Suamiku Perkasa. Bab 30

 


Author: Blacksugar

©Morfeus Publisher


"Sudahlah, Ge. Masuklah ke ruanganmu. Tidak penting siapa dia. Kau hanya menambah beban pikiranmu saja. Lagian kau tak perlu memikirkan hal seperti ini. Just enjoy it!" 

Gera tersenyum. Ternyata masih ada segelintir orang yang mau berbaik hati menyemangatinya. Namun hatinya tetap tak bisa tenang. Ia terus saja memikirkan siapa orang yang sudah menyebarkan berita seperti itu. 

"Heh, lihatlah perempuan tak tahu diri itu sudah datang." Ujar Dinda saat Gera melewatinya. 

Langkah Gera terhenti mendengar itu. "Bisa kau ulangi kalimatmu tadi?" 


"Apa kau tersinggung? Itu kenyataannya, bukan?" 

Ternyata masuk kantor tanpa Roy akan berakibat seperti ini. Hatinya sangat ngilu. Belum setengah jam ia menginjakkan kakinya di kantor, ujian sudah seberat ini. 

"Tidak. Aku merasa kau menceritakan dirimu sendiri." Timpal Gera tenang. 

Kata-kata Gera memancing amarah Dinda. "Sialan kamu! Kau yang j*lang. Mengerang tak tahu tempat. Kau kira aku tak tahu ulahmu dengan Boss? Sok cantik!" 

Bentak Dinda kasar. 

"Lalu apa masalahnya? Kau iri? Kalau pun aku ingin bersetubuh dengan Roy, itu mauku. Dan tentu mau dia juga." Seru Gera tenang. 

"Dan walaupun kau lebih cantik dan lebih seksi dariku, tapi Roy sama sekali tak melirikmu. See? Dia lebih memilih wanita biasa sepertiku. Bukan kau!" Tambah Gera. 

Dinda menjadi semakin marah dan kesal karena ucapan Gera. Namun Gera memilih pergi meninggalkan wanita itu.

Langkah Gera terhenti. "Satu lagi. Sepertinya kau yang menyebar gosip di kantor bawah. Benar, kan?" 

"Memang aku. Apa masalahnya? Kau keberatan? Lapor saja pada Pak Roy jika kau mau." Tantang Dinda.

Gera terkekeh geli. "Kurasa itu tak perlu. Aku takut, jika aku mengadu, kau akan dipecat dan Roy akan memblacklist namamu diseluruh kota ini. Mau makan apa kau nanti?" 

Bosan dengan umpatan dan ulah Gera, sesekali bolehlah ia yang membuat wanita itu sakit hati. 

"Apa katamu?! Wanita murahan!" Umpat Dinda.


Keberatan dengan perkataan Gera, Dinda menghampiri Gera yang berdiri tenang dengan amarah yang sudah menggebu. 

Plakkkk!

"Berani sekali kau menamparku!" Bentak Gera. 

"Kenapa aku harus takut? Mau melapor lagi? Silahkan!" 

Dinda menjambak rambut Gera kasar. Ia menyakar wajah Gera. Dinda benar-benar menyerang dengan membabi buta. 

"Lepas, Dinda! Kau membuatku sesak!" Gera tak bisa melawan. Tubuhnya seperti beku. 

Dinda yang melihat Gera terdiam tak bisa melawan tertawa puas. "Matilah kau, j*lang tak tahu diri!" Ujarnya. 

Napas Gera tercekat karena Dinda mencekiknya keras. Dinda benar-benar tak punya rasa takut. 


Bugghhhh!!

"Apa yang kau lakukan?!" Clay datang dan mendorong tubuh Dinda keras hingga terjungkal jatuh. 

Napas Gera tersengal. Ia merasa seluruh tubuhnya hampir roboh. Untung saja ada Clay yang memapahnya. 

"Sialan! Kau tak perlu ikut campur. Pergilah!" Bentak Dinda pada Clay. 

"Jadi aku harus diam melihat kau yang menyiksa Gera? Kau bisa membunuhnya!" Clay berteriak di depan Dinda. 

Dinda tertawa senang. "Aku memang mau membunuhnya. Tapi kau malah mengangguku. Bullshit!" 

Clay yang mendengar itu tercengang tak mengerti. Namun ia memilih untuk memapah Gera ke dalam ruangan Roy. Malas sekali meladeni wanita gila seperti Dinda. 

"Terima kasih, Clay!" Ujar Gera. 

