Bunga itu Masih Mekar. Bagian 9

 

"Putri sudah tidur, Hil. Sekarang kamu istirahatlah," kata Alex begitu dia selesai menaruh Putri di ranjangnya. Ditatapnya wanita itu sebelum mata mereka bertemu. Hilda masih sama seperti dulu. Masih cantik, mempesona. Bedanya hanya tubuhnya yang makin berisi. Makin dewasa. Dan di mata Alex itulah daya tarik Hilda. 

"Saya belum mengantuk, Pak. Pak Alex boleh tidur duluan."

"Mau buatkan saya makanan? Saya lapar. Kata Putri masakan kamu enak."

Hilda tersenyum sipu. "Iya, tapi kata Non Putri masakan saya tak seenak masakan Bu Mayang."

Alex tak menyangkal. Masakan istrinya memang yang terbaik. Namun, sebaik apa pun miliknya, seorang pria tetap ingin mencicipi yang bukan haknya, kan? Dan malam itu bukan hanya masakan Hilda saja yang Alex makan, tetapi juga tubuhnya, hatinya, dan ketika selesai lalu pria itu menyadari apa yang mereka lakukan, ia tak menyesal. Dia memang mencintai istrinya. Namun, dengan Hilda ada sensasi yang berbeda. Tak seperti Mayang yang hanya menerima, Hilda mampu memberi. Dia begitu agresif di ranjang. Begitu liar. Dan bisa memberikan kenikmatan yang tak ia dapatkan saat bersama istrinya. 

***

"Papa sakit, ya? Kok gak kerja?" tanya Andi begitu melihat Alex sudah di rumah siang-siang begini. Putri yang baru masuk rumah pun ikut heran papanya sudah ada di rumah saat dia pulang sekolah. Biasanya, malam baru dia ada di rumah, tapi Putri gak heran lagi, sih. Sejak Mayang tak ada, papanya memang sering di rumah.

"Papa!" Putri berlari sambil menyeret tasnya. "Papa kok ada di rumah, sih?"

"Papa mau ngajak anak-anak Papa ke taman bermain! Makanya Papa pulang cepat!" jawab Alex memeluk kedua anaknya dan menciumi mereka hingga Putri dan Andi kegelian. Dari jauh diam-diam Hilda memperhatikan pemandangan itu. Dibayangkannya seandainya dia ada di antara mereka, pasti hidupnya sempurna. Memiliki kedua anak yang lucu-lucu, suami yang sangat mencintainya. Seandainya dirinya bisa menggantikan posisi Mayang, tentu tak ada hal lain yang dia inginkan.

"Hil! Kalau melamun jangan di depan pintu, dong!" sambar Puji menenteng tas berisi buku pelajaran dan alat menggambar Putri. Heran, deh. Anak zaman sekarang pelajarannya banyak bener. 

"Mau makan siang apa, Puj? Ayam penyet lagi? Atau mau soto ayam?" tanya Hilda yang bertugas memasak sejak Mayang tak ada di rumah. Setelah menjemput anak-anak sekolah, barulah dia memasak soalnya Putri dan Andi tak terbiasa makan masakan yang sudah dimasak dari pagi. Semua harus serba fresh. Di sisi lain Hilda memang bersyukur anaknya mendapat keluarga yang sangat menyayanginya, tapi tidak bolehkah jika dia menginginkan lebih?

"Soto ayam aja deh, Hil. Kalau begini jadi kangen Bu Mayang. Pulang sekolah, tinggal makan."

"Kamu betah ya kerja di sini, Puj?"

"Banget! Ibu sama Bapak baik-baik. Mana masakan Ibu top markotop!" 

Sekali lagi Hilda merasa iri di hatinya. Meskipun dia tahu bahwa Mayang memang baik, entah kenapa dia tak suka jika Puji memujinya. Dia juga tak suka wanita itu, wanita yang menjadi Alex. Kalau bukan karena di, sudah pasti Alex akan menjadi miliknya.

"Mbak Pujiii" Putri berlarian sambil berteriak menuju kamarnya. Puji yang tengah menaruh buku-buku dibatas rak, sampai kaget dibuatnya. 

"Ada apa sih, Non? Kok teriak-teriak? Mbak Puji belum budek, nih."

"Gantiin baju Putri, Mbak. Papa ngajak kita ke taman bermain!"

"Taman bermain? Tapi kan Non Putri belum makan siang."

"Ih, Mbak Puji nyebelin, deh. Papa bilang kita bisa makan siang di restoran! Cepet gantiin bajunya Putri Mbak. Yang warna pink, yang baru dibeliin Mama."

Puji tak bisa berkata-kata lagi. Kalau sudah ada maunya, Putri jadi tak sabaran. Sementara itu Andi dan Hilda masuk ke kamar dan langsung mengganti baju Andi.

"Rejeki, Puj. Gak jadi masak."

"Iya, tapi kayaknya aku gak ikut deh Hil."

"Lho, kok?"

Putri yang sudah selesai berganti baju langsung menyahut,"Mbak Puji takut ketinggian! Kasihan deh Mbak Puji gak ikut ke taman bermain!"

"Putri ...." Terdengar suara Alex di ambang pintu dan sontak Hilda pun menoleh ke arahnya. "Jangan menggoda Mbak Puji. Oke."

