Suamiku Perkasa. Bab 33

 



"Apa yang ingin kau beritahu padaku, Clay?" Tanya Gera saat mereka makan siang.

Clay memicingkan mata menatap Gera. "Beeuh, sepertinya ada yang semangat banget hari ini. Udah dapet asupan, Bun?" Goda Clay membuat Gera tersipu malu. 

"Clay, ayolah. Jangan menggodaku! Cepat katakan apa yang ingin kau beritahu. Waktu kita mepet loh ini." Desak Gera sekaligus mengalihkan pembicaraan. 

"Oke.. Jangan marah.."

"Ge, ini tentang Dinda. Dan kamu nggak akan percaya dengan apa yang akan aku ceritain sekarang." Ujar Clay serius. 

Gera dibuat semakin penasaran. Refleks, ia  mendekatkan wajahnya kepada Clay. 

"Kemarin, dengan rasa penasaran yang sangat tinggi,  aku nekat ikutin Dinda waktu pulang kerja.

"Terus?" Tanya Gera semakin penasaran. 

"Dan ya Tuhan, dia ternyata main sihir-sihiran gitu.. Aku inget betul cerita kamu waktu dianiaya sama Dinda waktu itu, kamu bilang nggak bisa ngelawan atau pun berontak sedikit pun,  kan?" Tanya Clay dengan wajah yang super duper serius. 

        Gera mengangguk heboh. "Iya aku inget, Clay."

"Dan satu lagi, Roy juga pernah dijampi-jampi sama dia, Ge! Waktu itu Roy hampir diperkosa sama Dinda. Untung saja Luis cepat datang. Parah sih dia. Maniak banget!" 

"Astaga Tuhan! Kok bisa ya kayak gitu?" Tanya Gera terheran-heran. 

"Heeh.. Aku juga bingung kenapa bisa sampai seperti itu. Zaman sudah modern kok wanita milenial masih pakai dukun sih. Bahaya ini kalau kita ngelawan." Tutur Clay diangguki Gera. 

 Perbincangan serius mereka berlanjut seru. Tetapi Gera ingat satu hal yang harus ia tanyakan pada Clay. 

"Eh, Clay! Ada yang mau aku tanyain ke kamu." Ujar Gera. Clay memberi isyarat pada era untuk melanjutkan pembicaraannya. 

"Hmm, kenapa kamu berani banget sama Roy? Kayak nggak ada takut-takutnya gitu. Dan kamu satu-satunya karyawan dia yang seperti itu." Tanya Gera. 

Clay tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Gera. "Ge, kamu mau tahu satu rahasia besar?" Sontak saja Gera mengangguk antusias. 

"Roy itu sepupuku! Dan namaku itu Clayrien Agatha Swara. Itu rahasia besar, ya Ge! Kamu nggak boleh cerita ke orang lain. Aku sengaja sembunyikan identitasku dan bekerja pada Roy. Aku benci banget popularitas seperti keluargaku yang lain." Tutur Clay bercerita. 

Mendengar penuturan Clay, tentu saja Gera terlonjak kaget. 

'Kita sama, Clay.' Batin Gera. 

Mana mungkin Gera menceritakan semua kenyataan tentang identitasnya. Satu pun tak ada yang boleh tahu itu.

"Kecuali Luis. Dia tahu semuanya karena dia bekerja untuk keluarga kami dulu." Tambah Clay lagi. Gera mengangguk-ngangguk tak tahu harus berkata apa. 

Puas berbincang, mereka memilih kembali ke kantor. Waktu istirahat sepuluh menit lagi. Jika terlambat sampai kantor, bisa-bisa kena amuk Roy. 

"Kau pergi kemana saja, Ge?" Tegur Roy dingin. Tatapannya fokus ke layar komputer.

"Kan Clay sudah bilang, mau makan siang diluar. Bukankah sudah jelas?" Balas Gera. 

"Kau makan di China sampai selama itu?" Tanya Roy dengan tatapan dinginnya. 

Gera menghela napas berat. "Astaga, Roy! Ini on time loh aku sampai kantor. Sesuai aturan kantor. Kamu bilang kelamaan." 

"Aku selsesai makan 15 menit yang lalu kok. Nggak selama kamu." Elak Roy. 

'Pria ini benar-benar tak mau kalah. Menyebalkan!' Batin Gera sambil mengerucutkan bibirnya. 

"Baiklah. Aku salah." Jika tidak mengalah, bisa berbuntut panjang nanti. 

Gera lebih memilih melanjutkan pekerjaannya daripada harus memancing emosi Roy lebih dalam lagi. Bisa fatal akibatnya. 

