Cerpen: Ibu Mertua Vs Suami Pengertian

Lomba cerpen

-Cerpen: Ibu Mertua Vs Suami Pengertian-"Kenapa kamu nangis, Shelfi?" tanya Maria saat melihat cucunya terisak di teras rumah, tangan kecil itu berpegang pada tiang berbentuk paralon besi yang dicor bersama dudukan semen memanjang atau orang-orang sering menyebutnya bug.

 

 

"Ibu mukul aku, Nek!" sahut gadis kecil itu mulai beranjak dan memeluk neneknya itu.

 

 

"Ya sudah, jangan nangis lagi, ya? Biar ibumu nanti Nenek marahi!" timpal Maria tersenyum.

 

 

 

Tangan kecil itu digandeng oleh Maria masuk ke dalam rumah. Melihat itu, hati Mega sudah dag-dig-dug-der, dia amat takut mendapatkan serangan dari ibu mertuanya yang bagi dirinya adalah halilintar pada hujan yang gerimis.

 

 

 

"Eh, Ibu!" sapa Mega lalu mengambil tangan ibu mertuanya.

 

 

Maria menarik bibirnya serupa garis lurus. "Kamu jadi Ibu itu yang benar dong, Mega! Masak anakmu kamu biarkan menangis sendirian di luar rumah? Kalau diculik orang bagaimana? Kamu yakin tak bakal menyesal?" ucap Maria tanpa berpikir lontaran suara itu menyakiti hati sang menantu.

 

 Baca juga: Mertua tak Terduga

 

Mata bening Maria melihat Reno yang duduk santai di depan TV. Dengan tergesa, perempuan yang memakai cardigan hitam polos itu menuju pada anaknya. Dia lalu duduk di samping lekaki bertubuh gempal dan berisi tersebut.

 

 

"Ibu masih heran sama kamu Reno!" sambar Maria meneguk es jeruk yang baru saja tersaji di hadapannya.

 

Reno mengerutkan keningnya.

 

 

"Kamu itu, Reno! Kamu nikah sama Mega yang jauh dari kasta kita. Astaga, perempuan itu lho! Apa yang dia bisa? Sudah istri tidak cantik, tidak bisa masak, tidak doyan dandan pula, dan lagi kamu ... harus berpindah keyakinan gara-gara mengikuti istrimu itu!" ucap Maria mendesis tajam.

 

 

"Aduh, Ibu jangan keras-keras! Aku tidak mau Mega mendengar kata-kata Ibu! Aku benar-benar cinta sama dia, Bu!" sanggah Reno dengan wajah yang ditekuk. Namun tangan besarnya mengusap-ngusap lengan ibunya, berharap perlakuannya itu mampu meredam setiap kata-kata yang hendak dilontarkan oleh perempuan yang telah melahirkannya dua puluh delapan tahun silam tersebut.

 

 

 

"Coba lihat! Kalau dulu kamu nurut sama ibu, pasti kamu sudah bisa punya rumah sendiri!" cerocos Maria masih kurang puas dengan keadaan rumah kontrakan Reno, anak ketiganya yang dahulu memilih menikah tanpa sepengetahuan keluarga besarnya.

 

 

 

"Berapa kali, Reno harus bilang sama, Ibu? Kalau Reno ini sudah besar, Bu? Reno tahu, kalau dulu Ibu itu marah karena Reno memilih Mega dari pada perempuan pilihan Ibu, tapi tolong, Bu. Tolong hormati keputusan Reno ya, Bu! Reno ingin punya pasangan hidup pilihan Reno sendiri, Bu. Toh sekarang kami sudah memberikan Ibu dua cucu yang lucu, kan?" tawar Reno menyunggingkan senyum paling manis yang dia miliki. Hingga hati Maria terasa bergolak.

 

 

 

Perih nian hati Mega, tersebab mendengar percakapan antara Maria dan Reno, tapi bagaimana pun dia tetap gigih untuk mempertahankan rumah tangganya. Tak peduli betapa Reno yang sebenarnya sering uring-uringan, karena memang mereka banyak sekali perbedaan-perbedaan latar belakang pun perbedaan budaya. Oleh karena Mega adalah orang Jawa sementara Reno adalah keturunan China–Indonesia.

 

 

"Ibu mau pamit, Ren! Mana istrimu? Panggil dia!" pinta Maria setengah menggerutu. Dia merasa gerah, karena kontrakan itu sangat kecil dan jauh dari kemewahan yang biasa dirasainya saban hari.

 

 

Dindingnya terlihat mengelupas di sana sini, baunya begitu lembab dan tak ramah di hidung Maria. Terkadang perempuan bersurai hitam legam itu heran, mengapa anaknya betah tinggal di sana.

