Dinding Rumah Mertua. Bab 1

 


"Mbak? Seragamnya Murni mana, sih? Kok di lemari gak ada?" tanya Murni, adik ipar Maharani  yang masih duduk di kelas 2 SMA setengah menjerit. Setiap pagi pasti suaranya melengking mencari-cari sesuatu. Kalau tidak seragam, hp, buku pekerjaan rumahnya, bahkan sampai baju dalam. Fiuh. Ingin rasanya Maharani tutup telinganya pakai headphone agar tak mendengar nyanyian adik iparnya yang selalu memekakkan telinga.
"Di dalam lemari, Mur!" Wanita yang sedang menyiapkan sarapan itu mau tak mau harus ikutan berteriak karena jarak dapur dan tempat Murni berdiri, yaitu di tangga depan kamarnya cukup jauh. Tak mungkin kan dia berlari ke sana dan mengambilkan seragam bocah itu. 
"Gak ada, Mbak! Kalau ada mana mungkin aku tanya sama Mbak Rani?"
"Cari lagi, Mur. Aku sedang goreng nasi buat sarapan, nih."
"Gak ada, Mbak. Masak Murni harus keluarin semua isi lemari, sih?" 
"Jangan! Biar Mbak yang carikan!"
Dengan terpaksa Maharani yang sedang hamil itu pun mematikan kompor dan berjalan cepat menuju kamar Murni Cantika sebelum gempa bumi dadakan melanda kamar gadis itu.
"Nah, gitu dong! Sejak tadi, kek. Kan aku gak perlu teriak-teriak. Suara Murni lagi serak, nih!" seloroh Murni sambil tersenyum ketika melihat kakak iparnya menaiki tangga. Meskipun gadis itu tahu istri kakaknya itu sedang hamil tua, dia tak peduli. Salah siapa di rumah ini tak ada pembantu? 
Maharani menarik napas dalam-dalam ketika melihat adiknya yang tersenyum penuh kemenangan. Dia mengelus perutnya yang sudah besar dengan lembut. "Kita olahraga dulu ya, Sayang. Biar kamu menjadi anak yang sehat dan kuat," ucapnya perlahan sambil tersenyum lembut. 
"Mbak, cepetan, dong! Nanti Murni bisa terlambat!" teriak gadis itu lagi dari dalam kamarnya. Terpaksa Maharani mempercepat langkahnya dan napasnya mulai ngos-ngosan. Jika perempuan lain yang hamil, dia pasti menjadi anak emas di keluarganya. Disayang, dilimpahi dengan kasih sayang, dimanja, tetapi itu tak berlaku bagi Maharani. Setelah menikah dengan Aryo Binama, wanita itu tak pernah mengecap manisnya sebagai istri dan menantu. Di rumah ini dia tak ubahnya seperti pembantu. Dinding rumah mertua yang ditinggalinya sudah seperti neraka yang menyiksanya setiap saat. 
"Astaga, Mur!" Hampir melompat jantung Maharani ketika melihat kamar gadis belia itu. Separo isi lemarinya sudah berpindah ke atas tempat tidur. Handuk yang basah terongok begitu saja di lantai dan hair dryer yang baru saja digunakan dibiarkan begitu saja di atas meja dengan kabel yang terjuntai ke bawah.
Wanita itu mengelus dada. Disimpannya semua keluhan di dalam hatinya dan berjalan menuju lemari. Setelah menyingkap beberapa pakaian, akhirnya dia menemukan seragap putih abu-abu yang sudah tergantung rapi di hanger. 
"Ada, kan?" Maharani menoleh ke adiknya dan Murni langsung mengambil seragam itu dari tangan kakak iparnya.
"Thanks, Mbak. Sekarang Mbak Rani boleh kembali ke dapur. Oya, jangan lupa telur ceploknya setengah mateng dan jus apelnya, ya. Oke?"
"Ada lagi yang mau dicari, Mur? Mumpung Mbak masih di sini, nih?"
"Oh, ya. Nanti tolong gantiin sprei ya, Mbak. Ada bekas darah. Semalam tembus! He he he." Gadis itu tersenyum cengengesan, tetapi Maharani tak mampu lagi menjawab, apalagi tersenyum. Rasanya dia sangat lelah, perutnya terasa berat, dan kakinya sangat pegal. Namun, Maharani dengan berat hati keluar dari kamar Murni dan kembali ke dapur. Sarapannya harus siap sebelum Murni turun, kalau tidak ibu mertuanya akan mengomel hingga berjam-jam ke depan. 
"Pagi, Ran," sapa Aryo yang sudah berdandan rapi. Maharani bisa mencium aroma parfum suaminya semerbak dan sangat wangi itu. Sungguh berbeda jauh dengan aroma tubuhnya yang berbau keringat bercampur aroma nasi goreng. "Aku langsung berangkat, ya," katanya lagi setelah menyeruput kopi yang telah disiapkan istrinya.
"Lho, Mas? Gak sarapan dulu? Aku bikin nasi goreng babat kesukaanmu."