***

Hari ini Gera pulang kerja sendiri. Roy masih ada pekerjaan tambahan. Sedangkan Luis, ia izin cuti dua hari untuk urusan keluarga. 

"Akhirnya bisa ngerasain angin bebas lagi. Hmmm.." Gera berseru senang. 

 Ia bahagia bisa merasa bebas lagi. Sejak mengenal Roy, ia merasa dikungkung erat. Kemana-mana tak boleh. Bahkan untuk sekedar pulang sendiri pun tak boleh. 

"Wah.. Permaisuri pulang sendiri nih.." Gera terkejut saat seseorang memegang pundaknya erat. 

Saat berbalik, Gera sangat terkejut. Mana di tempat ini sepi lagi. Astaga! 

"Kenapa? Kaget?" Tanyanya kepada Gera. 

"Din-Dinda?! Nggak.. Biasa aja."Jawab Gera berusaha menelan keterkejutannya. 

Dinda menyeringai melihat Gera. "Bagaimana keadaan si Boss perkasa? Waahh,, tubuhmu menjadi semakin berisi. Pasti kau sangat puas dengan pelayanan dari Roy." Sindirnya.

 Gera memilih untuk diam dan tak menyahuti perkataan pedas Dinda. Dalam hatinya, ia memohon agar segera mendapat tumpangan. Tumben sekali sore ini tak ada angkutan umum yang melintas. Aneh. 

"Geraaaaa... Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu." Bisik Dinda membuat telinga Gera panas. 

"Dinda, aku kira kita sudah tidak ada urusan lagi. Jadi aku mohon dengan segala hormat, jangan ganggu aku!" Ujar Gera dengan halus. Ia masih mempertahankan egonya.

Dinda terkekeh, Gera masih bisa mendengarnya. Pelan, Gera bisa merasakan ujung rambutnya seperti disentuh. 

"Aww!" Gera menjerit. Rambutnya dijambak oleh Dinda. 

"Din, lepas! Ini sakit!" Seru Gera. Ia terus menerus meringis. Kulit kepalanya terasa seakan ingin terlepas. 

"Kau menyakitiku, Dinda! Lepaskan!" Pinta Gera lagi. Namun tak diindahkan oleh Dinda. 

"Baru segini kau bilang sakit? Lemah sekali. Bagaimana jika di ranjang. Roy bodoh sudah lebih memilih kamu, Ge. Seharusnya aku yang ada di samping Roy, bukan kamu!" Bentak Dinda semakin menarik jambakannya. 

"Aww!  Lepas, Dinda. Lepaskan! Kau menyakitiku!" Gera menjerit sekeras-kerasnya. Ia merasakan kulit kepalanya begitu panas.  

"Tidak akan! Kau j*lang sialan sudah merebut Roy dariku! Wanita tak tahu malu! Bitch!" Umpat Dinda. Sekarang air mata sudah mengalir deras dari mata indah Gera. 

Gera tak bisa meraih tubuh Dinda untuk dibalas agar jambakannya terlepas. Ini sangat menyakitkan.  

"Hei! Apa yang kau lakukan?! Lepaskan dia!" Seorang pria meneriaki Dinda. 

"Jangan ikut campur!  Siapa dirimu berani sekali memberiku perintah?! Pergi kau, sialan!" Ujar Dinda berteriak. 

"Dia temanku! Lepaskan tanganmu!" Pria itu berusaha membantu melepas tangan Dinda yang erat menjambak rambut Gera.  

"Sialan! Awas kau!" Teriak Dinda dan berlalu begitu saja meninggalkan Gera dan pria itu. 

"Te-terima kasih sudah menolongku." Kata Gera sembari merapikan rambutnya. 

Gera berbalik ingin memberikan senyuman pada orang yang sudah membantunya. "Alvin! Kau-"

"Iya, Ge. Ini aku Alvin. Siapa dia sudah berani menjambakmu? Aku tak menyangka kau bahkan sekarang mempunyai musuh." Goda Alvin. 

"Tidak, Alvin. Hanya kesalah pahaman saja. Tapi dia tidak terima." Jawab Gera. 

"Apa masalah pekerjaan?" Tanya Alvin penasaran. 

"C'mon, Alvin!  Kurasa kau masih jadi seorang laki-laki. Dan kukira kau tak perlu tahu detail masalahku dengan wanita itu." Kekeh Gera membuat Alvin menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Gera tersenyum kikuk. Tidak mungkin Gera mengatakan alasan yang sebenarnya.  'Kami memperebutkan sebuah penis besar dan berotot.' Oh no! 

