Cerpen: Nasi Goreng Ibu


Lomba cerpen morfeus publisher


          Dengan cekatan, tanganku sibuk mengulek bumbu nasi goreng pada cobek yang telah Ibu persiapkan tadi. Lima siung bawang putih, satu sendok garam, tiga buah cabai, dan sejumput ebi telah tercampur sempurna. Kupanaskan wajan berisi minyak goreng, sengaja aku mengukur minyak itu sesuai dengan resep yang telah kuhafal tadi. Ibu memperhatikanku dari jauh sambil tersenyum geli. Aku sedikit grogi saat Ibu menatapku demikian. Maklum saja, hari itu adalah hari pertama aku memasak untuk suamiku dan juga Ibu mertua. Biar hanya nasi goreng, tapi jika dimasak untuk Ibu, sama saja aku sedikit tak percaya diri. Yang kutahu, nasi goreng adalah menu favorit suamiku dan Ibu. Makanya aku sedikit takut jika nanti masakanku menjadi nasi goreng terburuk yang pernah mereka makan. Astaga, itu akan sangat memalukan sekali. Tapi, perasaan itu berusaha kutepis jauh-jauh.

          Sebelum menikah, lumayan sering aku memasak nasi goreng dengan resep yang Mama ajarkan turun temurun. Rasanya juga lumayan enak, meski masih berbeda dengan nasi goreng yang aku beli di pinggir jalan. Tapi, semenjak aku merantau dan tak tinggal bersama Mama lagi, aku makin jarang memasak. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Berangkat pagi dan pulang malam. Tak ada waktu untuk memasak, aku lebih sering makan di luar, atau kalau sedang hujan, aku memilih masakan sederhana saja. Hanya mie instan dan telur ceplok yang menemani waktu makanku sehari-hari. 

          Untunglah, sebelum aku menikah, Mama sempat mengingatkanku dengan resep nasi goreng yang pernah dia ajarkan. Bahkan dia juga membawakan catatan resep masakan sederhana yang bisa kucoba di rumah suami nantinya. 

"Ini, nanti kau belajar memasak sendiri. Belajarlah sungguh-sungguh! Kalau mertuamu galak, kau bisa dimarahi jika tidak bisa memasak," kata Mama sewaktu menyerahkan catatan resep itu padaku. 

"Memangnya, Ibu itu galak?" tanyaku dengan dahi berkerut.

"Mama juga tidak tahu, tapi kelihatannya tidak. Ini hanya untuk berjaga-jaga, supaya tidak ada keributan dan rumah tanggamu langgeng," ujar Mama sembari menepuk bahuku lembut. 

          Aku memang sedikit sungkan jika harus bercerita mengenai hariku pada Ibu. Dibandingkan dengan Mama, Ibu tampak lebih pendiam. Tapi hari itu, Ibu dan suamiku dengan senyum jail mereka tiba-tiba saja menyuruhku memasak nasi goreng.

"Aku ingin coba masakanmu. Bukan apa-apa, tapi sedikit demi sedikit kau juga harus belajar," kata suamiku.

Maka jadilah hari itu, aku memasak nasi goreng di dapur seorang diri. Hanya Ibu yang memperhatikanku dari meja makan, sesekali tersenyum lebar saat aku melihat kearahnya. 

"Tara! Nasi gorengku sudah jadi," seruku setelah mematikan kompor dan menyajikan nasi goreng itu ke piring. 

"Wah, baunya enak sekali," puji Ibu padaku hingga membuatku makin kikuk.

          Aku segera memanggil suamiku di ruang kerjanya, tampaknya dia baru saja menyelesaikan beberapa laporan perusahaan. Mendengar nasi gorengku sudah matang, dengan antusias suamiku langsung turun dan bergabung bersamaku dan Ibu di meja makan. 

"Silakan dicoba dan selamat makan!" ucapku seramah mungkin.

Jantungku tiba-tiba saja berdegup sangat kencang saat Ibu mulai memakan suapan pertama nasi goreng buatanku. Aku memperhatikan ekspresinya dan mencoba menebak apa yang ingin dia katakan. Ibu diam sejenak, mengerutkan dahi, lantas tersenyum lebar menatapku. 

"Apa nasi gorengnya tidak enak, Bu?" tanyaku memulai pembicaraan. 

Belum sempat Ibu menjawab, suamiku juga mengeluarkan ekspresi yang sama. Astaga, mereka membuatku makin panik. 

"Tunggu, rasanya enak tapi sepertinya ada yang berbeda. Di sini seperti ada wangi jahe, apa kau menambahkan jahe?" tanya Ibu padaku masih dengan senyumnya yang kian lebar.

"Emm ... iya," jawabku dengan ragu.

Sesaat tawa Ibu dan suamiku pecah. Hal itu membuatku salah tingkah. Apa seharusnya aku tak menambahkan jahe itu di sana? Tapi, bukankah Mama yang selalu mengajariku demikian? Aku sangat bingung. 

          Ibu menghentikan tawanya dan juga meminta suamiku untuk berhenti tertawa. 

"Kenapa kau menambahkan jahe, sayang?" tanya Ibu lembut.

"Itu resep turun temurun, Bu. Mama yang mengajarkannya. Kata Mama, resep ini kesukaan kakek dulu," jawabku sambil tersipu malu. 

"Jadi begitu, kalau ini memang kesukaan keluargamu, tidak masalah jika kau ingin memasaknya. Tapi, besok pagi biar Ibu ajarkan resep nasi goreng dari keluarga Ibu. Bukankah itu menarik? Kita bisa saling bertukar resep!" seru Ibu dengan antusias.

