Suamiku Perkasa. Bab 69

Novel suamiku perkasa


 "Baiklah. Aku akan pulang bersamamu. Aku akan ke kamar dulu." Pamit Gera. 

Ia mencari ponselnya. Dan Untung saja Roy menaruhnya di atas meja dekat ranjang. Ia harus menelpon Luisa sekarang. 

"Luisa. Maafkan aku, tadi malam ada masalah. Makanya aku tidak pulang." Gera sudah tahu Luisa akan ngamuk karena dirinya tak bisa dihubungi. 

"Akan ku ceritakan nanti. Tapi sekarang aku membutuhkan bantuanmu." Pinta Gera. 

"Tolong, bawa triplets pergi dari sana. Beritahu saja mereka aku baik-baik saja dan masih bekerja. Nanti akan kususul. Roy akan mengantarku pulang ke rumah Papa. Cepatlah." Pinta Gera gugup. Hanya itu yang bisa ia lakukan. 

Gera terkejut bukan main ketika pintu tiba-tiba terbuka dan menampakkan Roy di sana. "Kau menelpon siapa? Terlihat sangat cemas."  Tanya Roy dengan wajah menyelidik. 

Gera menggeleng gugup. "Bu-bukan siapa-siapa, Roy. Hanya rekan kantorku yang mengatakan bahwa mereka sangat khawatir padaku." Jawabnya berbohong. 

Roy mengangguk-ngangguk mengerti. Ia segera memberikan Gera sebuah dress selutut namun tidak terbuka. Ia tidak mau orang-orang melihat tubuh wanitanya. Ia saja mati-matian menahan nafsu ketika mengganti pakaian Gera tadi malam.

"Kau sudah siap?!" Tanya Roy. Gera mengangguk dan tersenyum manis. 

"Aku mencintaimu." Bisik Roy lembut. Sebelum keluar, ia memeluk erat tubuh Gera. Dan mencium lembut keningnya. 


 Saat sampai di lantai bawah, ternyata Luis sudah menunggu. "Berangkat duluan dan bawa dia." Titah Roy. 

"Dia siapa, Roy?" Tanya Gera penasaran. 

"Devan. Dia akan ikut bersama kita ke rumah Papa." Jawab Roy. Namun ia melihat ketakutan dalam mata Gera. 

"Jangan takut. Kau akan tahu setelah kita sampai rumah Papa. Kau bersamaku." Dengan lembut Roy merangkul pinggang Gera posesif. 

Dalam pikiran Gera sekarang hanyalah keberadaan triplets. Semoga saja Luisa sudah berhasil membawa triplets pergi jauh dari rumah Papanya. 

Beberapa jam perjalanan mereka sampai rumah David dan langsung disambut hangat oleh David. "Gera! Papa khawatir. Papa mengira kau terluka." Pria paruh baya itu memeluk Gera erat. Seperti tidak pernah ada pertemuan selama bertahun-tahun. 

"Pria ini yang hampir melecehkan Gera, Pa." Lapor Roy sambil memapah kasar Devan yang sudah lemas karena tembakan listrik. 

"Kamu?!" Seru David kaget melihat siapa yang dibawa oleh Roy. 

"Iya, Pa. Musuh Roy dan Papa yang sebenarnya. Tadi malam dia hampir melecehkan Gera, Pa. Di sana Roy berhasil menyekapnya." Tutur Roy. 

Mendengar itu membuat David semakin murka. Wajah tuanya memerah dengan mata melotot. "Cepat, bawa dia ke ruang belakang!" Perintah David menyuruh anak buahnya. 

"Roy, bawa Gera menuju kamarnya. Dia terlihat masih lemah. Kau temanilah dia. Biar bajingan itu menjadi urusan Papa. Papa sudah sangat lama menanti kehadirannya." Suruh David lembut walau dalam hatinya juga sedang berapi. 

Gera bernapas lega karena di sini sudah tidak ada triplets. Itu berarti Luisa sudah berhasil membawanya. Kini ia harus mengatasi kegugupannya karena Roy tak pernah lepas darinya. Mereka lengket terlebih saat ini kondisi Gera sedang tidak baik. 

"Kau bisa pergi. Aku akan istirahat." Celetuk Gera mengundang pandangan Roy. Gera berbicara dengan memalingkan wajah. Ia tak sanggup menatap pria yang sudah membuatnya jatuh ini. 

"Tidak. Aku akan tetap di sini bersamamu." Bantah Roy tak peduli. 

"Kau keras kepala!" Segah Gera.

"Kau yang keras kepala!" Balas Roy tak mau kalah. 

Gera malas sekali meladeni orang gila seperti Roy. Ia membelakangi Roy lalu menutup diri dengan selimut besarnya. "Kenapa kau bersembunyi?" Panggil Roy. 

"Aku malu!" Jerit Gera seperti anak kecil. 


"Kau malu padaku?! Astaga! Bahkan aku sudah melihat seluruh tubuhmu, sayang!" Balas Roy. 