"Baiklah.. Wow! Setelah sekian tahun kita baru bertemu lagi sekarang. Apa aku boleh mengajakmu makan malam? Sekedar bernostalgia masa SMA." Ajak Alvin. 

"Tentu boleh, Alvin! Bagaimana bisa aku menolak ajakan temanku."

Akhirnya Gera diantar pulang oleh Alvin. Tak lupa mereka bertukar alamat dan juga nomor ponsel agar mudah bertemu besok. Gera tak sabar ingin bertukar cerita dengan Alvin. Sudah lama sekali. 

***

"Apa wanita itu tak menganggumu lagi?" Tanya Alvin saat mereka dalam perjalanan pergi. 

Gera menggeleng. "Aku pulang tepat waktu tadi. Jadi tidak ada yang menggangguku." Ujar Gera ceria. 

 Alvin benar-benar kagum dengan wanita yang satu ini. Dari zaman sekolah sampai sekarang, semangatnya luar biasa. Dia masih ceria seperti biasanya. 

"Kau sangat semangat, Gera." Ujar Alvin senang. 

"Tentu saja. Aku tak sabar ingin bertukar cerita denganmu." Kata Gera mengangguk girang. 

"Baiklah! Lets do that, Ge!" 

Sepanjang perjalanan mereka bersenda gurau. Mengingat kisah lama yang akan segera mereka ungkit kembali. 

"Bagaimana asmaramu sekarang? Apa masih bersama Adit?" Tanya Alvin. Mendengar nama itu membuat Gera lemas tak berselera. 

Gera menggeleng lemah. "Tidak. Sudah lumayan lama berhenti." 

"What?! Kenapa, Ge? Aku kira kalian baik-baik saja." Ujar Alvin.

Gera nampak ragu. Tetapi ia ingin sekali mengeluarkan cerita itu untuk didengar oleh Alvin. Ia lelah memendamnya sendiri. Dan mungkin ini saatnya ia berbagi. 

"Adit selingkuh. Dan aku mergokin dia melakukan hal menjijikkan." Tutur Gera. 

"Tunggu, maksud kamu, dia meniduri wanita lain?" Tanya Alvin semakin penasaran. 

Gera mengangguk. "Ya. Aku hancur saat melihat bagaimana dia bersatu dengan Andin. Penuh peluh dan erangan." Air mata lolos dari mata Gera. 

"Andin?  Teman baik kamu dulu?" Tanya Alvin lagi. 

Gera mengangguk. "F*ck! Bajingan si Adit. Kamu jangan nangis, Ge. Kamu sudah mengambil keputusan yang sangat tepat dengan meninggalkan dia." 

Gera sekali lagi mengangguk lemas. "Tak usah sedih. Aku yakin akan ada pria yang jauh lebih baik dari dia. Bersabarlah, Gera." Alvin menghapus jejak air mata yang ada di pipi Gera. 

"Tak apa, Alvin. Aku baik-baik saja. Dengan bekerja aku bisa melupakan semuanya begitu saja." 

Kesenangan yang Gera dapatkan dengan bertemu teman lamanya menjadi hiburan yang sangat hebat untuknya. Namun ia lupa akan siapa yang ia hadapi setelah ini.  

***

"Gera kemana?! Dia tidak ada di rumah. Terlebih dia tidak memberitahuku kemana ia pergi. Sialan!" Roy murka karena tidak menemukan Gera di rumahnya.  

Dengan emosi yang sudah menggebu, ia menelpon Luis. 

"Luis! Kapan kau akan pulang?! Gera menghilang lagi dan tidak memberitahuku!" Bentak Roy. 

"Maaf, Boss. Saya sedang dalam perjalanan kembali." Ujar Luis sopan. 

"Jangan emosi dulu, Boss. Saya sudah antisipasi dengan apa yanh terjadi sebelumnya. Anda bisa melihat dimana Nona Gera melalui GPS. " Tambah Luis. 

Roy memutus sambungan sepihak. Ia segera membuka GPS dan menemukan dimana tepatnya Gera sekarang. Segera ia tancap gas kesana. 

Sampai di restorant itu, Roy tak mau mengambil tingkah ceroboh. Mengingat siapa dirinya, tak mungkin ia merusak reputasinya sendiri dengan cara mengacau di tempat ini. 

"Damn! Ternyata kau sedang bertemu dengan seorang pria, Gera." Roy menggeram kesal melihat Gera yang saat ini bersama Alvin. 


0 Comments