"Wah, iya, Bu. Aku juga bisa mencobanya jika pulang ke rumah nanti," kataku tak kalah semangatnya dengan Ibu.

          Keesokan harinya, Ibu benar-benar mengajariku resep nasi goreng keluarganya. Dari cara memotong, ukuran bumbu, hingga lama memasaknya Ibu jelaskan dengan begitu detail. Aku memperhatinya sambil sesekali mencoba langkah-langkah yang Ibu lakukan. Rupanya, mengobrol dengan Ibu pun juga sama asyiknya dengan Mama. Sesekali Ibu menceritakan masa mudanya dulu. Katanya, ketika kali pertama dia tinggal bersama suaminya, dia bahkan juga tak bisa memasak sama sekali. Sampai-sampai, suami Ibu yang harus memasak beberapa hari setelah pernikahan mereka. Makanya, ketika melihatku yang kebingungan sewaktu memasak, Ibu sudah sangat mengerti dengan perasaanku. Waktu itu, dia memandangku dengan tersenyum. Kata Ibu, tingkahku itu selalu mengingatkannya pada masa mudanya dulu. Tak dapat dibohongi, aku merasa senang jika Ibu berkata demikian. Bahkan Ibu juga memintaku agar tak sungkan bercerita apa pun padanya tentang hari-hariku. Rupanya, Ibu yang kukira pendiam juga galak itu salah besar. 

"Baiklah, sekarang kita matikan kompornya dan sajikan nasi gorengnya," kata Ibu padaku. 

"Bau nasi goreng Ibu jauh lebih enak. Apa ini karena bumbunya kita ulek?" tanyaku.

"Mungkin saja. Tapi, mungkin ini karena kau yang baru pertama kali mencium baunya. Kalau sudah berkali-kali, nanti akan serasa biasa seperti nasi goreng pada umumnya," ujar Ibu sambil terkekeh.

          Sejak hari itu, aku merasa lebih dekat dengan Ibu. Hari-hari kuhabiskan bersamanya. Biasanya, pagi hari kami akan menghabiskan waktu dengan memasak bersama atau pergi ke pasar bersama. Siangnya, aku dan Ibu mengalihkan kegiatan dengan berkebun. Berbagai jenis bunga telah Ibu tanam di pekarangan rumah, sekalian aku belajar merawat tanaman. Dulu pernah sesekali Mama membelikan tanaman hias padaku sebagai kado ulang tahun. Tapi, aku tak terlalu pandai merawatnya. Jadilah tanaman itu layu lalu mati dengan sendirinya. Sekarang, setelah aku mengenal Ibu, pekerjaaanku serasa jauh lebih mudah. Aku juga memiliki beberapa hobi baru yang kudapatkan ilmunya dari Ibu.

***

           Berawal dari sebuah pesan seorang perempuan yang kudapati di ponselnya, hubunganku dan suamiku semakin renggang saja. Beberapa kali kami terlibat pertengkaran. Sering kali kulihat Ibu yang diam-diam memperhatikan kami dari kejauhan, matanya basah, Ibu menangis sesenggukan. Tak tega rasanya jika melihat Ibu demikian. Terkadang, setelah pertengkaran hebat itu berakhir, aku juga masih selalu mengeluh pada Ibu. Membuat air mata Ibu yang sempat kering itu mengalir lagi. Mungkin, akan sangat disayangkan jika pernikahanku yang masih berumur jagung itu akan berakhir begitu saja. Selama ini, aku dan suamiku juga damai-damai saja. Pesan perempuan yang tak kukenal itu yang telah mengubah segalanya. Membuatku tak mampu bertahan lagi, lalu sakit dan memilih pergi. Kucium tangan Ibu untuk terakhir kali, betapa berat meninggalkan perempuan berhati emas itu. 

"Nduk, maafkan segala kesalahan Yuda, anak Ibu. Jangan pula kau tak mau mampir ke rumah Ibu lagi, tetaplah anggap Ibu sebagaimana ibumu sendiri." Begitulah pesan Ibu sebelum kepergianku.

          Alangkah beruntungnya diriku pernah diizinkan tinggal satu atap dengan Ibu. Saking inginnya aku mengenang Ibu, sampai-sampai aku dan Mama membuka usaha warung nasi goreng kecil-kecilan di pinggir jalan. Kugunakan resep Ibu yang tiada tanding itu. Sebelumnya, aku telah meminta izin pada Ibu. Dia menyetujuinya. Sesekali Ibu mampir di warung nasi gorengku, dia bercerita panjang lebar tentang bagaimana sepinya rumah ketika aku tak lagi ada di sana. Astaga, hal itu bagai tamparan bagiku. Ibu pasti lebih banyak menghabiskan waktu sendiri. Ingin rasanya aku menemani Ibu sepanjang harinya. Sayang, hal itu sudah tak bisa. Memperbaiki hubungan yang telah rusak itu tidak mudah, apalagi bayangan pesan-pesan perempuan itu masih saja tergambar dalam pikiranku. Syukurlah, warung nasi goreng itu sedikit banyak mampu mengobati kerinduanku pada Ibu. Warung itu kini juga menjadi tempat bagi Ibu untuk mengadukan segala keluh kesahnya padaku.



***Tamat




Tentang Penulis


Eva Anastian lahir di Magelang, Jawa Tengah.  Penulis mulai berkecimpung dalam dunia literasi sejak 2017. Beberapa karyanya dapat dijumpai salam berbagai buku antologi cerpen.

0 Comments