Suamiku Perkasa. Bab 37-39

 



Bab 37

Pagi itu Gera berangkat bersama Roy. Karena kebetulan akan ada meeting bersama Devan. 

"Roy, bisakah kau berjalan sedikit pelan? Langkahmu sangat panjang." Tegur Gera kesal. Ia tak bisa menyetarakan langkahnya dengan Roy. 

"Kita harus meeting, Gera." Timpal Roy tanpa melihat Gera yang mengejar dari arah belakang. 

"Tunggu! Roy! Tunggu!" Langkah Roy terhenti. Saat menghadap belakang, ia mendapati Gera yang ngos-ngosan. 

"Kau membuatku berlari! Jika aku lelah sepagi ini, aku tidak akan bisa fokus bekerja nanti. Kau menyebalkan, Roy!" Kantor masih sepi, namun mereka sudah terburu-buru. 

Roy memutar kepala malas. Ia segera menghampiri Gera yang tengah berjongkok disana. "Sini kugendong!" 

Tanpa menunggu persetujuan Gera, Roy mengangkat dan menggendongnya. 

"Roy! Aku bisa jalan sendiri. Lepaskan!" Gera menjerit-jerit dan memukul punggung kokoh Roy. 

"Turunkan aku, Roy! Aku malu!"

"Mau malu sama siapa? Kau buta?! Kantor masih sepi." Balas Roy jengah. 

"Dan diamlah! Kita belum menyiapkan berkas-berkas." Tambah Roy dingin. 

Gera mengerti akan kepanikan Roy. Tetapi ini semua juga karena dia yang mabuk tadi malam. 

"Siapa suruh mabuk?!" Cicit Gera agar tak terdengar oleh Roy. 

"Aku bisa mendengarmu, Nona!" Gera menutup mulutnya.


Saat rapat sudah selesai, Devan menemui mereka di ruangan. Ada yang harus dibicarakan, katanya. 

"Hai, Gera.." Sapa Devan. Namun hal itu memancing tatapan tajam dari Roy. 

"Hai, Devan. Apa kabar?" Jawab Gera. 

Devan dan Gera berbincang serius. Gera tidak sadar akan kemarahan Roy, tetapi Devan tahu. Ia sengaja memancing emosi Roy. Ia sudah tahu kelemahan Roy. 

"Devan, kau bilang ada yang harus dibicarakan. Bisa langsung keintinya saja?" Tanya Roy dingin. Sekarang Gera tersadar kalau Roy sedang sentimen. Itu membuat dirinya menjaga pandangan dari Devan. Jangan sampai dia dihukum lagi oleh Roy. 

"Ah ya, Roy. Aku rasa kita harus mempercepat semua rencana. Karena kurasa itu akan lebih baik. Bagaimana? Apa kau setuju?" Ujar Devan. Ia senang sudah berhasil memancing amarah Roy walaupun tak terlihat. Tetapi ia bisa merasakan itu. 

"Aku tidak bisa langsung mengatakan setuju atau tidak. Ini bukan masalah kecil, dan aku harus berpikir lebih teliti lagi." Jawab Roy  bermaksud menolak secara halus. 

"Oke. Tak apa. Kau bisa memikirkannya terlebih dahulu. Aku pamit." 

Devan berlalu dengan perasaan senang. Entah kenapa, ia merasa tertarik dengan Gera, asisten Roy yang sangat menawan itu.  

'Sebentar lagi, Roy. Sebentar lagi kau akan tumbang. Dan Gera, akan menjadi milikku.  Aku yakin seribu persen, Gera akan lebih memilihku. Bersiaplah, Roy!' Batin Devan.

Sementara di dalam ruangan, Gera merasa takut pada Roy. Sejak tadi Roy hanya diam dan fokus pada layar komputernya.  

"Hmm.. Roy, apa kau mau minum kopi?" Gera menawarkannya agar suasana tidak terasa sangat beku. 

"Tidak." Gera tersentak mendengar jawaban simpel, jelas, dan padat dari Roy. Masih saja Roy tak mau melihat Gera. 

Gera memutar otak, apa yang harus ia lakukan agar Roy tak bersikap dingin lagi. 

"Hmm. Lalu kau mau apa, Roy?" Tanyanya lagi. 

"Tidak ada." Jawab Roy lagi. Simpel dan padat. 

