Arga. Bab 54-55

 

Penjara cinta sang taipan

Bab. 54

Luka di kaki Arga.


Di villa.


Tidur Bening terganggu saat mendengar kicau burung saling bersahutan memenuhi indera pendengarannya.


Gadis itu merasa asing dengan tempat tidurnya saat baru saja membuka mata, karena masih setengah sadar. Hingga ia berhasil mengingat bahwa ia telah berada di villa milik suaminya.


Bening melirik sisi sebelahnya yang ternyata masih nampak rapi. Ia yakin suaminya itu semalam tidak pulang.


Ke mana sebenarnya pria itu. Kenapa menghilang begitu saja. Bahkan mobilnya saja masih terparkir di depan villa. Apa dia tidak membawa mobil atau memakai mobil lain? Ah sudahlah memikirkannya membuat kepala Bening semakin pusing.


Hingga ia mendengar suara pintu kamarnya diketuk dari luar.


Tok tok tok!


Ceklekk-


"Selamat pagi Nona," sapa perempuan paruh baya yang baru saja mengetuk pintu kamarnya.


"Selamat pagi, Ibu siapa ya?!" tanya Bening bingung karena semalam ia tidak melihat wanita ini.


"Maaf saya lupa memperkenalkan diri saya. Saya Bik Sri istri dari Pak Karto. Saya yang bertugas memasak dan membersihkan villa ini," jelas wanita bernama Sri itu.


"Salam kenal Bik Sri, saya Bening." 


Gadis itu terlihat mengulurkan tangannya yang disambut oleh Bi Sri dengan senang hati. Namun wanita paruh baya itu terpaku karena Bening langsung mencium punggung tangannya.


Rasa sungkan dan tidak enak hati tiba-tiba muncul setelah mendapat perlakuan seperti ini dari sang majikan karena ia merasa tidak pantas.


"Maaf Nona, apa yang anda lakukan. Kenapa mencium tangan saya seperti tadi? Saya sungguh tidak pantas mendapatkannya," ucap Bik Sri tak enak hati.


"Bukankah sudah seharusnya kita bersikap hormat kepada orang yang lebih tua? Jadi sudah sewajarnya Bening bersikap seperti ini kepada Bibi," jawab Bening dengan senyum manisnya.


"Tapi Nona, manusia rendahan seperti saya tidak pantas-"


"Kita semua sama di hadapan Tuhan Bibi," potong Bening.


'Sungguh mulia hati Nona Bening. Tuan muda sangat beruntung bisa memperistrinya. Ternyata janji Tuhan itu memang nyata adanya. Orang baik akan berjodoh dengan orang baik karena jodoh adalah cerminan diri kita sendiri.'


"Iya Nona terima kasih. Anda sangat baik sekali. Sangat pantas mendampingi Tuan muda," ujar Bik Sri tulus.


Ngomong-ngomong tentang Tuan muda, Bening jadi teringat tentang keberadaan suaminya itu yang semalaman tidak pulang. Bening pun berinisiatif bertanya kepada wanita paruh baya itu. Mungkin wanita itu tahu, begitu pikirnya.


"Apa Bik Sri tahu ke mana suami saya pergi? Karena semalaman dia tidak pulang!" tanya Bening penuh harap.


"Tuan muda pasti pergi ke-" Belum sempat wanita paruh baya itu melanjutkan ucapannya suara Pak Karto sudah menginterupsi.


"Sri, cepat ajak Nona untuk sarapan!" titahnya. Seakan dia menyuruh sang istri untuk menyudahi pembicaraannya dengan Bening.


Bening yang merasa digantung dengan ucapan Bik Sri tadi tidak bisa lagi membendung rasa penasarannya. Namun, saat hendak bertanya Bik Sri malah mengalihkan pembicaraan mereka.


"Bik Sri tadi belum selesai menjawab pertanyaan saya loh!"


"Maaf Nona sebaiknya segera sarapan. Saya permisi dulu!" pamit wanita paruh baya itu seperti sedang terburu-buru. Namun Bening langsung menahan lengannya agar ia tidak bisa pergi kemana-mana.


"Jawab dulu pertanyaan saya, Bik!" desak Bening.


"Maaf saya tidak tahu Nona!"


