Suamiku Perkasa. Bab 71

Novel suamiku perkasa


 Sebelum berterus terang, Gera menghembuskan napasnya pelan. Membuang semua beban yang selama ini ia pikul. 

"Roy, pertama, aku mohon maafkan aku. Aku sudah menghilang dan berpikir buruk tentangmu. Aku tidak tahu selama ini kau mencariku. Karena yang aku pikirkan hanyalah bagaimana agar aku bisa jauh darimu. Tapi aku munafik, aku tidak bisa tidak merindukan dirimu." Air mata lagi-lagi keluar begitu saja. Segera Gera menyeka dengan kasar. 

"Aku tidak pernah menikah ataupun menjalin hubungan dengan siapapun. Jujur, aku masih mencintaimu seperti dulu. Hanya saja aku tidak mau kamu tahu kebenarannya." 

"Selama ini aku dan Luisa hidup luntang lantung hingga bertemu dengan Alvin, temanku yang dulu sempat kau ancam karena makan malam denganku." Gera terkekeh geli mengingat itu. David masih menunduk mendengarkan cerita putrinya. Ia sedih mendengar bagaimana kehidupan putrinya sebelum kembali ke rumah. 

Gera mengatur napas dan menghelanya pelan. "Alvin yang mengangkat ku sebagai karyawan di kantornya dan seiring berjalannya waktu, posisiku semakin naik dan akhirnya menduduki jabatan sebagai manager di sana. Dari sana aku bisa hidup cukup dan sederhana bersama Luisa dan anak-anak." 

"Dan triplets, mereka adalah..." Kalimat Gera gantung setiap ingin mengatakan ini. 

"Katakan saja, nak. Tidak apa-apa." Suruh David mengangguk. 

"Ray, Rio, dan Rico adalah anak kita, Roy. Aku melahirkan tiga orang putra ketika kamu membuangku dulu. Mereka yang menjadi pengingatku akan dirimu." Air mata Gera semakin deras dan membasahi wajahnya. 

Tak terasa air mata Roy menetes begitu saja. "Ray, dia yang paling mirip denganmu. Dingin dan sangat flat. Rio dan Rico, mereka sangat cerewet sepertiku. Tetapi mereka sangat cerdas, Roy. Dan aku sangat terkejut ketika melihat bagaimana bahagianya Ray saat bertemu denganmu. Selain itu, tidak akan pernah ada senyum di wajahnya." Tutur Gera terisak. Roy merengkuh tubuh Gera dan memeluknya erat. 

"Aku bahagia mendengar kebenarannya, sayang. Perasaanku pada triplets selama ini ternyata karena aku adalah Papa mereka. Aku sangat bersyukur, Gera. Dan terima kasih karena kau sudah melahirkan mereka untukku. Maafkan aku yang sudah tidak bertanggung jawab padamu dulu." 

Dua insan itu berpelukan erat dan menangis pecah. David ikut terharu melihat kebahagiaan putra putrinya. "Kalian berhak bahagia. Kalian berhak hidup bersama." Ujar David ikut memeluk mereka. 

"Berhentilah menangis, sayang. Jika anak-anak melihat kita menangis, bisa-bisa mereka ikut menangis nanti." Goda Roy. Ia menyeka air matanya sebelum membersihkan wajah Gera. 

"Tidak, Roy. Kau tidak tahu sekuat apa mereka. Mereka adalah anak-anak hebat. Aku bangga melahirkan mereka walaupun rasanya sangat menyakitkan saat itu. Aku berharap kau di sana dan mendengar tangis pertama mereka. Tapi itu tidak mungkin." Tutur Gera. Roy menangis lagi membayangkan bagaimana menggemaskannya putra-putranya saat itu. 

"Terima kasih atas perjuangan dan pengorbananmu selama ini, Ge. Kau wanita yang hebat, tetap seperti dulu." Puji Roy membuat Gera tersipu malu.

David menahan senyumnya. "Sudah... Sudah... Bermesraan ya nanti saja. Papa ingin menanyakan sesuatu pada Roy." Sela David menganggu.

"Tanyakan saja, Pa. Roy akan menjawabnya." Timpal Roy.

"Bagaimana bisa triplets memanggilmu Papa? Tidak mungkin itu terjadi tiba-tiba. Papa ingin mendengar cerita darimu." Suruh David. Roy tersenyum mengingat saat itu. 

Seolah-olah mengambil ancang-ancang, Roy mengatur napas sebelum bercerita. "Baiklah, Roy akan menceritakan semuanya." 

"Saat itu Ray, Rio, dan Rico sedang bermain pasir di pantai tempat pertama kali aku melihatmu, Ge. Di pantai tempat kamu mengamuk karena saat itu pacarmu mengkhianatimu. Hari dimana kamu memakai kebaya dan make up yang berantakan." Gera malu mendengar itu semua.

"Aku menghampiri mereka yang sedang asik dengan pasir putih itu. Ray tiba-tiba memintaku untuk mengizinkan mereka memanggilku dengan panggilan Papa. Perasaan dari mana, aku tak tahu. Aku setuju dan sangat nyaman dengan panggilan itu. Dan ketika mereka menghampiri Tante mereka, ada rasa berat ketika aku melihat mereka pergi." Roy menghapus air matanya lalu tersenyum melihat Gera. 

