Suamiku Perkasa. Bab 34

 


"Kau sudah kemana saja, Gera?" 

Gera tersentak kaget ketika memasuki rumahnya. Ia terkejut, disana sudah ada Roy yang duduk sambil menyilang tangan. Ekspresi dinginnya santer terlihat. 

"R-Rooyyy.. Kau membuatku terkejut!" Suara Gera terbata-bata. Ia ingin melawan takutnya, tapi terlanjur dikuasai. 

"Kau sudah kemana?" Tanya Roy dingin. 

"Ha-hanya makan malam s-saja, Roy." Sebisa mungkin Gera mengalihkan mimik wajah takutnya. Ia sengaja tersenyum dan tertawa ringan. 

"Hanya makan malam saja? Bersama seorang pria dan sampai selarut ini?" Interogasi Roy lagi. Mata Gera melotot mendapati Roy yang mengetahui kepergiannya bersama Alvin. Tetapi ini bukan hal aneh, mengingat siapa Roy sebenarnya. Apa yang pria itu inginkan, harus ia dapatkan. 

"Dia teman sekolahku dulu, Roy. Tidak ada salahnya, kan bertemu sesekali." Ujar Gera memberanikan diri. 

Roy menatap Gera tajam. Pandangannya menusuk. "Kau bilang tidak salah?! Jelas salah! Kau masih terikat denganku!" Bentak Roy. 

Mendengar teriakan Roy, Gera menciut takut. Ia peluk tubuhnya sendiri. Ekspresi dingin itu berubah menjadi wajah mematikan. Seolah dikendalikan, Gera terdiam membeku di tempat dan terdiam tak bisa berkata-kata. 

"Kau sudah berani lancang dan berbuat semaumu. Tapi apa kau ingat janjimu padaku?!" 


Gera menunduk takut mendengar bentakan demi bentakan yang Roy lontarkan untuknya. Hatinya terasa tersayat-sayat. Sakit sekali. Pedih sekali. 

"Roy, te-tenanglah dulu." Cicit Gera. 

"Kau menyuruhku tenang?! Bagaimana bisa aku tenang? Sementara kau sendiri berbuat semaumu!" Bentak Roy lagi. Tak henti-hentinya ia menghardik Gera. Membuatnya memejamkan mata takut.

         Kaki Gera gemetar, tubuhnya menggigil. Kini Roy mulai melangkah dan semakin dekat dengan dirinya. Nalurinya menyuruh Gera mundur. Refleks motorik Gera mundur. 

"Dia hanya temanku. Kau tak berhak melarangku seperti ini!" Seru Gera berusaha membela diri. 

         Mata nyalang Roy semakin menusuk Gera kala Gera mulai menyahuti setiap perkataannya. Sementara itu Luis sangat cemas akan kondisi Gera. Mau masuk, Roy tak memperbolehkannya masuk. 

Seakan mengejar langkah Gera, Roy semakin mendekat dan terus mendekat. "Jangan berani pergi atau bahkan berniat menjauhiku, Nona!" Geram Roy. 

          Bahu Gera dicengkram kuat oleh Roy membuatnya semakin terisak. Gera dapat mendengar dengan jelas suara gigi Roy yang bergemeletuk. Hal yang menandakan bahwa Roy dalam keadaan sangat emosi.

"Sekarang ikut denganku!" Roy mulai menyeret keluar Gera dari rumahnya. Hingga di pelataran rumah, Luis hanya bisa menatap iba dirinya.  

"Luis, ikuti aku! Kita kembali ke rumah." Titah Roy tegas. Sepatah kata pun Luis tak berani keluarkan. Dampaknya bisa lebih fatal lagi untuk Gera. Dan jelas, Luis tak mau itu terjadi. 

         Di dalam mobil, Gera tertunduk menangis. Ia bingung, apa salahnya. Kenapa pria ini begitu merepotkan hidupnya. Sedikit pun tak pernah ia bayangkan selama hidupnya akan bertemu dengan seseorang seperti Roy. 