"Tapi tadi Bibi bilang suami saya pergi ke-. Ke mana Bik?"


"Sekali lagi saya mohom maaf Nona, saya hanya salah bicara!" Bening mengerutkan kening nya seakan tak percaya dengan penjelasan wanita paruh baya itu namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.


"Baiklah saya akan turun sarapan nanti. Sekarang saya akan mandi dulu!" Akhirnya Bening mengalah walaupun rasa penasarannya masih belum menyurut.


"Baik Nona. Permisi!"


Bening hanya mengangguk sebentar sebelum kembali menutup pintu.


Beberapa menu sarapan sudah tersaji di atas meja makan berukuran besar itu. Namun sayang hanya Bening sendirian yang mendudukinya hingga ia merasa kesepian.


"Bik Sri boleh temani saya makan di sini?" pintahnya kepada sang pelayan.


"Maaf Nona, bukannya saya tidak bersedia tapi-"


"Udah nggak papa Bik!"


Bening pun berdiri dan menarik wanita paruh baya itu agar menduduki salah satu kursi di sebelah Bening.


"Tapi Nona-" Bik Sri masih berusaha menunjukkan penolakannya.


"Udah ya Bik. Makan yuk!"


Bik Sri pun mulai mengambil makanan untuknya dengan sedikit canggung.


"Makannya dikit amat Bik. Yang banyak donk!"


"Ini sudah lebih dari cukup Non!"


"Pak Karto mana Bik? Biar kita sarapan sama-sama!"


"Bapak sudah pergi ke kebun Non. Bapak juga sudah sarapan pagi-pagi tadi."


Bening dan Bik Sri sudah mengakhiri sarapannya saat suara teriakan Pak Karto terdengar dari ruang tamu.


"Sri tolong ambilkan obat, Tuan muda terluka!"


Mendengar teriakan itu Bening pun segera berlari ke tempat suaminya berada.


Bening histeris melihat luka robek yang cukup lebar di paha kiri Arga.


"Apa yang terjadi denganmu. Kenapa bisa terluka seperti ini?"


Gadis itu tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Walaupun selama ini hubungan-nya dengan sang suami layaknya kucing dan tikus. Namun, saat melihat lelaki itu kesakitan seperti ini membuat Bening tak tega.


Bik Sri kembali dari dapur dengan membawa air hangat dan kain untuk membersihkan luka Arga.


"Biar saya saja Bik yang melakukannya," pintah Bening saat wanita paruh baya itu akan membersihkan luka di kaki majikannya.


Bik Sri pun memberikan kain yang sudah basah di tangannya itu kepada Bening.


Perlahan Bening menyapukan kain basah di sekitar luka suaminya dengan hati-hati agar tidak menyakiti suaminya tersebut. Karena Bening tahu suaminya itu pasti sudah sangat menahan sakit walaupun pria itu sama sekali tidak mengeluh.


"Kenapa tidak panggil dokter saja? Atau kita pergi ke rumah sakit!" usul Bening.


"Villa ini jauh dari rumah sakit. Kalau pun memanggil dokter juga pasti akan memakan waktu lama," sambar Arga. 


Akhirnya pria itu mau bicara juga, karena sejak kedatangannya tadi mode bisunya sedang aktif. Sehingga tak sedikitpun berbicara walau Bening sudah bertanya berulang kali.


Yang dikatakan suaminya itu benar juga. Villa ini berdiri di atas bukit yang jauh dari pemukiman warga. Pasti sulit sekali mencari bantuan di tempat ini. Bahkan di sepanjang perjalanan menuju tempat ini, yang bisa Bening temukan hanya hamparan sawah dan hutan pinus.


"Tapi bagaimana jika lukamu infeksi karena tidak mendapat penanganan yang tepat?" keukeh Bening.


"Jangan kuatir itu tidak akan terjadi karena aku sudah terbiasa seperti ini," jawab Arga seakan tidak ada hal yang besar dengan lukanya.


Bening mengernyit bingung dengan maksud perkataan suaminya tadi. 


"Terbiasa bagaimana? Apa maksudnya? Jadi luka seperti ini sudah sering kau dapatkan?!" tanya Bening penasaran.


"Kenapa kau jadi cerewet sekali. Sudah, tutup saja mulutmu itu!"