Gera sudah kehabisan akal. Ia tak tahu harus berkata apa lagi agar Roy tak bersikap dingin lagi. Ia merasa sangat risih.

Dengan keberanian yang dipaksa, Gera menghampiri Roy dan memeluknya dari belakang. "Lalu apa maumu?" Ia sengaja berbisik di telinga Roy. 

"Jangan menggodaku, Gera. Jika kau tak mau kesakitan lagi." Ujar Roy dingin. 

"Aku sudah sembuh, Roy. Lebih sakit melihatmu bersikap dingin seperti ini." 

Gera berusaha mendekati Roy, bersikap friendly, agar keinginannya untuk terbebas segera ia dapatkan.

Tangan Gera mulai berjelajah. Mencoba menggoda Roy. Sejujurnya ia sangat canggung dengan semua yang ia lakukan ini. Dengan bekal ilmu dari film yang pernah ia tonton, ia mencobanya. Mencoba menjadi Gera yang nakal. 

"Aku yakin kau sudah sangat menginginkan ini, Roy." Bisiknya lagi. Bisa ia lihat tengkuk Roy yang meremang akibat hembusan napasnya. 

"Eunggghh... Ge, kau menggodaku!" Lenguhan lolos dari mulut Roy. Ia tergoda dan tentu saja ingin lebih. 

"Lakukanlah!" Suruh Gera. Entah kenapa ia juga merasa kalau hasratnya tumbuh dan ingin disentuh oleh Roy. 

          

***

Sekarang Gera sedang berkeliling untuk membeli beberapa makanan. Roy mengizinkannya keluar. Tentu saja hal itu membuat Gera sangat kegirangan. 

Saat berada di salah satu toko, dari kejauhan ia melihat ada Alvin. Dan parahnya, ia masuk ke toko yang sama.  

"Aku harus sembunyi! Jika tidak ini akan menjadi masalah besar." Ujarnya seraya mencari tempat aman untuk bersembunyi.

Gera benar-benar kapok dengan hukuman brutal Roy. Ia tak mau hal itu terjadi lagi. Membayangkannya saja ia malas. 

"Kenapa Alvin lama sekali? Astaga! Kakiku sangat sakit jika harus berjongkok lebih lama lagi disini." Ia menjitak kepalanya sendiri. 

        

 Ia melihat jam tangannya dan meringis seolah merasa sakit. "Astaga! Sudah telat. Seharusnya aku sudah kembali. Roy bisa marah jika seperti ini." 

Gera mengedarkan pandangannya. Mencoba mencari celah yang bisa ia lewati untuk keluar dari toko ini tanpa harus bertemu dengan Alvin. 

"Oke. Disana!" Cicitnya girang. 

Ia menutupi wajahnya dengan selembar selebaran yang ia ambil dari rak penjual. Langkah ia pelankan hingga tak bersuara. Orang-orang menatapnya aneh. 

Saat Alvin berbalik, ia berjalan mundur agar tak terlihat. Pelan. Pelan. 

"Hai, Gera!" Seseorang menyapa dan memegang pundaknya. 

Refleks Gera berbalik dan menutup mulut pria tersebut. Namun saat melihat siapa orang itu, Gera langsung menyingkirkan tangannya. Mulutnya menganga karena terkejut. Bagaimana bisa ia bertemu dengan orang ini lagi?





Bab 38


"Adit?!" Kata Gera lirih. 

Adit menyeringai licik. Barang-barang yang ada di tangan Gera kini terlepas. Dengan kecepatan yang ia bisa, Gera berlari. Dan mengejutkan, Adit mengejarnya. Smirk mengerikan itu tak hilang dari wajahnya. 

"Kau tak akan bisa lari, sayang." 

Gera menangis saat Adit berhasil menangkapnya. Gera meringis merasakan tangannya yang perih akibat digenggam terlalu erat oleh Adit. 

"Kumohon, lepaskan aku!" Gera memohon sembari meraung menangis. 

"Tak akan! Aku sudah kalah beberapa kali. Tapi tidak sekarang. Kau harus menunduk padaku." Geram Adit kasar. 

"Tapi kau menyakitiku!" Teriak Gera. 

Smirknya semakin mengerikan. Gera sudah sangat takut. Ia ingin meminta pertolongan, tapi disini sepi. Tak ada yang bisa dimintai bantuan. Ia meronta-ronta. Mencoba memberontak agar terlepas dari orang gila ini. Tetapi nihil, tak bisa. Tenaganya kalah telak. 

