Suamiku Perkasa. Bab 29

 


Author: Blacksugar

©Morfeus Publisher



"Selamat pagi, Pak." 

Gera tampil formal saat datang ke kantor. Ia tak sabar untuk mengetahui pekerjaan apa yang akan Roy tugaskan untuknya. 

"Hai, Ge! Thanks atas formalitasnya." Timpal Roy gemas. 

"Jadi gini, karena sekarang saya akan memberi kamu tugas, jadi kita tetap profesional. Tapi akan ada saatnya ketika aku membutuhkan kamu hanya sebagai Gera. Bukan asistenku." Gera mengangguk mengerti apa yang dimaksud Roy. 


Beberapa jam Roy habiskan untuk mengajarkan Gera apa tugasnya. Untung saja Gera merupakan lulusan dengan prestasi yang sangat memuaskan. Jadi tidak terlalu ribet untuk mengajarinya sesuatu yang baru. 

"Jika ada yang membuatmu bingung, tolong bertanyalah!" 

"Baik, Pak." 

Sejujurnya Gera bingung kenapa Roy berubah drastis seperti ini. Apa karena gertakannya kemarin? Ah, rasanya tidak akan mungkin. Mengingat Roy adalah Boss yang tak mau dibantah.

"Sebentar lagi makan siang. Saya mau kamu ikut saya." 

Gera mengerjapkan matanya. "Mohon maaf, Pak. Tapi untuk apa?" 

"Gera, ya untuk makan siang dong. Ya kali saya bawa kamu main-main ke kebun binatang." Kekeh Roy sambil geleng-geleng kepala. Gera yang merasa bodoh hanya menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal sama sekali. 

"Baiklah." 

Siangnya Roy membawa Gera ke sebuah restoran kelas atas. Boss sekelas Roy memang kadang-kadang tak mau makan sembarangan. Mengingat dia memang terlahir dari keluarga kaya raya. 

Berbeda dengan Gera, ia lebih memilih hidup sederhana daripada harus menikmati kekayaan melimpah milik Papanya. Bagi Gera itu tak perlu. 

"Pak, apa disini tidak terlalu berlebihan?" 

"Ge, kalau sekarang jangan formal-formal amatlah. Kau milikku!" Ujar Roy membuat Gera tersenyum canggung. 

"Ini bukan apa-apa, Ge. Aku rela melakukan apapun yang penting kamu nyaman." 


Gera memberanikan dirinya untuk bertanya pada Roy. "Aku ingin bertanya. Tapi tolong, jangan marah." 

Kata-kata Gera membuat Roy menatapnya heran. "Katakan saja, sayang."

"Kenapa kau berubah, Roy? Apa karena wanita itu?" 

"Gera, wanita itu bukan siapa-siapa. Aku tidak membutuhkannya."

"Kukira kau akan memecatku karena wanitamu sudah kembali. Jadi kau tak memerlukan budak seksmu lagi." Cicit Gera takut-takut.

Roy menatao tajam Gera. "Ge, kamu bukan budak seksku! Aku melakukannya denganmu karena perasaan. Aku melakukan itu semua dengan hati." Tutur Roy penuh penekanan. 

"Dan satu lagi, dia bukan wanitaku. Kau wanitaku!" 


Selama makan siang, hanya suara piring dan garpu yang beradu. Baik Roy maupun Gera tak ada yang angkat bicara. 

Sampai di kantor pun Roy meninggalkan Gera sendiri. Biasanya ia akan berjalan sembari menggenggam erat tangan Gera. 

"Roy! Sudah kubilang, jangan marah. Kau menyetujuinya. Tapi kenapa sekarang kau yang marah?! Menyebalkan!" Gerutu Gera menghempaskan bokongnya di sofa. 

Roy hanya terdiam. Ia memilih fokus pada komputernya. Dan hal itu membuat Gera jengah. 

"Roy! Jawab dan berbicaralah padaku! Aku tak suka berbicara dengan patung!" Seru Gera menggebu-gebu. 

Tatapan tajam setajam elang Roy layangkan hingga menusuk mata coklat muda Gera. "Aku tidak marah! Kau diam saja, bisa?" 


Kata-kata Roy menusuk bagi Gera. Ia merasa sakit di bagian dadanya saat Roy membentaknya. 

"Aku tak bisa! Kau marah padaku. Bagaimana bisa aku nyaman bekerja denganmu?" Ujar Gera keras kepala. 

"Jadi kau mau tahu kenapa aku begini? Kau yakin mau tahu?" Tanya Roy menelisik ke dalam mata Gera. 

Gera mengangguk antusias. 'Sungguh seperti anak kecil. Menggemaskan!' Batin Roy menahan senyum melihat tingkah Gera. 

