Cerpen: Di Balik Hati Mertua

Lomba cerpen

-Cerpen: Di Balik Hati Mertua- Pukul lima sore aku masih berkutat dengan laptop dan kertas-kertas yang bertumpuk. Hingga tiba-tiba teriakan yang terdengar sangat menggelegar mengagetkanku.

"Zahraaa ...!"

Aku berlari. Buru-buru mencari dan menghampiri dari mana sumber suara itu berasal.

"Ada ... hos ... hos .... A-ada apa, Bu?" tanyaku dengan nafas terengah-engah. Kupegang kedua lututku dan mengatur nafas.

"Itu ... kok si Andri belum dimandiin, sih?" tanya Mertuaku. Sebut saja Bu Ratna. Beliau menunjuk anakku yang berusia 4 tahun. Anakku terlihat berpakaian sangat kotor penuh lumpur.

Aku tak bisa melarang Andri yang memang suka bermain sepak bola di lapangan dekat rumah bersama teman-temannya.

"Ah, iya. Tadi aku beresin tugas dari kantor dulu, Bu.”

Aku segera memegang pundak anakku. "Andri! Cepet mandi, Sayang!"

"Iya, Mah," sahut Andri. Ia pun pergi ke kamar mandi terlebih dahulu.

"Kenapa, sih mentingin kerjaan mulu? Apa enggak cukup gaji suamimu? Terus kamu udah masak belum?"


Baca juga: Cerpen: Dilema


"Belum, Bu. Hehe." Aku terkekeh sambil mengusap tengkukku.

"Ini lagi ... masa rumah berantakan kaya gini? Kaya yang enggak ada penghuninya aja." Beliau terus menggerutu sambil menyapu lantai.

"Lah, kerjain sama Ibu aja! Kalau mau bersih rumahnya, ya ... jangan kelayapan ngurusin arisan mulu, ngerumpi!" batinku menggerutu. Aku pergi menyusul anakku yang sudah menunggu di kamar mandi.

Menggerutu dan berbicara dalam hati. Ya, hanya itu yang bisa aku lakukan. Tak bisa berkata langsung, tak berani.

Giliran saat aku mengerjakan tugas rumah pun selalu tak dilihatnya, tak dianggap. Terkadang sering disindir tidak bersih dan tidak rapi atau apalah itu. Pokoknya menyakitkan hatiku. Padahal aku sudah mengeluarkan tenaga dalam dan keringatku pun sudah bercucuran.

Akan tetapi, ketika aku bersantai sedikit saja, pasti Mertuaku itu akan menyindirku sebagai seorang menantu yang pemalas.

"Please deh, Bu! Aku ini bukan pembantu," batinku meraung-raung.

Begitulah keluh-kesahku hidup bersama Ibu Mertua. Hampir setiap hari aku kena semprot mulutnya yang menurutku terlalu cerewet. Aku sangat benci itu.

Suamiku–Mas Rizki–adalah anak tunggal dan dia pun sekarang sudah tidak mempunyai Ayah. Ya, jadi mertuaku adalah seorang janda.

"Aku enggak bisa biarin Ibu tinggal sendirian dan jangan suruh aku buat milih kamu atau Ibuku!" ucap Mas Rizki tempo hari.

Akhirnya mertuaku yang mulai agak pikun itu pun tinggal serumah denganku dan ternyata ... hidup bersama dan tinggal serumah dengan Mertua itu selalu serba salah. Alhasil terkadang menimbulkan konflik batin.

Suatu pagi, aku bangun kesiangan. Bukan tak peduli, Mas Rizki memang tak berani membangunkanku. Dia mengerti jika aku kelelahan.

"Kok bisa, sih, kamu bangun kesiangan, Zahra?" tanya Mertuaku.

“Jadinya Ibu yang masak buat sarapan suamimu, terus ngurusin si Andri. Nyiapin baju sama bukunya,” sambungnya panjang lebar.

“Amal dikit napa?! Itu juga 'kan anak sama cucumu,” batinku.

Aku menundukkan kepala. "Aku kemarin bergadang, Bu. Tugas kantor banyak banget. Terus hari ini aku di suruh ke kantor lagi," jelasku.

"Mmm ... tolong ambilin sekop kecil!" katanya.

Aku menengadah karena terkejut. Ternyata Mertuaku sama sekali tak mendengarkan penjelasanku.

"Bu ... Zahra 'kan udah bilang. Hari ini harus buru-buru pergi. Zahra enggak bisa bantu cariin," kataku agak ragu.

"Sebentar Zahra!" bentak Ibu.

"Tapi--"

Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Mertuaku melengos pergi ke dapur begitu saja. Aku pun dengan malas mencari sekop kecil yang selalu digunakannya untuk berkebun di taman belakang rumah.

Ke sana-kemari aku mencari. Namun, aku tak bisa menemukan benda yang dimaksud. Waktuku terbuang percuma.

"Bu, enggak ada di mana-mana. Ibu kenapa bisa lupa sih naruhnya di mana?" tanyaku. Menyalahkannya.

"Pertanyaanku memang konyol. Sudah tahu jika Mertuaku itu pikun, masih saja bertanya seperti itu," batinku sambil menepuk jidat.

"Cariin cepet!" Ibu memaksa.

