Suamiku Perkasa Bab 72

 

Novel suamiku perkasa


 Dua jam berlalu, mereka sudah melakukan sesi panas sebanyak lima ronde. "Kau benar-benar meluapkan semua bebanmu, Roy!" Celetuk Gera dengan napas tersengal. 

"Bagaimana bisa aku menahan diri, sayang? Kau begitu nikmat!" Goda Roy membuat Gera malu dan memukul pelan dadanya. 

Keduanya bercumbu mesra seperti anak remaja yang sedang kasmaran. Mereka melupakan semua hal bahkan anak-anak mereka. 

Tok... Tok... Tok... 

"Mama! Kami mau masuk!" Itu suara Ray yang memanggil. Gera kelimpungan karena dia dan Roy belum memakai pakaian barang sehelai benang pun. 


"Wait! Mama akan bukakan." Jawab Gera sedikit berteriak. 

"Apakah Papa ada di sana?" Giliran Rico yang bertanya. Namun Gera diam dan tetap fokus memakaikan Roy pakaiannya sementara orangnya tertidur pulas. 

"Sebentar! Tunggu Mama!" Seru Gera lagi. 

Merasa sudah bersih dan siap, Gera membuka pintu dan menyambut triplets yang berhamburan begitu saja melewati tubuh Gera. "Papa 

"Papa akan menemani kalian setelah dia bangun nanti. Bersabarlah!" Ujar Gera menenangkan anak-anaknya. 

Bukannya membuat mereka senang, triplets malah semakin menggerutu kesal karena Roy tertidur dan tidak menemani mereka. 

"Kenapa cemberut? Sudah tidak sayang Mama lagi? Atau kalian lebih sayang dengan Papa?" Goda Gera sembari berlutut di depan anak-anaknya. 

Ketiganya menggeleng keras. "Tentu saja tidak! Kalian sama. Kami menyayangi kalian dengan setara." Jawab Ray kilat. 

"Baiklah. Papa sedang kelelahan. Kalian bisa menunggunya di bawah. Kasihan kalau kalian mengganggunya. Jahat loh itu!" Gera berusaha meyakinkan triplets agar mereka mau turun dan tidak mengacau di sini. 

"Tapi Papa akan bermain bersama kami, bukan?" Tanya Rico dengan wajah murung. 

"Tentu saja! Tunggu dan bersabarlah!" Hibur Gera. Mereka tersenyum dan segera berlalu turun. 

Gera kembali menghampiri Roy. Menatap lama dan dalam pria itu. Ia tersipu malu mengingat kata-kata Roy yang tadi ia katakan pada Gera.


__flashback on__


Setelah percintaan panas yang mereka lakukan, Roy tak mau melepas pelukannya pada Gera. "Kau selamanya akan menjadi milikku, Ge." Klaimnya.

"Itu tidak akan terjadi jika kamu sendiri tidak berubah, Roy. Masa depan anak-anak ada di tangan kita. Dan aku sama sekali tidak mau melakukan apapun tanpa sesuatu yang jelas." Papar Gera tegas. 

Roy menghela napas pelan. "Kau bisa memantau perubahanku, Ge. Bahkan Papa sendiri yang mengatakan padamu juga. Aku tahu nasib triplets ada di tangan kita. Maka dari itu aku ingin lebih serius dari sekarang. Bahkan itu adalah niatku ketika aku masih belum juga menemukanmu." Tutur Roy. 


"Apa maksudmu, Roy?" Gera menatap bingung ke arah Roy. 

Roy tersenyum dan memeluk erat pinggang Gera. "Aku akan menikahimu secepatnya." 

Gera tertawa mendengar perkataan Roy. Pasalnya, setau dia Roy bukanlah orang yang suka akan komitmen. Roy memang orang yang serius, tapi akan bosan pada waktunya. 

"Aku tidak yakin kau bisa." Gera mengejek Roy. 

"Baiklah jika kau memang tidak mempercayaiku. Aku akan membuktikan semuanya padamu." Bantah Roy tegas. 

"Ingatlah dengan jelas, tidak lama lagi aku akan menikahimu di depan semua orang dan memberitahu publik bahwa triplets adalah anak biologisku." Kata Roy tegas. Ia ingin mematahkan olokan Gera padanya. 

"Kau akan menjadi istriku, sayang." Klaim Roy. 

__flashback off__

Gera tersenyum sendiri membayangkan itu semua. Seakan ribuan kunang-kunang mengerubungi perutnya dan menyala dalam dirinya. Ia berharap jika perkataan Roy adalah kebenaran yang akan segera terlaksana. 

"Aku benar-benar menunggu untuk itu, Roy. Aku ingin menjadi istrimu." Gumam Gera membisikkan Roy yang masih lelap tertidur. 