"Kenapa kau tak melawan? Dia bisa saja membunuhmu, Ge!" Clay memarahi Gera. Ia kesal sendiri. 

"Clay, tubuhku seperti dikendalikan. Aku tak bisa melawan bahkan bergerak sedikit saja." 

"Kenapa bisa? Astaga! Lihatlah wajahmu. Semua memerah. Pasti dia sempat menamparmu." Clay melihat Gera miris. 

Selain bekas kemerahan di pipi Gera, ternyata banyak sekali memar-memar kecil akibat cakaran Dinda. Clay mengambil kotak obat dan mengobati Gera. 

Sebenarnya Clay tak enak hati jika harus meninggalkan Gera sendirian. Tetapi pekerjaannya juga menumpuk. Bagaimana bisa ia meninggalkan Gera dengan rubah itu? 

"Kembalilah ke ruanganmu, Clay! Ku yakin pekerjaanmu juga banyak." 

"Bagaimana aku bisa meninggalkanmu, Ge? Kau bersama seekor rubah sekarang. Jika aku pergi, ia bisa saja menyakitimu lagi." Cicit Clay. 

"Tak apa. Aku berjanji akan melawannya jika ia mengangguku lagi, Clay. Kau tenanglah!" Ujar Gera meyakinkan Clay. 

"Baiklah. Jika ada apa-apa bergegaslah untuk meminta bantuan. Kau bisa menggunakan telepon kantor untuk memanggil satpam." Clay beranjak dari sana dengan perasaan cemas. 

Saat Clay keluar ruangan, ia mendapati Dinda sedang menatapnya nyalang. "Bitch!" Clay tak menanggapi teriakan Dinda. Baginya Dinda tak lebih dari seorang wanita gila. 

Dengan perasaan yang teramat khawatir terlebih setelah dia melihat bagaimana wanita gila itu memperlakukan Gera, Clay terpaksa menelpon Roy untuk segera datang ke kantor. Ia sangat takut sesuatu terjadi pada Gera. 


"Astaga, Roy! Kenapa ia tak mengangkat telepon?" Clay bingung sendiri karena berkali-kali ia menelpon Roy namun tak ada jawaban. 

"Sekarang tidak aktiv. Dasar! Kemana saja ia pergi?" Gerutunya kesal. 

Clay bingung harus menghubungi Roy dengan cara apa. Ponselnya sudah tidak aktiv. Telepon rumah juga kata Ros Roy sedang tak dirumah. Astaga!

"Luis! Aku bisa menelpon Luis." Segera Clay menelpon Luis dan langsung mendapat jawaban. 

"Datanglah ke kantor dan bawa Bossmu. Ia kemana saja hingga ponselnya tak aktiv. Gera sendiri di ruangan dan kau mungkin tak akan mau tahu apa yang terjadi padanya." 

Clay menceritakan semuanya hingga membuat Luis kelimpungan dengan rasa cemas. 

"Astaga! Pasti Boss masih tertidur di rumah Gera. Aku harus mencarinya. Jika aku menangani Gera sendiri, bisa-bisa dia mengamuk padaku. Geranya kan tak boleh disentuh." Untung Luis ingat. 

Ia segera beranjak menuju rumah Gera. Sesampainya disana, ia gedor-gedor rumah Gera. Memanggil Bossnya dengan suara keras. 

"Ada apa Luis? Astaga! Kau membuat kepalaku terasa berputar. Ada apa kau mengacau sepagi ini?" Omel Roy.

Luis menunduk patuh. "Maaf, Boss. Tapi ini sudah jam 10. Dan maaf membangunkan Anda. Ada masalah di kantor dan saya tidak berani menanganinya sendiri." Tutur Luis. 

"Kau berangkatlah duluan. Aku akan menyuruh Gera siap-siap." Ujar Roy. Luis hampir tertawa melihat tingkah Roy. Ia sampai tak sadar kalau Gera sudah ada di kantor. 

"Maaf, Boss. Tapi Nona Gera sudah berada di kantor. Dan masalah ini menyangkut dirinya di kantor." Langkah Roy terhenti dan menatap Luis melotot. 

"Apa?! Sudah kusuruh jangan ke kantor. Kenapa dia begitu keras kepala? Astaga!" 

Roy tak tahu harus melakukan apa sekarang. Ia benar-benar bingung. Luis sendiri pusing melihat Tuannya yang kelimpungan. 

"Luis tunggulah di mobil. Aku akan menyusul dalam 10 menit." 