"Lepaskan!" Jerit Gera lagi. 

"Diam! Kau berisik sekali." Bentak Adit. 

Adit mengeluarkan sebuah kain kecil dari dalam kantong jaketnya. Dan segera menutup mulut serta hidung Gera dengan kain itu. Perlahan kesadaran Gera mulai menghilang. Ia pingsan karena menghirup bius yang ada di kain itu. 

Bukannya berhasil menghindari duri, ia malah menginjak beling. 

***

Tutt... Tuttt... Tut.... 

Roy menelpon Luis. Ia sangag panik karena Gera belum kembali juga. Seharusnya ia kembali satu jam yang lalu. 

"Luis, cepat cari Gera! Dia menghilang lagi.  Seharusnya dia kembali satu jam yang lalu. Cepatlah cari dia!" Roy benar-benar panik saat ini sampai-sampai pekerjaannya ia tinggalkan begitu saja. 

Luis tidak langsung mencari Gera. Ia memutuskan untuk mendatangi Roy terlebih dahulu. 

"Aku sudah menyuruhmu mencarinya. Lalu kenapa kau kesini?! Shit!" Umpat Roy. 

"Boss, tenang dulu. Anda jangan panik berlebihan seperti ini. Kita akan sulit menemukannya jika Anda menyikapinya tidak tenang." Ujar Luis santai. 

Roy hampir saja mengamuk jika tidak menyadari apa yang Luis katakan itu memang ada benarnya. 

"Lalu aku harus santai, begitu? Apa kau gila?! Aku tidak mau kehilangan dia lagi untuk yang kedua kalinya!" Bentak Roy. 

"Tenang, Boss. Ingat, saya sudah memasang alat pelacak di jam tangan Nona Gera. Kita bisa mengetahui dimana dia. Jadi tolong, Anda tenanglah agar semuanya cepat clear." Tutur Luis tenang. 

Roy tersentak. Ia lupa karena kecemasannya yang berlebihan. "Cepat periksa sekarang!" 

Luis mengangguk dan segera meminjam komputer yang ada disana. Tak menunggu lama, tempatnya sudah terlacak. 

"Apa kau tahu dimana itu?" Tanya Roy. 

Luis mengangguk. "Tidak jauh dari sini. Kita bisa menyusulnya sekitar setengah jam saja." 

"Itu terlalu lama! Kita pakai helikopter saja, bisa?" Tanya Roy. 

Luis terkekeh. "Itu terlalu berlebihan, Boss.  Jika Anda memiliki supercars, untuk apa memakai helikopter? Kita akan sampai hanya dalam beberapa menit saja." Tambah Luis. 

"Tapi boleh saya meminta sesuatu terlebih dahulu, Boss?" Roy mengangguk dan menyuruh Luis mengatakannya. 

"Kita tidak boleh gegabah. Masalahnya, kita tidak tahu kalau Gera sengaja menghilang atau memang ini ulah seseorang." Roy mengangguk-ngangguk mendengar penjelasan Luis. 

Luis dan Roy segera bergegas mengambil supercars untuk menjemput Gera. Semoga saja ia tak apa-apa, batin Roy dan juga Luis. 

***

Isak tangis Gera terdengar sendu. Sesekali ia memekik keras meminta Adit untuk melepaskannya. 

"Menangis saja sekeras mungkin. Aku tidak akan peduli." Ujar Adit. 

"Kau mau apa, Adit? Kenapa kau sangat suka menggangguku?" Tanya Gera sambil terisak. 

"Karena aku belum mendapatkan apa yang aku mau darimu." Jawabnya dengan seringai licik. 

"Apa yang kau mau dariku tidak akan bisa kamu dapatkan, brengsek!" Teriak Gera. 

Adit menghampirinya dan mengelus lembut pipi mulus itu. "Kau hanya harus melayani dan memuaskanku, sayang." Ujar Adit licik. 

"Jangan menyentuhku, sialan! Aku tak sudi disentuh olehmu. Dan dengarlah dengan jelas! Aku bukan j*langmu! Lepaskan aku, sialan!" Pekik Gera marah. Emosinya membuncah namun ia tak bisa melakukan apapun karena dalam keadaan terikat. 

Plaakkkk!!

Gera meringis merasakan pipinya yang terasa sangat perih akibat tamparan dari Adit. 