Tak ada balasan dari Gera, Roy mulai jengah dan menyingkap selimut besar yang menutupi tubuh Gera itu. Gera terkesiap mendapati Roy yang sudah tepat di depan wajahnya. "Kau tak akan bisa lari sekarang!" 

"A-apa maksudmu, Roy?" Tanya Gera terbata-bata. 

Seringaian nakal dari Roy membuat Gera semakin gugup. Ia benar-benar tak tahu kemana pikiran pria yang pernah hidup dengan hati sedingin es ini. 

"Aku sudah lelah menunggumu selama ini, sayang. Dan kau tahu, aku merindukan rumahku." Kata Roy ambigu. Gera semakin dibuat bingung. 

"Aku merindukanmu." Ungkap Roy. Ia semakin menepis jarak antara dirinya dengan Gera. Tangannya mulai melingkar di pinggang langsing Gera. Wanita itu benar-benar tak bisa berkutik. Seakan-akan ia membeku. Ia tak bisa memberontak. Sebaliknya, ia mulai menikmati permainan Roy. 

Wajah Roy sudah tak berjarak sekarang. Bahkan hidung mereka sudah bersentuhan. Bibir Roy meraup bibir ranum Gera. Melumat lembut bibir itu hingga membuat pemiliknya ikut terbuai. Gera membalas lumatan Roy. 

"Aku tahu, kau juga pasti merindukanku." Ujar Roy membuat Gera menunduk malu. 

"Sudahlah!" Gera membalik badan. Namun tangan Roy tak bisa diam. Mulai meraba-raba ke bagian depan atas. Rumah yang sangat ia rindukan kini sudah bersamanya. Tinggal mengisi agar tak ada jarak dan kekosongan antara mereka lagi. 

"Eeunngg.." Erang Gera saat tangan Roy mulai menjamah lembut gunung kembar itu. Mendengar erangan Gera, nafsu Roy seketika membuncah. Birahi yang sudah tertahan selama bertahun-tahun harus ia tuntaskan sekarang. 

"Lihat aku!" Entah perasaan darimana, Gera menurut saja dan berbalik. 

Roy melumat  bibir Gera lagi. Semakin lama semakin menuntut. "Maafkan kesalahanku selama ini." Bisik Roy sembari bermain bersama tubuh Gera. Gera mengangguk di bawah pengaruh nafsunya. 

"Akhh..." Erang Gera saat tangan Roy mulai menelusup masuk ke balik celana dalam Gera. Itu membuat nafsunya semakin melonjak. 

"Mengeranglah, sayang! Aku merindukan itu!" Pinta Roy berbisik. 

Lenguhan juga erangan Gera terus saja lolos tanpa terhambat. Ia benar-benar mabuk karena sentuhan lembut Roy pada tubuhnya. Hal itu membuatnya ingin disentuh lagi dan lagi. 


"Roy... Hentikan! Aku bisa gila jika seperti ini terus!" Seru Gera berusaha menghentikan kegiatan intim ini. Namun Roy tak mau mendengarkan Gera dan malah semakin menggila. 

 Permainan ini semakin panas dan membuat Gera sedikit demi sedikit ikut terbuai dan membalas setiap sentuhan Roy. Namun ia tak mau seperti ini. Ia merasa ia harus menghentikan semua ini dengan cara apapun.

"Roy! Aku mohon hentikan ini!" Pekik Gera dengan napas tersengal. Namun tak ada respon baik dari Roy. Ia semakin menggila. 

"Roy!" 

"Jika kau meneruskan semua ini, aku tidak akan mau mengenalmu lagi!" Roy menghentikan kegiatannya dan menatap Gera dengan mata satunya yang penuh akan nafsu. Namun tak lama kemudian ia melanjutkan lagi aksi panasnya itu. 

"Aku berjanji akan memberimu kesempatan dan aku akan lebih terbuka kepadamu." Jerit Gera seraya menahan rangsangan yang begitu memabukkan dirinya. 

Roy mengangkat lagi wajahnya dan menatap Gera dalam. "Apa kau yakin dengan ucapanmu?" Tanya Roy. 

Gera mengangguk dengan senyum tipisnya. "Tentu saja. Kita bisa memperbaiki semuanya. Tetapi tidak seperti ini. Aku tidak suka." Jawab Gera berterus terang. 

"Tapi aku tidak tahan dengan semua ini, Ge. Aku sudah menunggumu selama bertahun-tahun dan memukul beban nafsu selama itu juga." Gera terenyuh mendengar penuturan Roy ini. Pria ini sangat berterus terang. 

"Baiklah. Semua bisa diselesaikan, termasuk milikmu yang meronta ingin dipuaskan. Tetapi perbaiki semuanya, Roy. Jika kau bisa, setelah itu mati kita mulai dari awal." Kata Gera berusaha meyakinkan Roy. Tak ada salahnya jika ia bisa memberikan kesempatan untuk Roy. Ia juga sudah lelah membohongi triplets akan siapa Papa mereka. 