Hikksss.. Hikkss... 

"Jangan nangis! Kau membuatku semakin pusing." Celetuk Roy. Gera benar-benar tersiksa dengan kondisi seperti ini. 

         Roy melihat dari kaca spion, Gera terlihat menahan tangisnya. Pundak mungilnya terlihat berguncang menelan isak tangis. Roy benar-benar sangat keterlaluan. 

"Roy.. Aku ingin pulang. Bisakah kau mengantarku kembali?" Dengan sedikit keberanian Gera mencoba meminta pada Roy. 

         Satu menit, tak ada jawaban. Dua menit, Roy masih fokus pada jalanan. Gera mendengus kesal dengan semua ini. 

"Jika kau tak mau, kau bisa menurunkanku disini. Tolong." Ulangnya lagi. Ia masih tak berani menatap wajah dingin Roy. Mata hitam pekatnya sudah menyerupai gulungan awan hitam penuh petir. 

"Roy, aku mau pulang." 

Buugghhh!!! 

         Gera tersentak kaget saat Roy memukul setir kemudi. "Bisa tidak kau diam? Kepalaku semakin berat mendengar kamu berbicara terus tanpa henti!" 

          Tubuh Gera semakin terguncang mendengar bentakan Roy. "Aaarrgghh. Sialan! Brengsek!" 

          Roy menggeram dan membanting kemudi hingga hampir menabrak tembok pembatas jalan. Dengan hati berapi Roy menancap gas hingga kecepatan penuh. 

           Dengan perasaan takut yang memenuhi kepala Gera hanya bisa menunduk dan berdoa. Ia sangat takut karena Roy mengemudi ugal-ugalan. 

"Turunlah!" Suruh Roy saat mereka sampai di pelataran rumah mewah Roy. 

"Kenapa kau membawaku kesini, Roy?" Tanya Gera lagi. 

         Karena hati Roy masih diliputi amarah, membuatnya malas menyahuti setiap ocehan Gera. 

"Luis, pergi antar dia. Aku akan menyusul nanti." Luis membungkuk saat Roy memberi perintah. 

"Ayo, Ge! Ikut aku." Ia menuntun Gera. Sebenarnya hatinya berat melakukan ini pada Gera. Tetapi ini perintah. 

"Wait, Luis. Apa yang akan Roy lakukan padaku? Aku takut." Cicit Gera. Wajah manis itu kini sudah berubah pucat pasi. 

         Dengan senyuman sehangat mungkin Luis berusaha menyemangati Gera. Ia menggenggam tangan Gera lembut. "Jangan cemas. Kau wanita hebat. Dan dia menyukaimu. Maafkan aku yang tidak bisa berbuat apa-apa." 

         Tidak mau menyalahkan Luis, karena ini memang bukan salah Luis. Ini adalah salahnya yang main pergi begitu saja. Ia lupa bahwa ada orang dengan kekuasaan besar sedang terikat Dengannya.  

         Luis mengantar Gera ke sebuah ruangan. Bukan ruangan yang pernah Gera tempati dulu.  Luis pergi meninggalkan Gera sendiri disana. Ia sedih, tapi tidak bisa berbuat apapun.

"Bersiaplah, Gera!" Seringaian nakal muncul di wajah tampan Roy. 

"Roy, apa yang akan kau lakukan padaku?" Tanya Gera gugup. 

Roy melihat ketakutan Gera dari ekor matanya. "Hanya hukuman kecil." 

         Melihat Roy mulai mengeluarkan satu persatu alat, terlihat seperti besi namun tidak besar. Semua alat itu terlihat aneh bagi Gera. 

         Roy mulai melangkah mendekatinya. "Jadi itu alasanmu terburu-buru di kantor?  Bahkan saat kau melayaniku?" 

Gera menggeleng kuat. "Tidak, Roy. Aku hanya tak sabar bertemu dengan teman lamaku. Itu saja." Jawab Gera berusaha membela diri. 

