Karin merasa rikuh karena lama-lama diperhatikan oleh Dokter Brian. Pria itu duduk di sofa dan mengawasi Karin seperti seorang guru yang sedang mengawasi muridnya saat ulangan agar tidak menyontek. Anehnya, pria itu tidak merasa rikuh, tidak merasa bahwa apa yang dia lakukan tidak sopan. Melihat wanita yang dicintai tidak dosa dan tidak melanggar hukum, kan? Dokter Brian bukan anak remaja lagi yang tidak bisa membedakan jenis-jenis perasaan apalagi terhadap lawan jenis.
"Tidak pakai wig juga cantik," celetuk Dokter Brian melihat kebingungan Karin hendak memakai wig yang model apa. Model bob, lurus sebahu, atau yang keriting bagian bawahnya?
"Sejak kapan ada wanita gundul yang cantik? Bagi wanita, rambut adalah mahkota. Sejelek apa pun rambutnya!"
"Sejak kapan kecantikan seorang wanita hanya dinilai dari rambutnya?"
Nah, Karin jadi bingung sendiri sekaligus dongkol. Pria itu tak pernah mau mengalah dan selalu membalikkan kalimat yang ia lontarkan.
"Sejak dulu kala," jawab Karin asal sambil mematut dirinya di cermin. "Dokter tidak pernah melihat model tanpa rambut, kan?"
"Pernah."
"Sialan!" desis Karin yang otaknya sudah ngebul terbakar emosi. "Di mana?" tanya Larin dengan lantang setelah memilih wig yang modelnya keriting di bagian ujung. Dia memandangi wajahnya yang nampak pucat tanpa makeup dan rambut palsu yang terlihat besinar dan nampak lebih sehat daripada rambutnya yang asli.
"Di acara penyintas kanker."
Hmmm, ini Dokter memang sakit! Pikir Karin gemas lalu menenteng tasnya. "Dokter yakin mau mengantar saya?" tanya Karin untuk memastikan. Soalnya kalau dipikir-pikir lagi, dia tak yakin uangnya cukup untuk membayar taksi. Dia menolak uang pemberian Anggun dan orangtuanya sendiri dan sekarang dia menyesal. Seharusnya dia terima saja uang itu, tapi kalau dia menerimanaya mau diletakkan di mana harga diri seorang Karin Santoso?
"Perlu bukti?" jawab Dokter Brian berjalan mendekati wanita dan merebut tas dari tangan Karin. "Anda boleh menggandeng tangan saya untuk memastikan saya tidak akan kabur."
"Saya tidak tahu jika selain Dokter yang menyebalkan, Anda juga Dokter yang tidak tahu malu."
Dokter Brian tidak menyangkal dan membenarkannya. Semua staff di rumah sakit tahu bagaimana cara dia memperlakukan Karin. Lelaki itu juga tak menyangkal jika ada yang menggodanya. Lagipula, tak ada yang perlu disangkal. Biarpun status Karina saat ini sebagai perempuan bersuami, toh suaminya tak pernah muncul di rumah sakit. Tak pernah menunggui istrinya meski dalam keadaan kritis sekali pun dan yang justru ada di sana adalah dirinya, tapi itu kan memang tugas dokter? Tidak, Dokter Brian tidak berpikir seperti itu. Dia merasa dirinyalah yang berhak di samping Karin sekarang, biar saja dia istri orang, biar saja orang lain mau menggunjingnya, selama pekerjaannya beres, tak ada masalah, kan?
"Buat apa malu? Saya tidak mencuri apa-apa," kata Dokter Brian dan tanpa disadari mereka jalan beriringan sepanjang koridor menuju tempat parkir tanpa peduli jika karyawan rumah sakit memperhatikan mereka dan bergosip.
"Mencuri istri orang."
Dokter Brian terkekeh dan sejenak mata Karin mengawasi lelaki itu. Tawanya terdengar bahagia, lesung pipi yang biasanya hanya muncul sedikit dengan cara bersembunyi kini muncul tanpa malu-malu. Dan lagi, aroma tubuhnya begitu maskulin, tubuhnya yang tinggi dan otot-otot bahunya yang kencang menandakan bahwa dia suka berolahraga.
"Kenapa tertawa? Tidak ada yang lucu."
"Tertawa itu membuat awet muda. Anda tak pernah tertawa?"
Karin tidak menjawab dan terus saja berjalan berjalan ke depan. "Mana mobilnya?"
Dokter Brian memencet remot dan mobil pun menyala. Karin langsung masuk ke dalam tanpa permisi. "Bagus juga mobil Anda. Pasti sering memberi tumpangan pada gadis-gadis cantik."