Karena hari sudah beranjak sore, Gera turun dan membantu Bi Iem memasak. Ia ingin memasak makanan yang disukai Roy dan triplets. 

"Mama, dimana Papa?!" Seru Rico merecokinya di dapur. 

"Rico, Papa masih tidur. Tunggu saja, nanti juga turun. Tolong menjauhlah! Mama sedang memasak. Jangan sampai minyak panas ini meletup dan mengenai tubuhmu." Ujar Gera panik. 

Dengan lesu Rico berlalu pergi. Ia sangat ingin bermain bersama Roy. "Aduh, anak Papa kenapa murung sekali?" Tatapan Rico langsung ceria dan berlari berhamburan memeluk Roy. 

"Rico ingin bermain dengan Papa." Seru Rico senang.

"Ayo kita bermain! Atau begini saja, kita ajak Mama jalan-jalan. Mau tidak?" Tanya Roy.

Seketika mata Rico berbinar ceria. "Kakak! Papa ajak kita jalan-jalan... Turunlah!" Seru Rico semangat. Tak menunggu lama mereka turun dengan terburu-buru. Roy yang melihatnya takut sendiri. 

"Hati-hati! Kalian bisa terjatuh jika seperti itu." Ujar Roy cemas. 

"Sudah pro, Pa." Roy tercengang mendengar jawaban anaknya. 

"Oke. Lain kali jangan seperti itu lagi! Panggil Mama dan suruh siap-siap!" Suruh Roy lembut. 

Ray berlari menuju dapur untuk mencari Mamanya. "Mama, Papa mengajak kita jalan-jalan. Mama bersiaplah!" Pinta Ray dengan raut wajah yang sangat senang. 

"Hm, Mama tidak bisa ikut. Mama harus masak untuk kalian. Pergi bersama Papa saja, ya?!" Tolak Gera lembut. 

"Yah... Tidak akan seru." Keluh Ray lemas. 

Gera menyetarakan tingginya dengan Ray. "Tak apa. Lain kali Mama akan ikut bersama kalian. Mama janji." 

"Baiklah. Nanti akan Ray sampaikan ke Papa." Ray berbalik dan pergi menghampiri Roy dengan semangatnya. 

Roy menyayangkan tolakan Gera yang tidak mau ikut bersama mereka. Ingin dibatalkan tapi kasihan anak-anak yang sudah sangat senang. Lagipula, pasti mereka jarang merasakan yang namanya jalan-jalan karena dulu Gera sibuk dengan pekerjaannya. 

"Papa akan mengajak kita kemana?" Tanya Rio mulai rewel.

"Kalian mau kemana?" Tanya Roy balik. 

"Maafkan kami, Pa. Kami hampir tidak pernah keluar untuk jalan-jalan, jadi tidak tahu harus kemana. Ray dan adik-adik hanya bermain di taman dekat rumah saja dulu." Tutur Ray membuat Roy merasa tertampar. Ini kesalahannya juga. Karena dirinya, Gera harus bekerja keras dan jarang memiliki waktu bersama triplets. Tapi dia sangat bersyukur karena anak-anaknya adalah anak-anak yang memiliki kecerdasan tidak biasa. Mereka sangat peka dan bisa mengerti keadaan sekitar. 

Karena bingung mau mengajak mereka kemana, Roy akhirnya memutuskan untuk membawa mereka bermain dan membeli es krim. Hati Roy terasa tentram melihat bagaimana cerianya triplets saat ini. 

"Apakah ada yang mau berkunjung ke rumah Papa?" Celetuk Roy tiba-tiba bertanya. 

Triplets berbalik dan kompak mengangguk. "Sekarang saja kita ke rumah Papa." Usul Rico. Dia sudah sangat penasaran dengan segala hal tentang Roy. 


***

 

Pagi ini Gera kembali bekerja seperti biasanya. Meninggalkan anak-anaknya bersama David, Papanya. Gera sudah memberitahu David bagaimana cara mengurus triplets jika Luisa tidak datang berkunjung. 

Siangnya ia berniat mengunjungi Roy dan mengajaknya makan siang. Kebetulan kantor tempatnya bekerja memang tidak jauh dari perusahaan milik Roy. 

"Kali saja bisa bertemu dengan Clay!" Gumam Gera dengan senyuman cerianya. Ia tak sabar bertemu dengan temannya itu. Rasanya sudah lumayan lama tidak bertemu. 

Karena sudah terbiasa, Gera asal membuka saja pintu ruangan Clay, alhasil dia berteriak ketika melihat apa yang terjadi di depannya. "Clay!" Pekik Gera. 