"Kau ingat malam dimana Devan hampir melecehkanmu?" Gera mengangguk. "Saat itu aku bersama mereka. Aku bertanya mereka datang bersama siapa, mereka berkata Mama. Aku mencari dimana sosok Mama mereka, tapi mereka berkata Mama sedang ada tugas. Mereka menemaniku hingga mereka mengantuk dan mengajak Tante mereka untuk pulang." Sekali lagi Roy menyeka kasar air matanya. 

Ia masih tidak menyangka bagaimana takdir bermain begitu apik. "Siapa yang mereka sebut Tante?" Tanya Roy penasaran. 

"Luisa. Saudara kembar Luis. Kau mengenalnya, Roy." Jawab Gera.

"Pantas saja dia tidak mau mendekatiku saat triplets menghampiriku di pesta itu. Dia hanya melihat dari jauh. Dan bodohnya aku, aku tidak mengenalinya karena dia memakai kacamata dan masker." Tutur Roy. 

Pembicaraan mereka berlanjut cukup lama. Pelukan Roy tak lepas sedetik pun. Senyuman Gera tak luput dari mata Roy. Tak henti-hentinya Roy membisikkan Gera, 'aku mencintaimu!'. Mereka membuat David salah tingkah. 

"Sebaiknya kalian meluapkan kerinduan di kamarmu saja, Ge. Papa malu sendiri menemani kalian seperti ini." Suruh David menahan senyumnya. Wajah tua itu memerah karena malu. 

"Roy tahu, Papa memang sangat mengerti kebutuhan Roy." Ujar Roy mengedipkan sebelah matanya. Giliran Gera yang salah tingkah dan memukul pelan dada bidang Roy.

Tak mau membuang kesempatan, Roy segera memboyong Gera menuju kamar atas. "Kau akan kuhabisi sekarang!" Bisik Roy membuat Gera bergidik. 

"Coba saja! Aku juga merindukanmu!" Balas Gera tak kalah genitnya. 

Mereka masuk kamar dan Roy menghempaskan tubuh Gera ke atas ranjang. Smirk nakal itu akhirnya terlihat lagi di wajah Roy. Gera tak bisa menyembunyikan perasaannya. 

"Roy, jangan sekarang. Anak-anak bisa datang kapan saja." Gera berusaha memperingati Roy. Namun pria itu menggeleng. "Tidak akan. Pintunya sudah kukunci. Lagipula Papa pasti sudah mengamankan mereka." 

"Roy, jangan keras kepala!" Kata Gera lagi. 

"Aku tidak keras kepala, sayang. Milikku yang sudah keras dan tak mau tidur kembali." Sontak saja Gera tersipu mendengar jawaban Roy. 


"Wah, wajahmu bersemu merah. Aku menyukai itu! Kau semakin membuatku terpesona." Goda Roy. 

Perlahan Roy mulai mencumbu Gera. Mulai dari lumayan di daerah bibir, lembut namun menuntut. Hingga beralih mengecup dan mengisap pelan leher jenjang Gera. 

"Kau terlihat semakin kacau, Roy!" Kata Gera sembari memainkan rambut Roy. 

"Kau yang membuatku kacau. Semenjak kau pergi, tidak ada yang mengurusku." Tutur Roy. 

"Eeuungghh..." Lenguhan Gera terdengar merdu di telinga Roy. Ini yang sangat ia rindukan. Ia semakin gencar mengisap leher Gera sehingga wanita itu mengeluarkan erangan dan lenguhan erotis. 

"Mengeranglah, sayang. Aku sangat merindukan suara seksimu." Bisik Roy sembari ia menjilat lembut daun telinga Gera. 

Tangan Roy juga tidak mau diam. Ia mulai meraba ke daerah bagian bawah. Mulai dari payudara yang ia hisap dan pijat pelan. 

Melihat respon wanitanya, Roy tanpa mau membuang waktu segera membuka pakaian dan melemparkannya ke sembarang arah. Ia sudah tidak bisa menahan lagi. 

"Pelan-pelan, Roy! Aku takut ..." Lirih Gera. 

Roy mengangguk dan segera membuka bagian paha Gera. Memperlihatkan bagian inti yang sangat Roy rindukan. Roy tidak bisa berbohong, sesekali ketika ia kesusahan memikirkan dimana Gera, ia juga terkadang mengingat bagaimana nikmatnya jepitan inti tubuh wanitanya itu. Namun hal itu tak mau membuatnya goyah dan tergoda oleh wanita lain. 

"Aku sudah sangat lama tidak melihatnya, Ge." Cicit Roy takjub. "Jangan diperhatikan terus, aku malu." Gumam Gera membuat Roy semakin senang menggodanya. 

***

Roy merebahkan diri di samping Gera sembari memeluk erat pinggang wanita itu dan menciumnya. "Aku lega sudah bisa menyalurkan nafsuku pada wanita yang aku cintai." Celetuk Roy. Gera hanya terkekeh geli mendengar penuturan pria yang menjadi tempatnya bersandar ini. 

"Tapi aku belum puas. Apa kau siap untuk ronde-ronde selanjutnya, Nona?" 

0 Comments