"Lalu untuk apa dia memegang pipimu?" Interogasinya lagi. 

"Roy, aku bertukar cerita dan tidak sengaja menangis. Itu mengapa dia menghapus air mata di pipiku." 

Braaakkkk... 

"Tapi itu milikku! Hanya aku yang boleh menyentuhnya." Bentak Roy sambil menggebrak meja kerjanya.

"R-royy..." 

          Tangan kokoh Roy mencengkram kuat rahang Gera. Dia tak bisa melawan karena sudah jelas akan kalah. "Sakit, Roy. Hentikan!" Lirih Gera. 

"Tidak akan!  Kau sudah membuatku marah."

"Selama ini aku berusaha lembut kepadamu. Berhenti memaksamu dan mencoba mengerti posisimu. Tapi ini balasannya! Kau.. Aargghhh!" Roy mengacak rambutnya frustasi. 

         Gera yang melihat itu semakin takut. Ia semakin terisak. "Maafkan aku, Roy. Dia hanya temanku. Aku tidak memiliki perasaan untuknya." Gera masih berusaha menjelaskan pada Roy.

Tatapan tajam melayang untuk Gera. "Tidak dengan dia, Gera. Aku bisa melihat caranya menatapmu. Dan jika kau ingin pergi kau bisa memberitahuku terlebih dahulu." Bentak Roy kasar. 

Plaaakkkk!!

         Pipi mulus itu sudah memerah karena tamparan keras dari Roy. Ia meringis menahan sakit. Pipinya terasa disobek-sobek. Panas dan sakit yang bercampur. 

"Hentikan, Roy. Kau menyakitiku!" Gera merintih memohon kepada Roy. 

Buugghhh... 

"Aawwhh..." Tubuh Gera terdorong jauh saat Roy menendang keras bagian perutnya.  

"Kumo-hon.. Hen-tikan Roy!"Rintihan itu terdengar sangat menyayat hati. 

"Jangan membantahku, j*lang!" Hardik Roy murka. 

         Mendengar kata j*lang, Gera menelan isak tangisnya dan menatap tajam Roy. "Aku bukan j*lang, brengsek!" Gera meneriaki Roy sekeras kemampuannya. 

         Roy yang mendengar itu sedikit tersentak kaget. Namun, bukannya sadar dan membaik, Roy malah semakin naik pitam. Ia sangat benci dibantah.

"Kau memang j*lang, sialan! Mau disentuh sembarang orang." 

          Roy mendekati Gera, menjambak kasar rambut hitam legam itu. Tepat pada luka yang sudah Dinda torehkan kemarin. Hal itu membuat Gera menjerit kesakitan. 

"Saaa-kiitt... Hikkss.. Hiksss... Kau menyiksaku, Roy. Hentikan! Kumohon!" Suara Gera terbata-bata. Ia sudah tak bisa membedakan rasa sakit dan lelah sekarang.  

"Aku belum puas! Dan akan kulakukan sampai aku puas!" Bentak Roy tepat di sebelah telinga Gera.  Membuat Gera memejamkan matanya.

            Isak tangis memenuhi segala penjulu ruangan. Terdengar pedih dan sangat menyayat. "Biadab kau, Roy! Kau tidak punya simpati sedikit pun. Stop it, Roy! Arrgghhhh!" 

"Kau bilang apa? Biadab?!"

Plaaakkkk!! Buugghhh!!  

"Bitch!" Roy terus saja menghujani pukulan, tamparan, dan umpatan untuk Gera. 

         Amarahnya sebanding dengan nafsu buasnya. Sikap asli Roy ketika menghadapi  amarahnya yang membuncah. Jika sudah marah, ia akan melakukan segalanya dengan membabi buta.

"Berhenti membantahku, sialan! Kau sudah babak belur. Jadi berhenti memancing emosiku! Bisa-bisa wajahmu hancur nanti." Geram Roy dengan wajahnya yang sudah memerah dan berkeringat dingin. 