"Sekali lagi aku tegaskan, aku tidak marah. Terlebih padamu. Aku hanya... Aku hanyaa.." 

"Hanya apa Roy?" Potong Gera tak tahan.

"Aku tak tahan. Kau lama sekali menjawabnya. Menyebalkan!" Tambahnya lagi membuat Roy menatap tajam. 


"Aku menahan nafsuku, Gera! Kau membuatku mengingat permainan panas kita. Aafmrrgghhh!" 

Gera yang mendengarnya hanya bisa melongo. Roy mengacak rambutnya. 

"Lalu kenapa tak kau lakukan jika ingin?" Tanya Gera berusaha memberanikan diri. 

Roy menghampiri Gera. Menggenggam setiap sisi bahu kecil Gera. "Aku ingin memulai hubungan baik denganmu. Sekali pun aku menginginkan sesuatu darimu, aku mau itu bukan kehendakku. Dengan kata kasar, jika aku bernafsu, aku akan melakukannya denganmu hanya jika kau juga bernafsu padaku." 

"Kau mau semua murni tanpa paksaan?" Tanya Gera. 

Roy mengangguk. "Baiklah! Ayo kita lakukan!" Gera menggenggam tangan besar Roy erat. 

Mendengar perkataan Gera yang jauh dari biasanya membuat Roy menganga terheran. "Benarkah?" Gera mengangguk tersenyum.

Gera sangat malu dengan sikapnya yang seperti ini. Murahan sekali. Tetapi ia juga tak bisa bohong. Ia merindukan Roy. Terlebih permainan panasnya. 

"Hmm.. Roy! Bolehkah aku meminta sesuatu?" 

"Sebutkan saja, sayang!"

Dengan canggung dan rasa malu yang sangat besar, Gera menggingit bibirnya. "Jika kau ingin kita bermain, tolong jangan disini." Pinta Gera menunduk malu. 

Roy yang melihatnya sangat gemas. "Lalu kau mau dimana, sayang?" 

"Dimana saja. Asal tidak disini." 

"Baiklah." Roy terpaksa menelan libidonya yang sudah sampai ubun-ubun. Padahal miliknya sudah sangat keras dan siap menggempur tebing ketat milik Gera. 

Pekerjaan kantor mereka lakukan profesional. Tak ada yang saling menganggu. Hanya saja mereka berdua berkali-kali saling melirik. 

***

"Aku sudah menunggu ini sejak lama, Gera. Seminggu saja terasa begitu lama." Ujar Roy. 

Ia mengecup seluruh wajah Gera dengan sangat rakus. Gera juga mulai belajar menikmati permainan dan berusaha mengimbanginya. 

"Aahhh, Roy! Pelanlah! Tak ada yang mengejarmu." 

"Aku sudah tidak tahan, sayang. Rasakanlah milikku." 

Wajah Gera bersemu merah merasakan batang besar itu menegang sempurna di dalam sana. "Roy, ini sangat keras!" 

"Kau benar, sayang." 


"Ouhh,, Roy! Ini geli.. Yeaahh aahhh.." 

Tidak tahan mendengar desahan dan erangan Gera, Roy membuka seluruh pakaian Gera hingga tak tersisa seurat pun benang di tubuh indah wanitanya itu. 

"Kau sangat indah, Gera."

"Jangan berkata seperti itu, Roy. Kau membuatku malu." 

***

Peluh memenuhi punggung Roy. Permainan mereka sangat panas hingga lupa waktu. Mereka tak peduli akan pekerjaan yang menunggu di kantor. Nafsu buas sudah melingkupi mereka saat ini. 

"Sudah jam 30 pagi, Roy. Dan aku lelah." Keluh Gera sembari rebahan di samping Roy. 

Roy tersenyum menatap wanitanya. "Istirahatlah. Malam ini aku menginap di rumahmu saja." 

Diam tak ada respon dari Gera. Saat Roy membuka mata untuk melihat Gera, ternyata ia sudah terlelap. 

"Kasihan sekali. Kau pasti sangat kelelahan." Roy merapihkan beberapa urat rambut Gera yang berantakan di wajahnya. 

Roy tak bisa tidur. Hingga pagi ia hanya menatap wajah Gera yang tertidur damai. Entah kenapa melihatnya seperti itu membuatnya merasa sangat senang. 

"Andai saja aku bisa membawamu ke rumahku. Aku ingin sekali melakukan itu. Aku yakin lelahku akan hilang saat aku melihat wajah damaimu ini." Gumam Roy pada Gera yang sedang tertidur. 