"Diam kau, setan! Aku akan membuatmu menunduk padaku. Dan kau akan datang padaku dengan sendirinya. Bahkan mengemis utuk memuaskanku." Tawa menggelegar Adit memekakkan telinga Gera. 

Cuuiihhh!! 

Gera meludah kasar. "Dalam mimpimu, brengsek!" 

"Siapapun... Tolong aku!!" Gera berteriak sekeras mungkin, berharap akan ada seseorang yang menolongnya. 

Tapi, teriakan itu bukannya membuat Adit takut atau sekedar khawatir tertangkap, ia malah tertawa terbahak-bahak. Semakin Gera menjerit berteriak meminta bantuan, tawanya semakin pecah. 

"Kau bisa berteriak hingga pita suaramu putus, sayang. Aku tidak akan rugi. Disini tempat sepi dan jauh dari perumahan. Teriakanmu hanya berbuah sia-sia." Ujar Adit semakin terbahak-bahak. 

"Bajingan kau Adit! Aku membencimu! Lepaskan aku!" Teriak Gera lagi. Amarahnya yang membuncah tak bisa menghalangi air mata itu menetes deras. 

"Roy, tolong aku. Luis, tolong aku!" Pekik Gera. Ia terisak hingga merasa sulit bernapas. 

"Lelaki kaya raya itu? Dia tidak akan bisa menemukanmu, j*lang! Memang siapa dirimu hingga mengharapkan pria kaya itu?" 

Kata-kata Adit seakan menampar keras Gera. Benar yang dikatakan Adit, siapa dirinya yang mengharapkan Roy? Pria kaya raya yang bisa mendapatkan apapun yang ia mau detik itu juga. Terlebih seorang wanita. Banyak kaum hawa yang mengelu-elukan dirinya. 

"Kenapa diam? Kau sadar siapa kau sebenarnya?" Bentak Adit. Gera tersentak kaget. 

"Kau hanya dimanfaatkan, sayang. Lebih baik kau bersamaku. Melayaniku dan memuaskan nafsuku. Uhhh, itu pasti sangat menyenangkan!" Ujar Adit sembari tertawa licik. 

Cuiihh!! 

Lagi-lagi Gera meludahi wajahnya. Namun tidak seperti tadi, kini Adit kesal dengan tingkah Gera yang terus saja meludahinya. 

Plakkkkk!! 

"Aku bukan hewan yang bisa kau ludahi semaumu, j*lang!" Bentak Adit. 

Gera meringis merasakan pipinya yang memanas akibat tamparan Adit. Terasa seperti darah mengalir deras. 

"Kau lebih dari itu, bangsat!" Maki Gera kesal. 

 Adit benar-benar geram dengan tingkah Gera yang terus saja melawannya. "Bisa tidak kau diam dan jangan membantahku?! Kau benar-benar menguji kesabaranku, Gera!"

Gera terkekeh mengejek. "Lalu kau kira aku akan diam dan menuruti semua perkataanmu? Aku tidak akan sudi!  Khayalanmu terlalu tinggi! Sadarlah!" Teriak Gera. 

Adit menatap Gera tajam. Menusuk hingga ke dalam. Matanya menggelap karena amarah. 

Ia mendekati Gera. Berusaha merobek kasar kemeja Gera. Gera terus saja berontak sebisa mungkin, tetapi akan tetap kalah, ia tidak bisa bergerak leluasa karena masih dalam keadaan terikat. 

Dan sekarang kemeja itu terlempar begitu saja. Menyisakan bra seksi berwana hitam itu. Melihat itu, Adit semakin bernafsu. 

"Lihat, j*lang! Batang besarku sudah menegang sempurna dan siap memasuki lubang basahmu." Gumam Adit membuat napas Gera tercekat. 

"Jangan lakukan itu, Adit! Kau brengsek!" Teriak Gera. Ia memberontak keras namun tak berguna. 

         Smirk tercipta di wajah licik Adit. Membuat Gera semakin takut. Gera meraung-raung tak ingin disentuh oleh Adit. 

        Sekarang tangan Adit beralih mengangkat rok itu dan mengintip ke dalamnya. "Wow! Kamu masih seksi seperti biasanya. Aku semakin tidak sabar untuk merasakan jepitan dinding lembab itu." Ujar Adit sembari menelan paksa ludahnya. 