"Maafin Putri ya, Mbaaak." Putri mencubit pipi Puji dan menciumnya lalu berlari untuk memeluk kaki papanya. 

"Andi sudah siap?"

"Sudah, Pa. Mbak Hilda, tolong bawain motor ini, ya." Andi mengambil motornya yang berwarna biru dan menyerahkannya pada Hilda. 

"Puj, di atas meja makan ada uang buat beli makan. Beli saja apa yang kamu suka. Kami tidak akan makan malam di rumah."

"Siap, Pak!" Puji menyahut dengan gaya seorang polisi memberi hormat pada atasannya.

***

Main bom bom car, sudah. Mandi bola, sudah. Menonton pertunjukan Barbie sampai naik bianglala pun sudah. Dan sekarang hanya tinggal capeknya. Putri sejak tadi tidur di gendongan Alex sementara Andi berada di pelukan Hilda. Sesaat wanita itu merasa dialah istri Alex dan ibu dari dua anak itu.

"Kayaknya kita harus pulang sekarang, Pak."

"Betul. Maaf merepotkanmu. Andi pasti berat."

"Ah, tidak. Saya masih bisa menggendongnya sampai parkiran." Dan begitu mereka sampai di tempat parkir dan menidurkan kedua anak itu, barulah Hilda merasa bahunya sangat pegal. 

"Biar saya memijitnya." Belum sempat Hilda menolak, tangan Alex yang besar sudah menggantikan tangannya memijit bahunya. Hilda menikmati setiap sentuhan itu. Tangannya begitu kuat, kokoh, dan dia mulai teringat kejadian semalam di mana pria itu menjelajah seluruh tubuhnya, memporak porandakan miliknya yang rasanya tak akan pernah Hilda lupakan selama dia masih bernapas. Tak ada yang menggantikan Alex di hatinya. Bahkan saat dia bekerja di Paris pun tak ada laki-laki yang bisa membuatnya menyerahkan diri. 

"Lebih baik kita pulang sekarang, Pak. Besok anak-anak harus sekolah."

Alex dengan berat mengangkat tangannya dari bahu Hilda dan masuk ke dalam mobil. Dan begitu mobil menyala, keduanya diam sampai mereka tiba di rumah. 

"Biar saya mengangkat Andi," cegah Alex saat Hilda hendak mengangkat tubuh anak lelaki itu. "Tubuh Andi lebih berat daripada tubuh Putri."

Hilda tak menolak. Mereka berdua membawa Putri dan Andi ke kamar mereka. Saat menengok ke kamar sebelah, Hilda melihat Puji sudah mendengur. Dia menutup kembali pintu kamar mereka yang bersebelahan dengan kamar anak-anak lalu berjalan ke dapur. Di sana, dilihatnya Alex tengah duduk sambil menyeruput kopinya dan mengisap rokok yang aromanya sangat menyengat. 

"Ingin dibuatkan makanan, Pak?"

Alex tersenyum dan mematikan rokoknya. "Tidak perlu. Terima kasih. Saya masih kenyang."

"Pak Alex tidak bertanya ke mana saya selama bertahun-tahun?" Pertanyaan itu muncul begitu saja dan Alex langsung menatapnya. Tatapan yang tak bisa Hilda artikan. Entah itu tatapan cinta atau karena kaget. Pasalnya selama Hilda tinggal di rumahnya sekaligus saat setelah mereka mereguk manisnya madu bersama, Hilda tak pernah membicarakan masa lalu.

"Saya hanya tahu kamu pasti baik-baik saja. Kamu gadis yang kuat. Bagaimana Paris? Kamu menyukainya?"

Hilda langsung duduk di hadapan Alex tanpa dipersilakan. "Saya menyukainya. Semuanya. Orang-orangnya, arsitekturnya, dan musim gugurnya. Saya sering membayangkan Bapak ada di samping saya. Apakah Pak Alex pernah memikirkan saya setelah pertemuan kita yang terakhir?"

Pria itu menyesap kopinya kemudian tersenyum. Dia tak mungkin melupakan malam itu. Malam yang panas dan mampu membuatnya menjadi laki-laki sempurna. Dan dia pun akhirnya menanyakan tentang anaknya. Anak yang dikandung Hilda. Siang malam Alex memikirkan anak itu. Jika saja masih hidup, pasti sebesar Andi dan Putri. Dan dia baru menyesal setelah Hilda pergi dari hotel itu ketika Alex masih terlelap. Seharusnya dia membiarkan Hilda melahirkannya dan entah bagaimana caranya, dia akan membiarkan Mayang merawatnya. Namun, apa artinya sebuah penyesalan. Nasi telah menjadi bubur dan Alex sama sekali tidak bisa menghubungi Hilda. 

"Bagaimana anak itu, Hil? Aku tahu aku tidak berhak menanyakannya, tapi bagaimana pun juga dia adalah anakku."

Hilda tersenyum. Dia tersenyum melihat tatapan Alex dengan rasa bersalahnya. "Anak kita ada di sini, Pak."

Pria itu terperanjat. Tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Putri anak Pak Alex. Saya menitipkannya pada tante saya. Panti asuhan Kasih Bunda." Dan malam itu, bukan hanya Alex saja yang terkejut. Mayangsari yang pulang lebih awal pun langsung terperanjat. Dijatuhkannya mainan ke lantai dan seketika itu, Alex kehilangan kata-kata.



***Bersambung ....

0 Comments