         Dengan gerakan kilat Roy merobek pakaian Gera. Mengoyaknya lalu membuangnya sembarangan. Setelah itu dia membuka seluruh pakaiannya. 

"Aku akan memberimu kenikmatan sekarang. Diamlah! Dan jangan menangis!" Bentak Roy. 

Jleeebbbbb.... 

"Aww! Sakittth, Roy.." Cicit Gera saat Roy tiba-tiba memasukinya dengan paksa. 

         Milik Gera terasa panas dan terkoyak. Bagaimana tidak? Roy baru saja memaksakan penis besarnya untuk masuk tanpa permisi. 

"Sakitt, Roy.. Aawww!" 

"Mengerang saja, j*lang! Kau pantas mendapatkan ini." Sangat tidak berperasaan.  Kemaluan Gera bahkan sudah mengeluarkan banyak darah segar akibat terkoyak. 

         Tenaga Gera sudah terkikis habis karena menahan tangis dan sakit pada tubuhnya. Perlahan pandangannya mulai memudar, namun ia masih bisa melihat bibir Roy yang terus saja mengeluarkan umpatan. 

Hingga semuanya gelap..... 

***

         Devan mengeluarkan seringaian iblisnya. Membayangkan sebuah kekuasaan besar yang sebentar lagi akan ia pegang. 

"Roy, asistenmu boleh juga. Cantik dan pintar. Aku sangat suka senyum manisnya." Ujar Devan pada dirinya sendiri.      

"Tapi sayang, kau tak membiarkanku menyentuhnya lebih lama lagi. Sialan!"  

Braaakkk.... 

         Seringai itu berubah menjadi tatapan sedingin es. Meja kerjanya berantakan tak karuan karena amukannya. Matanya selegam malam, mengingat kilasan masa lalu yang kelam. Tangannya mengepal sempurna. Kokoh dan siap menghancurkan apapun yang menghalanginya. 

"Sebentar lagi, Roy. Kerja samanya akan segera terlaksana. Dan kita akan lihat apa yang terjadi setelahnya." 

          Tawa menggelegar memenuhi ruangan itu. Membuat siapa pun yang mendengarnya bergidik ngeri. 

***

         Betapa terkejutnya Luis saat melihat apa yang terjadi pada Gera. Roy memanggilnya untuk memanggil dokter, pada saat itulah ia melihat tubuh temannya yang terbujur di lantai dingin itu. 

'Ge, kasihan sekali kau. Aku tak tega melihatmu seperti ini.' Batin Luis. Badannya seakan tertarik magnet untuk kesana dan menolong Gera. Namun ia ingat, semua itu akan memperburuk keadaan saja. 

         Roy terlihat sangat kacau. Bingung apa yang harus ia lakukan. Bercak darah terlihat dimana-mana. Itu semua akibat ulah bengisnya. 

"Aarrgghhh!!" Teriaknya frustasi. 

"Luis, cepat panggil dokter! Aku tidak mau Gera kenapa-kenapa." Perintah Roy. 

"Maaf, Boss. Maaf atas kelancangan saya. Izinkan saya untuk memapah Nona Gera ke ranjang terlebih dahulu. Kasihan dia kedinginan seperti itu." Pinta Luis halus. 

Roy menatap tajam dirinya. "Cukup lakukan perintahku! Aku tahu apa yang harus aku lakukan, brengsek! Cepat panggil saja dokternya!" Bentak Roy. 

         Tetapi Luis sudah kebal akan suara-suara keras seperti itu. "Baik, Boss." 

'Kau memang bajingan, Roy! Kau psikopat!' Batin Luis. Ia segera meninggalkan ruangan itu.

         Luis berlari sekencang-kencangnya. Berharap segera membawa dokter. Kasihan temannya. Ia tak sanggup melihat itu semua lagi. Roy brengsek sudah menyiksa teman baiknya yang manis itu.  

"Bagaimana keadaannya, dokter?" Tanya Roy tak sabar. 