"Kumohon, jangan lakukan itu! Lepaskan aku! Siapapun tolonglah! Bantu aku!" Gera memekik keras. Tetapi itu semakin mengundang tawa Adit. 

Dooorrrrr!!! 





Bab 39


Suara tembakan memekakkan telinga siapapun yang ada di tempat ini. Gera termangu dengan air mata yang semakin mengalir deras. Terlebih saat darah muncrat dan mengenai tubuhnya. 

Seseorang telah menembak Adit. Kini Adit sudah tersungkur di bawah sembari memegangi pahanya yang berlubang akibat peluru itu. 

"Gera! Kau baik-baik saja?" Roy segera menghampiri Gera dan membuka jasnya untuk menutupi tubuh Gera yang terbuka. 

"Boss, apa yang selanjutnya kita lakukan?" Tanya Luis. 

"Brengsek! Bajingan kalian! Awwhhh!" Erang Adit merasakan sakit yang teramat pada pahanya. 

Buugghjhhh.... 

Wajah Adit terlempar saat Roy menonjoknya dengan kekuatan penuh. 

"Aku sudah melarangmu untuk jangan mengganggu Gera lagi. Apa kau tuli?! Ini konsekuensi jika seseorang dengan sangat berani mengganggu apalagi melukai milikku." Geram Roy tepat di depan wajah Adit. 

"Gera bukan milikmu! Bangsat kau!" Teriak Adit. 

Cuuiihh! 

Adit meludahi Roy dan mengenai lengannya. Hal itu sangat membuat Roy naik pitam. 

Plakkk! 

Plakkk! 

Plakkk! 

"Beraninya kau meludahiku! Setan kau! Dasar manusia tak tahu diri! Sudah diberi kesempatan, malah nantang. Sok jagoan!" Cibir Roy balik meludahi wajah Adit. 

Disana Gera masih termangu. Ia terkejut juga trauma ringan karena kejadian ini. 

"Ge.. Gera... Apa kau tak apa?" Tanya Roy sembari menggoyang-goyang badannya. 

"R-rroyy?" Ujarnya terbata-bata. 

"Iya. Aku disini, sayang." Jawab Roy memeluk tubuh Gera dari samping. 

"Roy! Tolong aku! Adit mencoba untuk memperkosaku. Aku takut, Roy." Isak tangis Gera melukai hati Roy. Terlebih saat ia melihat wajah Gera yang lebam karena pukulan. 

Dengan pelan Roy menghapus sisa darah yang ada di sudut bibirnya akibat tamparan Adit. "Aww! Sakit! " Ringis Gera.

"Boss, orang ini mau Boss apakan?" Tanya Luis. 

"Bunuh saja. To the point." Enteng sangat Roy menjawab seperti itu. 

"Jangan main-main, Boss. " Tampik Luis. 

"Kalau begitu kita tinggalkan saja." Ajak Roy. 

"R-roy.. Tinggalkan saja dia, Roy!" Roy segera menggendong tubuh Gera pergi meninggalkan tempat itu. 

"Gera... Bantu aku!" Teriak Adit meminta bantuan. 

"Diam disini dan membusuklah!"

Luis mengejeknya dan menyisakan dirinya sendiri sekarang. "Jangan nakal! Kau banyak tingkah!" Teriak Luis. Ia keluar dan menginjak dengan sengaja paha Adit yang tertembak.

Mereka segera meninggalkan tempat itu dengan buru-buru. Terlebih keadaan Gera yang tanpa pakaian. 

"Roy... Terima kasih sudah menyelamatkanku." Gumam Gera. Ia masih di dalam pelukan Roy. 

"Sudah menjadi tugasku, sayang." Jawab Roy sembari memainkan rambut Gera. 

"Aw!" Pekik Gera saat Roy memainkan rambutnya tepat di daerah  yang sudah Dinda lukai. 

Sontak Roy terkejut, begitu juga Luis. Namun ia tak bisa memerlihatkan secara terus terang. Hanya melihat dari kaca spion. 

"Kenapa, Gera?" Tanya Roy panik.

"Kepalaku sakit. Jangan dimainkan!" Erang Gera. Ia meringis menahan sakit yanh tak kunjung sembuh di kepalanya. 

"Coba sini kulihat." Roy segera memeriksa bagaimana keadaan kepala Gera. 

"Astaga, Gera! Bajingan itu sudah melukaimu di bagian kepala juga? Sial!" Geram Roy saat mendapati kepala Gera terluka. 