"Gak. Ada meeting, Ran. Lain kali aja, ya," jawab pria itu sambil berjalan ke arah pintu. Maharani yang baru selesai menggoreng nasi pun ingin cepat menyusul ke parkiran, tetapi suara Aryo menahan kakinya untuk melangkah lebih jauh. "Gak usah dianterin, Ran. Kamu siapkan saja sarapannya."
"Hati-hati, Mas ...." Maharani membalas dengan suara lirih sambil mengelus perutnya. "Papamu sedang sibuk, Sayang. Terburu-buru. Makanya gak sempet bilang selamat jalan sama kamu."
"Mbak, mana telurnya?" tanya Murni ketika tidak melihat telur ceploknya di atas meja. 
Maharani yang sedang mengelap kompor pun langsung menepuk jidatnya. "Maaf, Mur. Mbak kelupaan." Dengan cepat wanita itu membawa sepiring telur ceplok ke meja makan. Dan ketika ia hendak kembali ke dapur, langkahnya terhenti karena ucapan mertuanya yang baru saja bangun tidur. 
"Hah! Baru umur dua puluh kok sudah pikun!" cetusnya yang langsung duduk dan meminum jus jeruk yang sudah disiapkan menantunya.
"Yaelah, namanya juga lupa, Bu," sahut Murni sambil menggigit telur di depannya. "Lagian, kerjaan Mbak Rani kan banyak. Emangnya kayak Ibu yang jam segini aja baru bangun?"
"Hus! Ikut-ikutan aja anak kecil!" 
Maharani menghirup napas panjang kemudian mengembuskannya. Dia tahu kalau Murni sering merepotkannya, bikin kesal, dan seenak udel memerintah, tetapi di sisi lain dia merasa gadis itu tidak sejahat ibunya. Kadang-kadang Murni memiliki sifat baik dan manis. Dia juga kadang membela Maharani kalau sedang kena semprot mertuanya. Gadis itu seperti uang koin yang memiliki dua sisi.
"Rambutnya yang kecil, Bu," jawab Murni tak mau kalah sambil mengerlingkan matanya pada Maharani sebagai kode bahwa sebaiknya dia kembali ke dapur sebelum mulut perempuan tua itu nyerocos tak tentu arah seperti radio bobrok.
"Pandai betul mulutmu kalau bicara!"
"Anak siapa dulu, dong. Anak Ibu gitu, loh! Udah cantiknya se er te, bodinya bahenol kayak oplet, suaranya merdu kayak Krisdayanti pula! Sampe yang denger Ibu nyanyi, kupingnya langsung pada budek!"
Terdengar suara tawa dari arah belakang sebelum Ibu sempat mendamprat anak sulungnya. Dan makian yang telah disiapkannya pun terpaksa di telan kembali. 
"Pagi, Pap! Pagi-pagi udah ketawa. Habis dapat togel, ya?" Lelaki yang sudah berusaia enam puluhan itu pun langsung mengecup kepala putri sulungnya dengan lembut. 
"Pagi, Sayang. Cepet selesein sarapannya. Sudah ditunggu Pak Darmin!"
"Yo'i, Bos!" Murni langsung menyelesaikan sarapannya dengn cepat kalau tak mau uang bonus tahun barunya dihilangkan. "Dah, Bu. Dada, Papi. Dada Mbak Ran ...." Seperti seorang putri kecntikan, gadis itu berlenggak lenggok sambil melambaikan tangannya. Maharani yang sudah selesai mengelap kompor dan meja dapur pun melambaikan tangannya disertai senyum manis. 
"Hati-hati di jalan, Mur," katanya setengah berbisik. Meskipun tak ada yang mendengarnya, tetapi itu tak masalah bagi Maharani. Bagaimana pun juga dia tulus menyayangi adik iparnya dan telah menganggap anak itu seperti adik kandungnya sendiri.
"Ran, mana Aryo?" Pertanyaan Ibu menyentakkan Maharani. "Gak sarapan lagi?"
"Katanya ada meeting, Bu. Cuma minum kopi saja."
"Hah. Kasihan sekali anakku. Dia harus kerja keras siang malam untuk menghidupi keluarga ini. Sementara istrinya? Cuma seorang pengangguran di rumah."
Sakit hati Maharani mendengar ucapan ibu mertuanya. Dia memang tak bekerja, tak menghasilkan rupiah, tetapi bukan berarti dia pengangguran. Sejak menikah sampai sekarang, dialah yang mengurus semua kebutuhan keluarga ini. Dari subuh sampai larut malam pekerjaannya tak pernah selesai. Masih bisakah disebut pengangguran jika pekerjaannya sebanyak itu? Pembantu saja dibayar, tetapi Maharani melakukan semua itu tanpa imbalan sepeser pun. 

Terima kasih sudah membaca. Ikuti terus cerita ini, ya. Baca juga novelku yang lain Istri Kedua Suamiku (tamat).

0 Comments