Dinding Rumah Mertua. Bab 2

 

"Kalau Ibu kasihan sama Aryo, antarkan saja makanan ke kantornya," celetuk Ketut, pria yang telah menjadi suaminya selama puluhan tahun. Dan selama puluhan tahun itu pula lelaki berdarah Bali-Jawa-Jerman itu harus merelakan telinganya mendengar ocehan Suci setiap hari.
"Kenapa gak Papi aja yang anterin? Papi kan pengangguran!" Ibu melengos lalu meminum jus di depannya. Suaminya itu memang selalu menyebalkan, tak pernah membela dirinya dan selalu menentang apa pun yang dikatakannya. Kalau dia bilang iya, Ketut pasti bilang tidak! Pokoknya mereka sudah seperti kutub utara dan kutub utara dan mereka hanya akan menjadi kutub yang berlainan kalau sedang di atas ranjang. Kalau tidak, mana mungkin sih pernikahan mereka dikaruniai tiga orang anak.
"Lho, siapa bilang Papi pengangguran? Kerjaan Papi banyak, Kok. Baca koran, nyiramin taneman, bantuin Rani nyapu ngepel. Nah, Papi sibuk, kan?"
Maharani yang baru selesai membersihkan meja dapur pun tersenyum mendengar ayah mertuanya membuat kesal ibu mertuanya. Di rumah ini, lelaki tua itulah yang baik padanya dan selalu pengertian.
"Ran, kalau sudah selesai duduklah. Kamu pasti capek. Ayo sarapan sama-sama."
"Ah, Papi bikin kesel!" Suci menaruh sendok garpunya dan pergi begitu saja dari ruang makan. "Jadi gak selera makan gara-gara bau keringet!"
Ketut menggelengkan kepala. Dia tak heran lagi dengan kelakuan istrinya, tetapi dia tak menyangka bahwa sifat Suci makin tua makin tak terkendali. Tak hanya adatnya saja yang buruk, tetapi mulutnya juga makin pedas. Cabai saja kalah pedesnya.
"Duduklah, Ran. Jangan dengarkan ibumu."
Wanita itu tersenyum tulus. Meski wajahnya lelah, keringat bercucuran dari dahinya, tetapi kecantikannya tak pernah luntur. "Nah, ini. Makanlah."
Lelaki itu mengambilkan telur ceplok dan menaruhnya di piring menantunya. "Kamu pasti lelah. Kamu harus makan yang banyak."
"Makasih, Pap."
"Ah, seharusnya Papi yang berterima kasih padamu. Kamu tak pernah mengeluh, tidak pernah marah, seburuk apa pun perlakuan kami terhadapmu."
"Rani hanya menjalankan tugas, Pap."
Ketut menggeleng lalu meraih tangan menantunya. Ingin rasanya dia berucap bahwa pekerjaan di rumah ini bukanlah tugas seorang menantu, tetapi tugas seorang pembantu. Namun, ditelannya bulat-bulat kalimat yang entah sudah berapa kali dia utarakan pada Maharani. Gadis yatim yang cantik dan baik hati yang ketiban sial karena menjadi menantu di rumah ini.
***
Punggung Maharani seperti akan patah. Sejak pagi hingga siang begini, pekerjaan rumahnya belum selesai meski ayah mertuanya sudah membantu beberapa pekerjaan. 
"Kamu istrirahat saja dulu, Ran," bujuk Ketut ketika dilihatnya Maharani nampak pucat dan lelah. "Papi gak mau terjadi sesuatu pada cucu pertama Papi."
"Makasih, Pap." Maharani tak menolak karena dia memang kelelahan. Ditinggalkannya ruang cucian yang cukup besar itu. "Kalau ada sesuatu, panggil Rani ya, Pap."
Ketut melambaikan tangan seperti orang yang sedang mengusir ayam. Maharani tersenyum dan berjalan ke kamarnya. Untung saja kamarnya ada di lantai satu, jadi dia tak perlu bersusah payah menaiki tangga. 
"Kita istrirahat dulu ya, Sayang," ucap Maharani kepada bayi di perutnya. "Kamu sehat-sehat di dalam, ya," katanya lagi dan tanpa disadari matanya terpejam dan ia tertidur dengan lelap. Namun, belum satu jam Maharani meredakan rasa lelah dan kantuknya, ibu mertuanya sudah menerjang masuk ke kamarnya.
"E e e ... enak betul, ya. Tidur siang, leha-leha."
Dengan mata yang masih berat dan jantung hampir copot karena kaget, Maharani membuka mata. "Ibu? Rani cuma istirahat bentar, Bu."
"Istirahat apa males-malesan?" cibir Suci yang sudah berdandan rapi serta makeup yang menor. Kalau bedaknya boleh dikerok, barangkali sudah seperti semen yang siap diteplokkan ke tembok. 
"Istirahat, Bu," jawab Maharani sambil memegangi bahunya yang pegal. 
"Hah! Enak betul jadi kamu! Di rumah cuma makan tidur, sementara suami disuruh banting tulang cari nafkah!"