"Jangan asal menyalahkan, Roy. Ini bukan karena dia.  Kau tak boleh asal menuduh." Gumam Gera malas. Ia merasa nyeri di bagian kulit kepalanya. 

Roy dibuat bingung olehnya. "Lalu jika bukan karena dia, kenapa bisa seperti ini?  Ini parah, Ge. Jika dibiarkan bisa bernanah dan infeksi." Kata Roy khawatir. 

"Siapa yang berani melukaimu, Ge?" 

"Kau tak perlu tahu!" Ketus Gera memalingkan wajahnya dari Roy. 

"Katakan, Gera! Kutunggu satu menit dari sekarang!" Perintah Roy. 

Gera menghela napas jengah, pria ini benar-benar pemaksa. "Dinda yang melakukannya." 

"Apa?! Sialan, j*lang itu masih saja mencari masalah denganku!" Ujar Roy menggeram. Gera hanya geleng-geleng kepala. 

"Kapan dia melakukannya?" 

"Saat kau lembur dan aku harus pulang sendiri. Itu kenapa aku bisa bertemu dengan Alvin, teman sekolahku dulu. Dia yang menolongku. Bahkan separuh rambutku rontok karenanya. Untung saja kulit kepalaku tidak banyak tertarik." Santer terlihat perubahan ekspresi Roy saat Gera menyebut nama Alvin tadi. 

"Aku harus membuat perhitungan padanya! Dia benar-benar diluar batas!" Ujar Roy lagi. 

Gera terus saja menggeleng. Seolah ada yang salah. Mendengar Roy terus meracau, sementara dari kaca spion Gera bisa melihat Luis yang menahan tawa melihat tingkah mereka. 

"Ayolah, Roy! Kau mau tahu siapa yang paling salah?" Ro  mengangguk. 

"Sebenarnya Luka yang Dinda tinggalkan di kepalaku sudah hampir sembuh, bahkan sudah mengering. Tetapi kau emosi dan menjambakku kasar. Sudah kubilang sakit,  tapi kau terus saja melanjutkannya. Itu kenapa kepalaku menjadi semakin parah." 

Mendengar penuturan Gera, Roy jadi malu sendiri. Merasa tertampar keras. 

"Kenapa diam? Sekarang kau bisa menyalahkan dirimu sendiri, Tuan! Silahkan!" Kata Gera. 

Tawa Luis benar-benar ingin pecah melihat ekspresi dingin Bossnya berubah menjadi salah tingkah begitu. 

Gera masih sering termangu karena apa yang sudah terjadi padanya. Ia tak habis pikir.  

"Roy, apa kita tidak akan ditangkap polisi? Kau sudah menembak Adit. Aku takut." Ujar gera cemas. 

Seakan terlupa, Roy segera mengeluarkan ponselnya. "Bereskan seseorang yang sudah kutembak tadi. Alamatnya akan ku share location sekarang." 

Roy menelpon seseorang, tepatnya salah satu anak buahnya. "Apa maksudnya itu?" Tanya Gera bingung. 

"Aku menyuruh anak buahku untuk memeriksa apakah pria gila itu sudah meninggal atau tidak." Jawab Roy acuh. 

"Kau benar-benar pria kejam." Gumam Gera namun terdengar oleh Roy. 

Roy menatap tajam Gera, membuatnya segera mengalihkan pandangan keluar jendela. 

'Tampan tapi menakutkan!' Batin Gera kesal. 

***

Malamnya, saat Gera sudah tertidur lelap, Roy kembali memeriksa berkas-berkas kerja samanya dengan perusahaan milik Devan. Ia berusaha meneliti lebih lagi agar tidak terjadi kesalahan sedikit pun. 

" Kenapa berkasnya tidak sesuai dengan kesepakatan?" Gumam Roy sendiri, ia mengulang-ulang terus agar tidak keliru. Memastikan bahwa dugaannya benar. 

"Wah... Sepertinya ada yang mau bermain curang disini." Ujar Roy dingin. 

Ia menjadi semakin curiga jika mengingat bagaimana kelakar Devan saat dirinya melarang Devan untuk menggoda miliknya. Terlebih Gera. 

Roy selalu memperhatikan setiap kali ada kesempatan, Devan memang selalu terlihat menggoda Gera. Dengan cara apapun. Seolah ingin memancing amarah Roy. 