Akhirnya Roy keluar dari rumah Gera dengan sangat tergesa-gesa. "Ngebut, Luis! Shit! Apa kau tak bisa lebih cepat lagi? Jangan sampai terjadi sesuatu dengan Gera." 

"Maaf, Boss. Jika saya mengebut, polisi bisa menangkap kita dan itu akan menyita waktu lebih banyak lagi. Jadi saya mohon tenanglah." 

"Oke. Roy, tenang... Tenang...." Cicitnya menenangkan diri sendiri. Jika buru-buru seperti ini, ia akan bertingkah lucu. Sangat konyol. Ia seperti orang yang melahirkan. Menarik dan menghembuskan napas. 

Sampai di kantor, banyak pasang mata memperhatikan mereka. Terutama para karyawati yang menatap kagum dirinya. Bagaimana tidak? 

Untuk kali pertamanya ia datang tanpa setelan. Saat ini ia hanya memakai kaos yang menampilkan otot-otot kokohnya. Dan celana selutut yang membuat para wanita bergumam, 'Wow!'. 

"Luis, ayo ceritakan sebenarnya ada apa dengan Gera?" Desak Roy saat mereka masuk lift. 

"Boss, sedikit lagi kita sampai. Anda bisa melihatnya langsung." 

Lift terbuka, dengan setengah berlari Roy menuju ruangannya. Disana Dinda melongo melihat ketampanan Bossnya. 

"Gila! Ototnya kokoh banget. Sial! Dia sangat tampan. Aku yakin dia sangat perkasa di ranjang. Aku jadi semakin mendambakannya." Gumam Dinda.

"Selamat pagi, Pak! Apa Anda mau-" Ucapan Dinda terpotong karena Roy sama sekali tak mau melihat ke arahnya. Ia terfokus pada ruangannya dan tentu juga Gera. 

Sementara Luis, ia menatap tajam Dinda. Amarahnya seketika terkumpul diubun-ubun. Tapi ia harus menahannya. 

"Gera! Sudah kubilang kan untuk tidak ke kantor! Bagaimana bisa kau-" Roy mengamuk dan terdiam saat Gera menatapnya.

"Ge, sayang, ada apa dengan wajahmu? Cepat ceritakan padaku!" Sikap Roy seketika melembut saat melihat wajah Gera yang sudah sangat kacau.

"Gera, ayo cerita. Bagaimana bisa wajahmu memar dan lebam seperti ini?" 


"Tak apa, Roy. Aku tidak apa-apa. Wajahku, ini akan membaik dengan cepat." 

Terdengar bergetar suara Gera. Matanya memerah dan hampir menuangkan air jernihnya. Tak mampu menahan, air mata Gera membludak keluar. Ia terisak. Baik Roy atapun Luis, mereka berdua merasa sesak melihat Gera seperti itu. 

"Luis! Cepat ceritakan padaku!" Roy menggeram. Emosinya sudah merekah sekarang. 

"Maaf Boss. Mungkin sebaiknya Clay saja yang menceritakannya pada Anda." 

"Clay?" Tanya Roy bingung. Luis mengangguk. 

"Luis, kukira itu tak perlu. Aku tak apa. Luka ini akan membaik dengan cepat." Celah Gera. Ia malas sekali melihat kegaduhan.

"Cepat panggil Clay, Luis!" Luis mengangguk menerima perintah dari Tuannya. 


Clay datang membuat Dinda melotot cemas. Apakah Roy sudah tahu semuanya? Ah, mungkin saja Clay ada laporan untuk Roy. Begitu pikir Dinda. 

"Clay, cepat ceritakan padaku apa yang terjadi pada Gera?" Tanya Roy. Wajah datarnya memberi isyarat kalau ia sudah sangat emosi.

"Kau kemana saja? Kenapa baru sekarang datangnya? Gera hampir mati dan kau tak bisa dihubungi. Laki-laki macam apa kau?" Gera mendongak melihat cara berbicara Clay pada Roy. Kenapa ia tak takut sama sekali. 

"Clay.." Cicit Gera.

"Diam saja Gera. Kau tak perlu berbicara. Pria ini harus digertak agar ia tak lalai terus. Jika seperti ini ia akan tetap ceroboh." Omel Clay. 

Roy hanya diam mendengar ocehan Clay. Ia akui ini memang salahnya. Wanitanya terluka karena kecerobohannya. Ia kurang tegas mengingatkan Gera. 

"Jadi wanita itu yang mencelakai Geraku? Luis, Clay, katakan apa yang harus kulakukan untuk menghukumnya?!"

0 Comments