"Kau tahu, Gera? Aku benar-benar gila karenamu. Kau membuat hidupku kacau. Jadi, tolong jangan pernah berniat untuk menghilang. Lagi." Rona wajah Roy berubah saat mengingat bagaimana dirinya ketika Gera menghilang. 

Roy menghela napas berat. "Kau sungguh menyiksaku." 

Lama menatap Gera, Roy jadi mengantuk dan tertidur. Sementara itu Gera terbangun dengan tubuhnya yang terasa remuk karena kelelahan. 

'Bagaimana ia terlihat begitu tampan dalam keadaan tertidur seperti ini. Wajah kokohnya sangat menggoda.' Batin Gera. 

Ia menggeleng keras berusaha menampik perasaannya saat ini. "Roy, bangunlah. Kita harus ke kantor." 

Ia mengguncang tubuh Roy keras tapi tak ada jawaban. "Ayo, Roy! Apa kau mau kita telat? Astaga! Kenapa tidurmu seperti kerbau?" 

"Roy! Apa kau mati?" Gera geram karena Roy sangat sulit dibangunkan. 

"Apa kau mau kusiram? Bangunlah! Menyebalkan sekali!" Pagi-pagi Gera dibuat kesal oleh Roy. 

Karena lelah mengguncang tubuh Roy namun tak ada jawaban, Gera mengambil air dan mengusap wajah Roy hingga si empunya menggeliat kedinginan. 

"Gera! Ini sangat dingin!" Bukannya ciut Gera malah tersenyum bangga karena sudah berhasil membangunkan Roy. 

"Apa-apaan sih? Kau membuat tidurku terganggu." Gerutu Roy kesal. 

"Roy, apa kau lupa hari ini kita akan bekerja dan akan ada rapat di kantor. Ayo cepat mandi!" Suruh Gera. 

Roy menghela napas berat. "Ge, aku baru saja bisa tidur. Semalaman aku terjaga dan baru beberapa menit lalu tertidur. Tapi belum saja satu jam kau sudah membangunkanku. Sial!" 

Sontak saja Gera terkejut. "Ouhh, bagaimana bisa, Roy? Astaga!" 


"Entahlah. Aku mau kembali tidur. Jangan kau ganggu." 

"Wait!" Sigap Gera menghentikan Roy yang mau merebahkan tubuhnya. 

"Bagaimana dengan rapat di kantor?" Tanya Gera. 

Sekali lagi Roy menghela napas sangat panjang. "Ge, apa kau lupa? Aku disana siapa? Rapatnya bisa diatur ulang. Kau ini pagi-pagi sudah membuat onar." 

 Iya. Gera terlupa akan jabatan Roy disana. Tapi Gera malas sekali jika harus berdiam diri di rumah. O

"Apa sebaiknya aku saja yang pergi ke kantor. Pekerjaan masih banyak yang harus diselesaikan. Tidak baik juga aku sebagai bawahan malah ikut bersantai disini."

Setelah Gera menyelimuti Roy, ia memutuskan untuk pergi bekerja tanpa Roy. 


***

"Hei, Gera! Tumben sekali kau tidak datang bersama Boss? Apa dia sudah tidak membutuhkanmu?" Ujar seorang karyawati di lantai bawah. Kata-katanya yang nyeletuk membuat hati Gera sedikit ngilu. 

"Iya. Apa dia sudah tidak menginginkanmu lagi? Agar kugantikan. Aku juga ingin merasakan bagaimana bermain dengan Boss." Sahut yang lainnya. 

Kekehan mereka sangat mengganggu telinga Gera. Namun Gera hanya bisa melawannya dengan diam dan melanjutkan langkahnya. 

'Ternyata semua ulah Roy dan aku sudah tertangkap oleh mereka.' Batin Gera. 

Karena semua sudah terjadi, yang bisa ia lakukan sekarang hanya menelan mentah-mentah rasa malu. 

"Hai, Gera! Boleh aku bicara sebentar?" Itu Clay. Salah satu karyawati yang tidak nyinyir pada Gera. Mereka sering bertegur sapa dan kadang berbincang. 

"Jangan masukkan hati omongan mereka. Kau tahulah, mereka sekelompok orang yang pikirannya dikuasai setan. Tenanglah. Tidak akan terjadi apa-apa." Ujar Clay berusaha menenangkan Gera. 

"Tak apa, Clay. Terima kasih atas supportnya. Hanya saja aku bingung bagaimana mereka bisa berbicara seperti itu?" Timpal Gera kebingungan. 

Clay menghela napas berat. "Hanya ulah seseorang." Jawab Clay ringan. Gera jadi penasaran.

"Siapa?" 

0 Comments