"Oke.. Oke... Aku mengerti arahnya kemana." Lirih Roy sembari memperhatikan berkas-berkas itu lagi. 

"Sebelum kau mempermainkan aku, aku yang akan mengambil alih permainan ini." Ujar Roy. Seringai licik itu terbit di wajah Roy. 

Untung saja Roy termasuk CEO yang terbilang sangat teliti dengan segala permasalahan kantornya. Jika tidak, ia akan mengalami kerugian yang tidak sedikit. Itu nominal yang sangat besar. Devan benar-benar licik. Tapi selicik-liciknya Devan, jangan lupa bahwa Roy lebih licik. 

***

Pagi ini Roy mengantar Gera ke dokter untuk memeriksa kondisi kepalanya. Roy takut jika itu bisa berakibat buruk untuk Gera. Jangan sampai hal buruk terjadi padanya. 

"Bagaimana, dok?" Tanya Roy begitu dokternya keluar dari ruang pemeriksaan. 

"Begini, Pak. Luka di kepala istri Bapak tidak parah. Tetapi jika teledor bisa infeksi kapan saja." 

 Gera keluar saat dokter itu mengira dirinya dan Roy adalah sepasang suami istri. "Saya bukan-" sela Gera. Ia ingin meluruskan pikiran si dokter bahwa dirinya bukanlah istri Roy. 

"Sayang, kemarilah. Duduk disini." Panggil Roy. Pria ini memotong kalimatnya. Gera berpikir pria ini benar-benar suka sekali memanfaatkan segala hal. 

"Baiklah, Bu. Luka Ibu bukan luka yang serius. Tetapi Ibu harus tetap antisipasi agar tidak terjadi infeksi. Tetap di obati secara teratur." Jelas dokter.

Gera mengangguk dan mereka segera keluar untuk menebus obatnya. 

"Roy, aku ingin melihat rumahku. Boleh?" Tanya Gera. Ia sudah teramat merindukan rumah sederhananya itu. 

"Tidak." Jawab Roy dingin. 

"Aku mohon, Roy. Sebentar saja." Rengek Gera. Roy dibuat gemas olehnya. 

"Baiklah. Tetapi kau harus pergi denganku! Jika kau tidak mau, lebih baik jangan kesana." Tambah Roy. 

Gera tersenyum lebar. "Benarkah? Yes! Terima kasih, Roy!" Gera jingkrak-jingkrak girang. Roy mengira Gera kan marah jika ia mengikutinya, tetapi lihat! Dia malah senang dan sama sekali tidak keberatan. 

 Sebelum ke rumah Gera, Roy berhenti di minimarket dan mengajak Gera membeli beberapa cemilan dan minuman. Gera sudah melarangnya untuk berbelanja karena disana masih ada stok makanan. Tetapi Roy keukeuh dengan keputusannya. 

Mereka sampai rumah Gera dan betapa riangnya seorang Gera yang bisa kembali melihat rumah sederhananya ini. 

"Roy, terima kasih banyak ya.." Gera menghambur begitu saja ke dalam pelukan Roy. 

Roy sendiri terkejut dengan sikap langka Gera ini. "Maaf, Roy." Gera segera mengambil diri dan menjauh. Ia tersenyum kikuk dan malu pada Roy. 

"Jangan terlalu banyak gerak, kau bisa kelelahan nanti." Seru Roy dari luar kamar. Gera sekarang sedang menjelajahi isi rumahnya satu persatu. Roy senang melihat Gera kembali riang seperti ini hanya dengan hal sederhana. 

Bahagia Gera tak tertandingi kala melihat rumahnya. Seakan-akan ia tak pernah pulang puluhan tahun.

"Roy, aku mau menyiapkan makanan untuk kita. Tunggu sebentar!" Roy hanya tersenyum mengangguk. Ia terkekeh melihat Gera yang jingkrak ceria menuju dapur mininya. 

"Bagaimana aku tidak terpikat? Saat kebanyakan wanita mengincarku hanya karena harta, kau malah menampakkan diri dengan segala kesederhanaan yang kamu miliki. Kau tahu, aku sangat bersyukur akan hal itu." Gumam Roy, seolah berbicara pada Gera. 

Aroma masakan yang menusuk hidung membangunkan Roy. Ia terlelap menunggu Gera. "Roy, bersiaplah untuk mencicipi masakanku!" Teriak Gera dari dapur. 