"Maaf, Bu. Aku enggak bisa. Udah siang banget." Kulihat jam di tanganku. Jarum pendek dan panjangnya sudah menunjukkan pukul delapan kurang sepuluh menit.

Meeting dimulai pukul delapan tepat. Jarak dari rumah ke kantor sekitar dua puluh lima menit. Jadi, sudah pasti aku terlambat.

"Zahra ....” Ibu berkata dengan suara yang begitu lirih.

"Udahlah, Bu! Jangan merengek kaya gitu! Kaya anak kecil aja. Cari sana sendiri! Aku enggak bisa cuman ngurusin Ibu.” Aku berang. Sementara itu, bibir Mertuaku bungkam seketika.

“Aku disuruh ngerjain ini-itu, aku tuh capek, Bu.” Kukepalkan kedua tangan.

Aku sudah tidak tahan lagi. “Pekerjaanku juga penting. Aku sadar jika aku hidup numpang di sini. Makanya aku harus bekerja. Masa depan anakku juga masih panjang."

Aku pun pergi meninggalkan Mertuaku dan menutup pintu dengan sangat keras. Membantingnya sekuat tenaga. Selanjutnya aku langsung memanggil taksi.

Hatiku masih terasa panas, marah, kesal, dan jengkel. Hingga aku pun teringat dan terbayang-bayang wajah murung dan mata Mertuaku yang berkaca-kaca.

"Apa aku terlalu keras padanya?" Rasa bersalah mulai menghantuiku.

“Apa aku keterlaluan?” Rasanya aku jadi tidak enak hati. Selalu terbayang kata-kata kasar yang telah kuucapkan tadi pada Mertuaku.

"Pak, putar balik!" suruhku pada Sopir taksi.

"Iya, Mbak,” sahutnya.

Pak Sopir memutar balik arah dan aku pun kembali pulang. Setelah membayar argo taksi yang agak mahal itu, lalu aku berlari masuk ke dalam rumah.

Air mata sudah membendung. Kucari-cari Mertuaku. Ternyata beliau sedang berada di dapur.

"Loh, kok balik lagi?" tanya Ibu keheranan.

Kuhamburkan diri dan memeluk Mertuaku segera. "Maaf, Bu. Zahra tadi berkata kasar sama Ibu."

Tanggul air mataku jebol hingga kristal-kristal bening membanjiri pipi ini. Mengalir bak sungai yang teramat deras.

"Mmm ... enggak apa-apa, Sayang. Ibu pake pisau dapur aja tadi. Nih, Ibu buatin ini buat kamu.” Mertuaku menyodorkan segelas air yang seperti ramuan padaku.

"Ibu semalem denger kamu batuk-batuk, makanya Ibu tadi nyariin sekop kecil buat ngegali jahe. Ibu mau bikin wedang jahe."

"Astagfirullah ... Maafkan hamba-Mu ini ya Allah. Aku telah menyakiti hati orang yang telah berniat baik padaku," batinku menjerit. Kuusap wajahku kasar.

"Maafin Zahra, Bu. Makasih juga buat wedang jahenya,” ucapku sambil terisak-isak.

"Iya. Terus gimana urusan kamu? Katanya meeting-nya penting banget?"

"Enggak apa-apa, Bu. Paling aku nanti kena tegur terus dipecat. Hehe.” Aku mencoba tersenyum lagi.

"Ya ... jangan, dong!"

"Kalau masih rezekinya pasti enggak bakalan ke mana, Bu."

Drrt ... drrt ...

Keesokan harinya aku mendapat pesan jika semua karyawan yang mengikuti meeting kemarin harus diisolasi karena ada salah satu tamu yang terkena COVID-19.

"Semua memang ada hikmahnya. Untung saja aku tidak ikut meeting kemarin.”

Karena hanya aku sendiri yang selamat, jadi Bosku juga mengirimiku pesan kalau aku diberi tugas penting dan dijanjikan akan mendapatkan bonus yang cukup besar.

“Alhamdulillah ....”


–Tamat-


Ditulis oleh : Askama95

12 Comments

  1. Biasalah ... Emak mertua, semuanya serba salah. Tapi ada baiknya juga sih, si Zahra jadi nggak kena covid kan,😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. 😂😂😂selalu ada kesalahpahaman antara menantu dan mertua

      Delete
  2. Aduh, nama suaminya......😁😁😁😁

    ReplyDelete
  3. Jadikan pelajaran aja. Suatu saat nanti kita sebagai wanita pasti akan menjadi mertua dari anak orang lain. Jadi, bersikap lebih baik lagi.

    ReplyDelete
  4. Drama Mertua dan Menantu memang sangat sulit dihindari, seperi sayur tanpa garam yang tidak lengkap, begitu juga Mertua dan Menantu yang tidak lengkap tanpa adanya drama... 🤣

    ReplyDelete
  5. jadi pelajaran Hidup bareng mertua emang suka kaya gitu😁

    ReplyDelete
  6. ya ampuuuun..... keren bangetz ceritanya.... syukaaaa.....x-)

    ReplyDelete
  7. Keren critanya 👍🏻👍🏻
    .
    Di tunggu cerita" selanjutnya

    ReplyDelete
  8. Memberikan pesan dan kesan yang sangat baik yah. Nice story. Aku sukaaaaaa

    ReplyDelete
  9. Bagus. Ada pesannya juga 💛

    ReplyDelete