Maharani meremas sprei di kedua tangannya. Dia sama sekali tak mengerti kenapa mertuanya memperlakukan dirinya seperti itu. Apa pun yang dilakukan selalu salah. Tak pernah benar. Apakah karena perbedaan latar belakang keluarga yang nampak mencolok? Namun, bukankah sekarang bukan zamannya lagi berpikir demikian? Apa salahnya hidup di keluarga sederhana yang dalam pandangan ibu mertuanya, keluarganya adalah keluarga yang miskin.
"Cepatlah masak buat makan siang! Murni bisa kelaparan kalau pulang gak ada makanan!" sentak Suci kemudian berbalik sambil teriak,"Ibu mau arisan. Jaga rumah, jangan sampai ada barang yang hilang!"
Maharani kembali merebahkan tubuhnya begitu ibu mertuanya pergi. Kepalanya sakit bukan main seperti dipukul oleh godam, tetapi begitu bayi di dalam perutnya menendang-nendang, sakit di kepala Maharani berubah menjadi tangis haru. Dia sangat bersyukur karena bayi yang ada di perutnya tak pernah rewel, tidak pula suka mengeluh, dan manja. 
Sejak tahu bahwa dirinya hamil, Maharani tak pernah mengeluhkan apa pun. Tidak muntah-muntah, ingin makan itu yang sampai menyusahkan suami, atau emosi naik turun. 
"Ran?" Terdengar suara ketukan di pintu dan Maharani segera bangkit dari tidurnya untuk membukakan pintu. 
"Iya, Pap? Papi butuh sesuatu?"
Ketut menggeleng pelan sambil memperlihatkan senyumnya. Meskipun sudah tua, guratan-guratan ketampanan sewaktu muda dulu masih melekat di sana. "Murni chat Papi, katanya makan ingin pizza buat makan siang. Kamu gak perlu masak."
"Tapi ...."
"Ibumu bakal pulang malam kalau arisan! Katakan sama Papi kamu ingin makan apa?"
"Papi yakin?" tanya Maharani ragu. Soalnya dia tahu bagaimana keuangan ayah mertuanya. Uang pensiunannya selalu disabotase oleh istrinya.
"Tenang aja! Gini-gini Papi udah nyembunyikan uang dari ibumu."
Wanita itu tertawa kecil sekaligus merasa kasihan terhadap Ketut. Sebagai kepala rumah tangga dia kerap dimarahi dan disepelekan oleh istrinya, tetapi di sisi lain Maharani kagum terhadap ketabahan lelaki paruh baya itu. Dia tetap sabar dan tabah menghadapi sifat-sifat istrinya yang antik. Dan satu jam kemudian satu kotak pizza beef peperoni, ayam goreng, dan mash potato pun datang disusul oleh Murni yang sudah berlari-lari memasuki rumah seolah dia sudah bisa mencium aroma makanan.
"PIZZA ... AYAM GORENG, I'M COMING!" teriak Murni sambil melempar tasnya ke atas sofa dan berlari ke arah meja makan. Ketika hendak menyomot sepotong pizza, Maharani memukul tangan gadis itu menggunakan garpu. "Cuci tangan dulu, Mur."
"Ah, Mbak Rani ...." Murni merengek persis seperti anak kecil dan berjalan ke dapur untuk mencuci tangannya. "Kan tangan yang belum dicuci itu banyak gizinya, Mbak."
"Kalau banyak gizinya, kenapa Mbak mesti repot masak tiap hari, Mur? Kamu jilatin aja tanganmu sampai kenyang."
"Mbak Rani gitu deh sukanya. Oya, Murni belikan manisan mangga tuh Mbak. Ambil sendiri di tas, ya."
"Buat Papi mana, Mur?" tanya ketut ketika hendak menggigit ayam goreng di tangannya. 
"Bagi duit dulu dong, Pi. Nanti Murni beliin segerobak, sekalian sama yang jual!"
"Janga-jangan anak Papi falling in love sama penjual manisan mangga?"
Murni berpura-pura kegelian seolah seluruh tubuhnya gatal dijalari ulat bulu. "Hiih, amit-amit deh, Pi. Mamang yang jual manisan udah punya cucu selusin!"
Dan tawa mereka bertiga pun meledak. Diam-diam Maharani berpikir seandainya saja ibu mertuanya tak ada, barangkali hidupnya akan jauh lebih tentram dan damai, tetapi dia langsung menepis jauh-jauh pikiran itu. Bagaimanapun Suci adalah ibu mertuanya, perempuan yang telah melahirkan suaminya, dan dia wajib menghormatinya. 
"Tumben beliin Mbak manisan mangga, Mur?" tanya Maharani yang dengan lahap memakan buah mangga muda yang dicampur garam dan cabai bubuk.
"Lagi kesambet, Mbak!" canda Murni sambil memandangi kakak iparnya dengan tatapan kasihan dan iba. 
"Kesambet apa, sih? Lihat Mbak sampe kayak gitu?"
"Mbak Rani makin cantik kalau lagi makan!" jawab Murni asal. Tak mungkin kan dia bilang pada kakak iparnya bahwa tadi dia melihat Aryo sedang makan siang bersama seorang gadis. Ya, meskipun belum tentu itu selingkuhan kakaknya, apa salahnya kalau dia harus waspada? Salah satu cara yaitu nyogok Maharani dengan makanan. Biar kalau kakaknya ketahuan selingkuh, Maharani gak minta cerai. Lha, memang apa hubungannya cerai dengan manisan mangga? Dasar Murni! 

0 Comments