 

 

"Dik sini! Ibu mau pulang," teriak Reno memanggil Mega.

 

 

 

 Dengan tergesa-gesa, Mega berjalan menuju Ibu mertuanya. Hingga ketika dia hendak mengulurkan tangan untuk menyalim Ibu mertuanya tersebut, sebuah drama yang mengoyak batin terjadi.

 

 

Yaitu saat Mega mengambil tangan Maria dan mencoba mencium punggung tangan itu, sang ibu mertuanya malah menarik tangannya. Betapa hati Mega mencelos karenanya. Mengetahui istrinya mendapat perlakuan seperti itu, Reno mengusap-usap punggung wanita yang sangat dicintainya tersebut.

 

 

 

Dijemput sang sopir, Maria pulang. Dalam beberapa menit berikutnya, mobil berwarna hitam itu memecah jalanan yang padat di kota Jakarta. Tadi Maria sudah kirim pesan kepada Reno, agar dia mengajak istrinya berkunjung ke rumah besarnya weekend nanti. Tersebab keluarga besarnya akan berkumpul dan ini adalah langkah untuk memperkenalkan Mega kepada keluarga besar Reno.

 

 

Di mana dahulu mereka semua tidak sempat berkenalan dengan Mega. Hal itu terjadi karena Reno dan Mega yang seolah-olah kawin lari tersebut, atau hanya keluarga Mega saja yang tahu pernikahan mereka. Sebuah pernikahan yang amat sederhana, hanya disaksikan dua orang wali, dua orang saksi, dan kedua orang tua Mega di rumah berukuran kecil.

 

 

 

 Sebagai wujud syukur atas pernikahan itu, dibagikanlah bungkusan nasi dalam kertas minyak sebanyak dua puluh lima buah kepada tetangga sekitar. Dapat dilihat tak ada perayaan atau pun resepsi seperti pernikahan orang-orang lainnya namun, besar harapan Mega dan Reno agar pernikahan mereka akan langgeng hingga maut memisahkan mereka.

 

 

 

 

Reno dan Mega membawa kedua gadis kecilnya, bernama Shelfi dan Tiara. Keduanya adalah gadis kecil yang cantik, Tiara merupakan adik Shelfi yang baru berumur dua tahun, sementara Shelfi berumur tiga setengah tahun. Sungguh amat ribet mengurusi dua balita seperti itu namun, Mega selalu berbesar hati dan meyakinkan dirinya bahwa dia mampu untuk menjadi Ibu yang baik bagi kedua anaknya tersebut.

 

 

 

Dalam lain waktu, Mega juga pernah meyakinkan Reno untuk tetap di sisinya, walaupun terkadang suaminya tersebut pernah meminta Mega untuk pergi dari kehidupannya dan membawa kedua anak-anaknya. Namun berkali-kali Mega berkeras hati, untuk tetap tinggal, karena dia berpikir bahwa tujuan hidupnya telah berubah, yaitu menjadi istri yang baik bagi suaminya, juga menjadi Ibu yang baik bagi anak-anaknya, dan tentu saja satu lagi harapannya yang masih kuncup, yaitu ingin menjadi menantu yang baik untuk ibu mertuanya, Maria.

 

 

 

 

"Oh, kamu sudah datang Reno!" sambut Maria kepada Reno dan Mega yang baru saja turun dari mobil putih rentalan.

 

 

Hati Mega terasa berdebar, kala mendapati senyum ibu mertunya yang begitu terlihat tulus.

 

 

 

 

"Ayo masuk Mega! Kami semua menunggumu. Bukankah kamu sering berkata, bahwa kamu ingin mengenal keluarga besar Reno?" tawar Maria dengan senyum yang terkembang.

 

 

 

Seperti sebuah tanah kering yang tersiram hujan perlahan-lahan, hati Mega yang basah itu merasa lega. Hingga berharap ini adalah pintu baginya, yakni diterimanya dia dalam keluarga Reno, apalagi melihat senyum Ibu mertuanya yang begitu lebar tersebut.

 

 

 

 

"Shelfi, Tiara ... kita makan dulu!" ajak Reno kepada kedua anaknya, kemudian menempatkan mereka di atas kursi makan. Di sana sudah terdapat saudara Reno yang lain yang dilengkapi keluarga kecil masing-masing.

 

 

 

 

"Anton, Rezki, Nadia, dan Vega, kenalkan ini adalah istrinya Reno, namanya Mega! Kalian tentu belum mengenalnya, bukan?" tanya Maria kepada keempat anak kandungnya. Sejurus kemudian mereka semuanya tersenyum canggung dan mengulurkan tangan untuk Mega. Begitu haru Mega mendapat perlakuan seperti itu, dia tidak menyangka akan diterima di dalam keluarga besar Reno yang merupakan keluarga keturunan Indonesia–Cina dan memiliki ekonomi yang baik.