Nada bicaranya saja terdengar sangat bahagia. Roy ingin sekali tertawa lepas dengan wanita sederhana ini. 

"makanan sudah siap!" Ujar Gera ceria sembari membawa makanan. Tangannya penuh tetapi terlihat terlatih. Roy lupa, Gera kan wanita yang sangat mandiri. 

Suapan pertama, Roy langsung takjub dengan citarasa makanan yang dibuat Gera. 

"Wow! Ini sangat nikmat, Ge! Kau pintar sekali memasak." Puji Roy. Ia sangat antusias menyuap makanan yang sudah disiapkan Gera. 

"Bagaimana bisa makanan sesederhana ini bisa terasa sangat lezat, Ge? Aku baru tahu." Tutur Roy. 

"Tentu saja bisa. Aku kan sudah terbiasa memasak, Roy. Jadi sudah terlatih." Jawab Gera santai. Ini yang dia rindukan. Ia ingin memasak dan makan makanan masakannya sendiri.

Gera terkekeh geli melihat Roy makan dengan sangat lahap hingga sulit berbicara. Makanan yang Gera sediakan bersih olehnya. 

"Kau lapar atau kelaparan?" Tanya Gera sambil tertawa ringan. 

"Hanya lapar. Tapi masakanmu sangat nikmat, Gera. Aku suka. Sayang jika tidak aku habiskan." Kata Roy polos. 

"Roy... Roy... Aku bisa memasak untukmu di rumahmu jika kau mau." 

"Benarkah?" Tanya Roy.

Gera mengangguk. "Tentu saja, Roy. Aku bisa memasak kapanpun kau mau makan. Jadi kau tidak perlu terlalu memerintah mereka. 

Roy nampak berpikir. Banyak yang harus ia pikirkan. Jika selalu menyuruh Gera yang memasak, bukannya menjadikan Gera ratu, ia malah membuat wanitanya menjadi babu nanti. 

Roy menggeleng. 'Tidak.. Tidak...  Semuanya bisa dikontrol. Aku bisa meminta Gera memasakkanku makanan sesekali." pikir Roy. 

"Roy..." Yang dipanggil menoleh dan menatap Gera tajam. Ia memberi isyarat agar Gera segera berbicara. 

"Bolehkah aku menginap disini? Semalammm saja." Pinta Gera dengan wajah memelasnya. 

"Boleh sih, tapi ada syaratnya." 

"Kenapa harus ada syarat, Roy? Hanya menginap. Nggak aneh-aneh." Gera menimpali.

"Ya sudah kalau tidak mau juga tidak apa-apa." Jawab Roy acuh. 

"Baiklah. Sebutkan syaratnya." Suruh Gera datar namun berusaha menelan kesal dan sumpah serapahnya. 

Roy menyeringai membuat Gera menatapnya aneh. "Kau boleh menginap di sini semalam. Syaratnya adalah, yang pertama, aku ikut. Yang kedua, kau harus bermain denganku malam ini." 

Mendengar itu, Gera hanya melongo. "Bukan syarat yang sulit. Tapi apakah harus yang itu?" Gera menawar secara transparan. 

"Mau menginap disini atau tidak? Jika kau tak bisa, ayo kita pulang." Roy berdiri dan hendak pergi. 

"O-oke. Baiklah!" Gera menahan lengan Roy agar pria itu tidak mengajaknya pulang. 

Mau tidak mau ia harus memenuhi syarat itu. Bagaimana lagi, ia sangat rindu akan rumah kecilnya ini. 

Dan tentu saja hal ini membuat Roy girang. "Jika kau bilang dari tadi kalau ingin menginap, kita bisa beli makanan lebih." Celetuk Roy mengundang tatapan Gera. 

"Tak apa. Itu saja sudah cukup. Di kulkas juga tersisa beberapa makanan. Kau tak perlu khawatir tidak bisa makan disini." Jawab Gera kembali memalingkan wajahnya. 

Malam tiba, Gera sadar apa yang akan terjadi selanjutnya. Roy memang tak mau kalah dalam hal apapun. Gera tentu saja berpikir pria ini sangat menyebalkan. 

"Euungghh..." Lenguh Gera saat Roy memeluknya dan menyesap daun telinganya. 

"Mendesah yang keras, sayang!" 


***Bersambung

1 Comments