Roy tersenyum. Yang gilanya bisa membuat Gera terpesona jika tidak menahan dirinya sendiri. 

"Kau mau menerimaku?" Tanya Roy. Gera mengangguk. "Karena aku juga merindukanmu yang dingin seperti es itu." Ujar Gera gemas. Ia sudah tak bisa menyembunyikan kerinduannya lagi sekarang. 

"Pergilah! Selesaikan urusanmu dengan Papa! Aku ingin mandi dan istirahat." Suruh Gera. Roy mengangguk antusias. Sebelum keluar, ia melumat bibir Gera lembut dan sedikit lama. 

Selepas kepergian Roy dari kamarnya, Gera jingkrak-jingkrak kegirangan. Entah karena apa, ia sangat senang bisa seperti ini dengan Roy. 


"Tunggu sebentar lagi, kids! Kalian akan bertemu dengan Papa." Gumam Gera seakan berbicara dengan ketiga putranya. 


***

Beberapa saat dikepung di rumah David, Devan akhirnya tersadar juga. Ia melihat David dengan senyum yang menghiasi bibirnya yang sudah dipenuhi darah. 

"Jadi kau Papanya Gera?" Tanya Devan terkekeh. 

"Bolehkah aku meniduri putrimu, Pak?" Tanya Devan lagi dengan sengaja bersikap sopan namun kurang ajar. 

Tangan David mengepal keras. Ia sangat keberatan mendengar putri kesayangannya dilecehkan oleh pria brengsek seperti Devan. "Just shut up your fucking mouth, assh!" Jawab David menggeram.


Tawa Devan pecah dan memenuhi ruangan. "Kau keberatan? Anakmu memang j*lang!" Olok Devan lagi. 

Plaaakkk!!!! 

Kali ini David tidak bisa diam. Berhasil menampar Devan, ia juga menonjok perut pria itu hingga memuntahkan darah segar. "Kau kira aku akan memberimu belas kasihan? Sekalipun aku sudah bau tanah, aku tidak akan bisa mengampuni bajingan seperti dirimu, setan!" Bentak David kasar.

"Dan sekalian, kau juga harus menanggung beban dosa keluargamu. F*CK!" David mengumpat marah dan meludahi wajah Devan jijik. 

Roy datang dan memberikan solusi terbaik menurut dirinya. Ia memberitahu kepada David bahwa lebih baik mereka menjebloskan Devan ke penjara saja. 


"Kenapa tidak membiarkan dia membusuk saja di sini?" Tanya David masih dengan emosinya yang tersulut. 

"Pa, Roy juga ingin melakukan itu mengingat kelakuannya pada Gera tadi malam. Tetapi ingatlah, di sini masih ada Gera. Dan Papa harus tahu, dia benci pembunuh. Roy tidak mau Papa kena imbasnya nanti." Tutur Roy. 

David nampak berpikir keras. Ia membenarkan perkataan Roy. Itu akan lebih baik, agar mereka juga tidak menambah riwayat kejahatan. David teringat akan cucu-cucunya, ia tak mau mereka melihat ini semua. 

Mereka menyerahkan masalah ini pada Luis. Baik David maupun Roy, keduanya memiliki kesibukan masing-masing yang tak bisa ditinggalkan. 

"Pa, Roy dimana?" Tanya Gera saat turun dari kamar. 


"Roy sudah pulang, Ge. Dia ada rapat penting. Telpon Luisa dan suruh triplets pulang. Papa sudah merindukan mereka." Suruh David. 

"Iya, Pa. Gera juga sangat merindukan mereka." Tutur Gera. 

Lama David terdiam merenung sembari melihat dalam anak semata wayangnya. Gadisnya sudah dewasa dan semakin mirip dengan mendiang Mamanya. Sifat keibuan yang sangat kental dalam diri Gera membuat David bangga. 

"Ge, sampai kapan kamu akan menyembunyikan triplets dari Roy?" Celetuk David. 

Uhukk... Uhuk....

Gera tersedak mendengar pertanyaan David. "Maafkan Gera, Pa. Secepatnya. Hanya saja Gera membutuhkan bukti kalau Roy sudah benar-benar sudah berubah sepenuhnya." Balas Gera. 

"Papa berani menjamin bahwa Roy sudah berubah, Ge. Jangan egois! Pikirkan triplets juga. Apa kau tak bosan membohongi mereka selama ini? Jika kau terus berbohong, ketika mereka tahu yang sebenarnya, mereka akan tumbuh dan membencimu. Pikirkan itu!" Tegur David tegas. Ia beranjak meninggalkan Gera sendirian. 

Benar juga yang dikatakan Papanya. Ia harus segera mengatakan yang sebenarnya. Termasuk memperbaiki hubungan dengan Roy. Iya! Gera harus berterus terang secepatnya! 

0 Comments