 

 

 

 

Suara denting sendok mewarnai ruang makan tersebut. Sebut saja tumis capcay, aneka ragam seafood tersaji di sana, dan masih ada lagi masakan Cina yang Mega sendiri tidak tahu disebut apa makanan itu. Awalnya dia hendak bertanya, namun lidahnya terasa kelu, sehingga Reno yang melihat istrinya begitu lahap menyantap makanan mulai berkomentar, "Enak ya, Dik? Kok makannya sampai cepat begitu?"

 

 

Hampir saja Mega tersedak, kemudian Maria memberikan segelas air putih dalam gelas besar untuk menantunya tersebut.

 

 

"Hmmm, minumlah, Mega! Kamu jangan terlalu gugup, kami bukan hantu!" kelakar Maria yang dibalas dengan senyum canggung oleh Mega.

 

 

 

 

"Terima kasih, Ibu! Makanannya enak sekali," sahut Mega setelah menandaskan satu gelas besar air putih di tangan kanannya.

 

 

 

"Ya jelas, makanan ini dimasak dengan resep khusus dan turun temurun keluarga kita!" kata Maria jumawa.

 

 

"Wah, apa Reno juga menyukai ini, Bu?" tanya Mega penasaran.

 

 

 

"Tentu saja Reno menyukainya. Kalau kalian suka, kalian bisa setiap minggu mengunjungi rumah Ibu!" seru Maria tenang.

 

 

Mega merasa kikuk dan berharap ibu mertuanya tak menyadari perubahan sikapnya.

 

 

"I-iya, Bu! Apa aku boleh minta resep masakan ini?" tanya Mega lemah.

 

 

"Astaga, kamu tak perlu menanyakan resep kepada ku, Mega! Jika kamu mau, kamu tinggal ke sini saja. Kamu juga tidak akan tahu seperti apa cara memasak makanan ini. Perlu kamu tahu, resep makanan ini pun sangat susah, orang Jawa tidak akan tahu! Kami membeli beberapa bumbunya di toko obat China," kata Maria menolak tegas.

 

 

Hati Mega terasa luruh dan perih. Dia begitu kecewa atas jawaban ibu mertuanya. Perempuan berkulit sawo matang itu tadinya berharap, agar sang ibu mertua menceritakan cara memasak makanan tersebut, tapi nyatanya ibu mertuanya begitu terlihat menutup diri.

 

 

 

"Jangan berpikir yang tidak-tidak, Mega! Ibu tidak ingin kamu repot untuk memasak makanan seperti ini. Ibu tahu mengurus dua anak balita itu sudah cukup merepotkan?" tebak Maria dan Mega menjawabnya dengan anggukan.

 

 

 

Reno tersenyum tipis melihat Mega yang terlihat sangat canggung. Tangan liatnya yang berada di bawah meja mengambil inisiatif untuk mengelus-ngelus paha istrinya. Sejurus kemudian lekaki bermata sipit itu menelengkan kepalanya dan berbisik ke telinga Mega, "Santai saja! Ibu sayang padamu, Dik!"

 

 

Tanpa sadar suara Reno terdengar oleh semua orang di meja makan berukuran besar di sana. Hingga wajah Mega memerah karena menahan malu.

 

 

 -Tamat-

 

Bio penulis :

 

Warna Senja adalah nama pena dari Qoni Makhfudhoh. Perempuan beruntung yang lahir 29 tahun di bumi Ngawi, Jawa Timur. Kegemaran menulis mulai benar-benar dia perjuangkan dengan mengusahakan banyak membaca. Bagi perempuan berdarah Jawa itu, menulis sangat mampu meredam amarahnya kepada kehidupan. Di mana dia mulai berani berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Motto hidupnya adalah 'Berteman dengan sepi akan membuatmu mengerti'. Sebenarnya Warna Senja adalah nama rumah baca yang terdaftar di pustaka bergerak. Sahabat penulis sendiri Nun Unroto El Banbaruly-lah yang 'merongrong' kepada Warna Senja untuk menulis, membaca (baca: menjadi predator buku), dan mendirikan rumah baca. Akhirnya Warna Senja yang berarti 'pribadi yang mengeja' ini hadir untuk turut mewarnai dunia. Salam kenal dan salam santun. ^~^

 

3 Comments

  1. Saya terharu membaca kisah ini. Saya pribadi yakin, tiap manusia punya sisi baik. Jadi harus tetap positif thinking.😌😌😌

    ReplyDelete
  2. Jangan pikir jelek dulu, hihihi..

    ReplyDelete