbangun kesiangan, Dilwa tidak mendapati suaminya. Raibnya skuter matik dari garasi memberi jawab Dilwa bahwa suaminya sedang keluar. Entah pergi kemana. Selesai Dilwa memasak dan mandi, suaminya masih belum tampak. Dilwa terpaksa jalan kaki lagi, tidak mungkin dia menyetir mobil hanya untuk ke rumah mertua. Bisa jadi bahan kasak-kusuk tetangga.

Menetapkan langkah, memantapkan hati. Dilwa sudah siap apapun dan siapapun yang akan diceritakan Mamah padanya hari ini. Dia tidak perlu berpura-pura menjadi seperti Teh Ade, Mbak Risma, Mbak Indah, Mbak Sandra, Mbak Alda, Mba Naima. Dia adalah Dilwale Cantika Putri Prastawa, yang istimewa dengan segala yang ada pada dirinya.

Mata Dilwa membulat kala dari tempatnya berdiri dapat dipandangnya keramaian di gazebo. Dilwa menyeret langkahnya dalam tanya tanya besar.

"Kamu baru datang, Dilwa! Ayo lekas bergabung dengan kakak-kakakmu." Mamah duduk di kursi santai, wajahnya cerah, senyum tak henti-hentinya. Mamah menikmati diri di antara canda dan gelak tawa suaminya, anak-anaknya, menantu-menantunya dan cucu-cucunya. Di depan Gazebo samping kanan terdapat meja panjang yang penuh dengan berbagai makanan di atasnya. Dilwa masih mematung. Pertanyaan besarnya belum terjawab.

"Hari ini Mamah ulang tahun, jadi tidak ada uban untuk hari ini. Oh ya, jurus Mama mujarab juga. Ini semua berkatat kamu."

"Jurus?" Biarlah tampak bodoh, Dilwa tidak bisa menutupi rasa penasaran yang menghantamnya.

"Ya, mitosnya jika kuping panas tandanya ada orang yang sedang membicarakan kita. Dan lihatlah kakak-kakakmu yang ada di perantauan merasakannya. Mereka yang awalnya menolak pulang tiba-tiba tadi malam serempak datang. "

"Mengapa kamu hanya berdiri saja? Kamu bingung? Itulah akibatnya melamun kalau diajak bicara suami. Padahal tadi malam aku sudah cerita tentang kejutan ini." Hans menepuk pundak istrinya. Dilwa tersadar akan kebodohannya.

Musik menyala. Uluran tangan Hans, langsung disambar Dilwa. Sudah saatnya berbahagia. Tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu yang tidak ada tetapi justru kita ada-adakan.#


1. Jeding = kamar mandi

2. Geus dahar acan? = Sudah makan belum?

3. Wis sarapan durung? = Sudah sarapan belum?


Data Penulis

Endang Sri Sulistiya, lulusan Fisipol UNS Tahun 2008 ini berusaha kembali ke dunia tulis menulis setelah sekian lama vakum. Sewaktu masih menggunakan nama pena Lara Ahmad, beberapa kali cerpennya mendapatkan kesempatan dimuat media lokal dan nasional. 

Lomba cerpen morfeus publisher



0 Comments