"Maaf, Tuan. Mungkin ketika sadar nanti, Nona Gera akan sedikit mengalami trauma. Jadi tolong diusahakan untuk tidak menunjukkan tindak kekerasan. Terlebih pada dirinya." 

         Mendengar itu, seakan Roy tertampar keras. Menyadari tindakan kejamnya pada Gera. Ia terdiam mendengar penjelasan si dokter. 

"Lukanya cukup parah, tapi akan segera membaik. Hanya saja, perhatikan kepalanya. Disana ada luka memar yang belum sembuh total. Tapi sepertinya mengeluarkan darah lagi." 

         Roy mengingat dirinya sudah menjambak Gera. Tetapi tidak keras, masih dalam batas wajar dan tidak akan berakibat fatal seperti ini. Pasti ada yang tidak beres!

"Luis, tolong kau saja yang menebus obat Gera. Aku ingin menunggunya disini." Titah Roy. 

         Terlebih Luis, pikirannya kacau saat mendengar apa yang dokter katakan tentang kondisi Gera. Namun ia menepis sementara pikiran itu dan segera berlalu pergi untuk mengambilkan Gera obat. 

         Setelah kepergian Luis, tersisa Roy yang menunggu Gera sadar. Ia termenung menatap wajah anggun yang kini banyak dihiasi memar. Ujung bibir indah itu masih bersisa bercak darah.

"Maafkan aku, Ge. Aku menyesal." Lirih Roy. Bulir air menetes begitu saja di pipi gagahnya. 

         Sudah enam jam lamanya Gera terlelap. Belum juga siuman. Roy sangat menyesal dan hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri. Ia pukul kepalanya sendiri dengan keras. Sial! 

"Roy, kau benar-benar bengis! Kau tidak punya hati nurani, brengsek!" Ujarnya pada diri sendiri. Ia acak rambutnya frustasi. 

         Luis hanya terpaku melihat Gera. Dia ingin sekali menonjok hidung sempurna Roy dengan kekuatan penuh, tapi itu hanyalah hayalan saja. 

"Eeeuunngghh..." Erang Gera, membuat Roy dan Luis refleks menatap ke arahnya. Beberapa organ tubuhnya bergerak. 

         Betapa senangnya Roy karena Gera akan segera siuman. Ia tak sabar untuk meminta maaf dan segera memeluk wanita yang sangat ia kasihi ini. 

"Ge, Gera... Aku disini, sayang. Bangunlah. Aku sudah lama menunggumu." Ujar Roy sembari menggoyang tubuh Gera lembut. 

"Luis, Gera akan segera bangun, Luis!" Ujar Roy antusias. Luis mengangguk ikut senang melihat kondisi Gera. 

         Tubuh Gera mulai menggeliat. Matanya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Menyesuaikan cahaya yang masuk.  

"Ge, aku disini. Akhirnya kau bangun juga, sayang!" Ekspresi bahagia tidak bisa Roy sembunyikan lagi.

          Melihat Roy, Gera menyeret tubuhnya semakin ke belakang mendekati kepala ranjang. Tatapannya mulai berkaca-kaca. Senyuman itu hilang dari wajah Roy saat ia menyadari betapa tajam tatapan wanita cantik itu untuknya. Terlihat penuh ketakutan dan amarah. 

"Pergi kau, brengsek! Jangan mendekatiku!" Gera menjerit-jerit keras melihat Roy.

"Ge, ini aku, Roy." Ujar Roy mendekati Gera. Mencoba menyentuhnya. 

"Jangan menyentuhku! Biadab kau! Kau menjijikkan!" Umpat Gera sambil menunjuk-nunjuk ke arah Roy. 

        Roy merasa tertampar melihat sikap Gera padanya. Ia sangat menyesal akan semua yang ia lakukan sebelumnya. Dirinya sudah sangat keterlaluan pada Gera. Masih pantaskah ia untuk Gera? Bahkan untuk sekedar berbicara? 

          

***Bersambung

2 Comments