"Anda adalah wanita pertama yang menaiki mobil ini selain ibu dan adik saya," jawab Dokter Brian sembari duduk di belakang kemudi setir setelah menaruh tas Karin di bagasi.
"Anda ingin saya percaya? Dokter muda, tampan, dan sukses seperti Anda tak memiliki pacar? Huh, itu mungkin saja terjadi kalau Anda seorang gay."
Lelaki itu hanya tersenyum kemudian menjalankan mobilnya. "Oya, di mana alamat Anda?"
"Perum Galaksi 12."
Dokter Brian mengangguk mengerti. Jadi, itukah rumah yang selama ini dia cari? Perumahan elit yang hanya dihuni oleh pengusaha dan juga artis.
"Oya, saya senang Anda memuji saya."
Karin mengerutkan dahi dengan heran. "Kapan saya memuji Dokter?"
"Tadi. Anda bilang saya tampan, kan?"
Wanita itu terpaksa mengiyakan dan mendengus kasar. "Apa gunanya tampan kalau Anda gay? Percuma, kan?"
"Kalau saya gay, Anda mau membantu saya untuk membuat saya normal kembali?"
Jawaban Dokter Brian membuat Karin merinding. Pria itu begitu percaya diri, begitu vulgar, dan menganggap bahwa semua wanita terpesona dengan tampangnya yang lebih pantas menjadi seorang model daripada dokter.
"Dokter tidak lupa kan saya sudah menikah?"
"Saya akan menunggu sampai Anda bercerai."
"Siapa yang mau cerai?"
"Anda tidak akan menceraikan suami Anda setelah tahu dia memiliki wanita lain?"
"Tidak. Saya belum punya pikiran menggugat cerai," kata Karin dengan mantab. Dan saat dia menyadari perubahan raut wajah Dokter Brian, ada rasa penyesalan yang menyusup di hatinya.
***
Mobil yang dikendarai Dokter Brian berhenti di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi hingga orang lewat saja tak dapat melihat bagaimana bentuk rumahnya kecuali bagian atap. "Terima kasih telah mengantarkan saya. Maaf sudah merepotkan."
"Anda tidak mengundang saya untuk mampir?"
"Dokter ingin mampir ke rumah orangtua saya?" tanya Karin yang sudah berusaha untuk tidak meledakkan emosinya.
"Kalau Anda meminta, saya tak akan menolak," jawab Dokter Brian dengan senyum yang menggoda seperti biasa dan senyum itulah yang membuat Karin jengkel sekaligus memunculkan desiran aneh di dalam hatinya.
"Tunggu dulu di sini deh, Dok. Biar saya minta satpam untuk membuka gerbang." Karin langsung turun dari mobil dan menghempiri pos satpam yang dijaga Pak Ilham. "Masih kerja di sini, Pak?" tanya Karin ketika melihat satpam yang sudah tua itu. Heran deh dengan Papa, kenapa tidak mempekerjakan satpam yang masih muda dan gesit. Kalau satpamnya tua begini, mana ada maling yang takut? Dihempaskan sedikit juga sudah ambruk.
"Cari siapa ya, Bu?" tanya Pak Ilham yang sudah tak mengenalinya majikannya lagi. Entah karena rabun atau memang Karin yang sudah banyak berubah.
"Bapak gak kenal saya? Karina. Pak Ilham harus pakai kacamata kuda nih biar penglihatannya jelas!"
"Non Karin yang suka minjem motor?"
"Siapa lagi? Memangnya ada Karin lain yang suka minjem motor Pak Ilham?"
"Ya Allah, Non. Sudah mau sepuluh tahun gak ketemu. Bapak jadi pangling!"
"Panglingnya ntar aja deh, Pak. Buruan buka gerbangnya."
"Siap, Non. Siap!" Pak Ilham langsung membuka gerbang dan Dokter Brian langsung masuk ke area halaman rumah. Sekilas lelaki itu berdecak kagum saat melihat betapa megahnya rumah itu. Dia heran sekaligus tak menyangka bahwa Karin lebih kaya dari bayangannya. Dan kini rasa kagumnya pada wanita itu semakin bertambah. Bukan lantaran hartanya, tetapi alangkah luhur budi pekerti gadis yang dulu pernah menolongnya. Di balik sifatnya yang kasar dan arogan, dia tak segan-segan membantu orang yang membutuhkan. Dan demi seorang laki-laki yang miskin pula, dia rela meninggalkan semua kemewahan miliknya. Oh, seandainya aku menjadi pria beruntung itu. Pria yang mendapatkan hati, tubuh, serta cintanya.
0 Comments