Gera langsung menutup matanya saat melihat apa yang Clay lakukan sekarang. Seorang laki-laki berdiri dengan setengah telanjang dan dibelakangi Clay yang sedang menunggu sembari mendesah erotis. 

"Astaga!" Gumam Gera. Dia gemetaran tak jelas karena melihat semua itu. Jantungnya berdegup kencang mendengar desahan erotis yang sangat kental terdengar di kepalanya. 

Karena merasa tak kuat berjalan, Gera terduduk lemas di depan ruangan Clay sembari mengatur napasnya yang masih memburu. Ia seka keringat dinginnya dengan kasar. "Apa yang Clay lakukan di sini, astaga! Aku bisa serangan jantung jika terkejut seperti ini." 

Tak berselang lama, Clay keluar dengan kondisi acak-acakan. "Astaga, Gera! Aku kira bukan kau! Aku merindukanmu!" Pekik Clay lalu memeluk Gera erat. 

"Apa yang kau lakukan di dalam?! Kau seakan tidak tahu dimana kau berada sekarang. Kau melakukan itu tanpa rasa malu dan takut." Seru Gera tak tahan. Ia gemas dengan teman baiknya ini. 

Gera semakin terkejut saat melihat  siapa yang keluar dari ruangan itu. "Luis?!" Yang dipanggil juga ikut terkejut. "Gera?!" 

"Kalian...." Kata Gera gantung. Clay mengangguk membuat Gera semakin bingung. 

"Ge, aku melakukan itu dengan kekasihku sendiri. Kau saja sering bercinta bersama Roy di ruangannya." Skakmat! Gera seakan tertampar akan bantahan Luis. 

"Sejak kapan?" Tanya Gera tak percaya. 

"Hampir satu tahun." Jawab Clay. Ia bergelayut manja dan disambut mesra oleh Luis. 

"Astaga! Aku ikut senang mendengarnya. Lalu kenapa kalian sangat berani melakukan itu di sini?" Gertak Gera. 

"Roy juga sudah tahu. Jadi itu sudah biasa. Tinggal menyuruh Ian untuk mematikan CCTV ruanganku saja." Gera melongo mendengar jawaban tak terduga dari Clay. Luis hanya tersenyum bangga mendengarnya. 

Mereka berbicara ria namun Gera ingat kalau dia harus mengajak Roy makan siang sekarang. "Aku harus pergi. Kalian ingatlah! Sebisa mungkin melakukan itu di rumah. Kau bisa memakai rumahku, Luis! Jangan di sini!" Peringat Gera dengan mata melotot. 

"Baik, sayangku!" Jawab Clay. 

 Dengan senyum lebar Gera tak sabar ingin bertemu dengan Roy. Ia percepat langkahnya dan sedikit berlari menuju ruangan orang yang sudah sangat ia rindukan. 

"Roy, aku akan mengajakmu makan siang. Apa kau sempat?" Tanya Gera. Ia sangat senang melihat ekspresi Roy yang terkejut atas kedatangannya. 

"Tentu saja, babe. Aku selesaikan ini dulu. Tunggulah di sofa." Suruh Roy. 

"No. Aku ingin memelukmu seperti ini." Tolak Gera. Ia berjalan menuju samping Roy dan memeluknya erat.

Diperlakukan seperti itu tentu saja membuat Roy sangat senang. "Aku sangat bahagia dengan perubahanmu yang semakin nakal. Menantang!" Goda Roy. Tentu saja Gera tergoda 

"Jangan menggodaku!" Erang Gera manja. 

"Kau yang menggodaku, sayang! Lihatlah! Bahkan milikku sampai menegang di sini." Tunjuk Roy ke arah sela celananya. Wajah Gera memerah malu. Roy tak bisa dikalahkan masalah menggoda.

Segera Gera melepaskan tangannya dan berlalu. Ia tak mau mengambil resiko besar jika terus menggoda Roy. "Sudahlah! Malu, ada Sinta di depan. Aku akan menunggumu di sofa." 

"Untuk apa malu? Dia bukan siapa-siapa. Kau harus tanggung jawab, Gera!" Tuntut Roy dengan smirk nakalnya. 

"Maaf, Roy. Tidak untuk sekarang. Aku malu." Tolak Gera. Ia memalingkan wajahnya tak mau menatap Roy. 

"Tidak menerima penolakan, Gera! Aku harus mendapatkannya. Kau yang memancingku duluan." Ini tanda bahaya untuk Gera. Waktu siang mereka akan terpotong jika ia menuruti kemauan Roy. Tetapi Roy sudah berjalan ke arahnya dan dengan wajah siap ia seakan menantang Gera untuk melayaninya. Apakah tak salah dan tak jadi masalah jika ia menolak Roy?

          

0 Comments