Bunga itu Masih Mekar. Bagian 8

 


Satu bulan sudah perpisahan Hilda dengan Alex, tetapi gadis itu tak kunjung melupakannya. Justru semakin hari dia semakin merindukan pria itu. Hilda selalu teringat tangan Alex yang besar membelai kulit dan tubuhnya lalu mendekap dirinya mesra. Ingin rasanya dia pergi ke Jakarta. Menyusul pangerannya. Belahan jiwanya. Namun, masih ingatkah pria itu padanya? Alex bahkan tak pernah menghubunginya walau hanya sekali dan memang Alex tak pernah menjanjikan apa-apa. Semua itu terjadi atas dasar kerelaan Hilda. Dan hingga suatu saat Hilda sadar bahwa benih Alex tumbuh subur di rahimnya, dia memberanikan diri untuk pergi ke Jakarta. 

"Saya tak mungkin mengawinimu, Hil," kata Alex ketika malam itu mereka bertemu di hotel. Kandungan Hilda sudah memasuki bulan keempat.

"Saya tidak meminta Pak Alex untuk menceraikan istri Bapak. Saya rela menjadi istri kedua."

Alex mendesah panjang. Dia tak mungkin mengatakan pada Mayang bahwa benihnya telah tumbuh di rahim di perempuan lain. Meskipun dia ingin sekali anak itu lahir, tetapi keinginan itu tak lebih besar dari cintanya pada Mayang. 

"Benarkah Pak Alex tidak pernah mencintai saya?" Pertanyaan itu meluncur begitu dari sela-sela bibir Hilda. Pria itu memang tak pernah merayunya, tak pernah membisikkan pujian dan kata mesra yang disukai para wanita, tapi benarkah malam itu hanya sebuah kecelakaan? Hanya nafsu belaka tanpa ada cinta di dalamnya? 

"Laki-laki bukan batu yang tak punya perasaan, Hil." Dibelainya pipi gadis itu dan sekali lagi Hilda menyerahkan dirinya. Tanpa paksaan, tanpa tuntutan, dan sekali lagi bunga mekar di antara mereka. Di antara dinding-dinding terlarang yang tak seharusnya dilewati.

***

Sesudah malam itu mereka sepakat tak akan bertemu lagi dan Alex memberikan banyak uang pada Hilda. Hilda tak menolak. Apa salahnya menerima uang dari laki-laki yang dicintainya dan mencintainya? Ya, meskipun ia tahu cinta itu tak bisa dibandingkan dengan cinta Alex pada istrinya. 

"Lahirkan anak itu dan titipkanlah pada orang yang mau merawatnya. Masa depanmu masih panjang, Hil. Pakailah uang ini untukmu dan adik-adikmu."

Hilda menerima cek itu dengan tawar. Dia melakukan semua yang dikatakan pada Alex padanya. Dilahirkannya anak itu di panti asuhan milik tantenya lalu dia kembali lagi ke Makassar. Ibunya tak pernah tahu pahwa putri yang selalu dibanggakannya mengambil jalan yang salah, adik-adiknya pun tidak. Bagi mereka, Hilda ada kebanggaan mereka. Kakak yang berjuang mati-matian untuk menghidupi keluarga. Barulah ketika tujuh tahun berlalu dan untuk pertama kalinya Hilda menginjakkan kakinya di Indonesia, bayangan putrinya kembali hadir dan darahnya berdesir saat membayangkan pria itu. Pria yang pernah berusaha dia lupakan tanpa hasil. Jika dulu Hilda tak percaya bahwa bahwa cinta pertama sulit dilupakan dan itu hanya omong kosong belaka, kini Hilda sadar. Cinta pertama tak hanya sulit dilupakan, tetapi juga ingin dimiliki.

"Untuk apa kamu menanyakannya lagi, Hil? Bukanlah kamu sudah berjanji pada tante untuk melepaskannya?" jawab Bu Jarwo kesal sekaligus kaget saat melihat keponakannya tiba-tiba datang. "Anakmu sudah ada di tangan yang tepat. Tidak perlu kamu kuatirkan lagi."

"Tolong Hilda, Tan. Aku hanya ingin melihatnya sekali saja. Kumohon, Tan ...."

"Tidak. Itu melanggar aturan jika aku memberitahukan padamu siapa yang mengadopsi mereka."

Hilda langsung beranjak dari kursi dan berlutut di kaki Bu Jarwo. Diambilnya tangan yang sudah keriput itu dan ciumnya. "Hilda hanya ingin melihatnya sekali saja, Tan. Salahkah melihat anakku sendiri? Anak yang belum sempat kuberi nama?"

"Tak tahan melihat tangis keponakannya, Bu Jarwo akhirnya luluh juga. Dia memberitahukan alamat rumah orangtua yang telah mengadopsi anak Hilda. Dan begitu Hilda melihat dengan mata kepalanya sendiri siapa yang mengadopsi bayinya, Hilda tak hanya ingin melihat putrinya. Dia juga ingin memiliki anak itu kembali sekaligus ayah angkat anak itu.


***Bersambung ....

0 Comments