"Tapi-"


Belum sempat Bening mengutaran protesnya Pak Karto datang dengan tergesah-gesah dengan sebuah tas hitam di tangannya.


"Maaf telah membuat anda menunggu lama Tuan muda," ucap Pak Karto sopan.


"Tidak apa-apa. Cepat obati aku!" titah Arga karena sudah terlalu lama menahan sakit atas lukanya.


Tanpa banyak bicara Pak Karto pun segera melakukan tugasnya. Namun segera dihentikan oleh Bening.


"Tunggu! Apa yang akan Bapak lakukan kepada suami saya?!" tanya Bening saat Pak Karto sudah mendekatkan jarum suntik di lengan suaminya.


Ketiga orang yang berada di ruang itupun langsung mengalihkan pandangannya ke arah gadis itu.


"Bening, apa kau tidak bisa diam sebentar?! Biarkan Pak Karto melakukan tugasnya dulu!" hardik Arga.


"Ta-tapi Pak Karto bukan dokter. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk kepadamu jika Pak Karto salah memberikan obat," cicit Bening.


Ya, Bening melakukan itu hanya karena rasa khawatirnya terhadap sang suami. Karena setahunya Pak Karto bukanlah dokter tetapi seorang penjaga villa. Wajar saja Bening mempunyai pemikiran seperti itu karena Pak Karto sendiri lah yang memperkenalkan diri sebagai seorang penjaga villa.


"Aku bilang diam! Jangan ikut campur. Dan masuk lah ke dalam kamarmu!" teriak Arga.


Bening yang merasa ketakutan pun akhirnya meminta maaf dan berjanji akan diam.


"Maaf kan aku, aku janji akan diam tapi tolong biarkan aku tetap di sini. Aku hanya ingin menemanimu saja," pintahnya dengan sendu.


"Baiklah tapi jika kau mengacau lagi akan ku buang kau ke dalam hutan!" 


Bening yang mendengar ancaman Arga itupun semakin ketakutan sehingga sulit untuk menelan ludahnya sendiri.


"Karto lanjutkan tugasmu!" imbuh Arga.


Setelah sedikit drama tadi, sekarang Bening hanya bisa duduk diam di samping suaminya sembari melihat tangan terampil Pak Karto yang sedang mengobati suaminya. Pria paruh baya itu begitu cekatan layaknya dokter profesional.


'Apa aku tidak salah lihat. Kenapa Pak Karto terlihat lihai sekali mengobati suamiku. Aku seperti sedang melihat dokter dan pasiennya!'


Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Pak Karto pun menyelesaikan tugasnya. Ia terlihat merapikan kembali alat medis yang dipakainya untuk mengobati Arga tadi.


"Lukanya akan kering dalam beberapa hari Tuan muda. Usahakan agar lukanya tidak terkena air. Saya juga sudah memberikan anda obat pereda nyeri. Efek obat itu akan menyebabkan anda mengantuk. Jadi anda bisa beristirahat dengan tenang nanti," jelas Pak Karto.


"Iya, terima kasih!"


"Sama-sama Tuan muda. Saya permisi ke belakang dulu!" 


Pria paruh baya itupun sedikit membungkukkan badannya sebelum meninggalkan sepasang suami istri itu.


"Jadi hari ini kita tidak akan kembali ke rumah? Bagaimana jika mereka mencari kita?" tanya Bening.


"Tidak ada yang akan mencarimu!" ejek Arga sambil beranjak dari duduknya karena ingin pergi ke kamar.


"Iya aku tahu tidak ada yang akan mencariku karena aku tidak penting bagi mereka. Tapi mereka pasti akan mencarimu karena kau anak kesayangan mereka, Tuan muda! Lagi pula kita pergi tanpa pamit terlebih dahulu. Kau bilang padaku hanya ada urusan sebentar tapi malah mengajakku menginap berhari-hari di tempat ini," protes Bening sambil mengejar langkah panjang suaminya menuju kamar.


Sesampainya di kamar Arga langsung membuka pakaiannya dan segera tiduran di atas ranjang. 


"Aku bukan anak umur 5 tahun yang masih dalam pengawasan orang tua. Lagi pula aku juga tidak berniat mengajakmu. Aku terpaksa melakukannya karena aku juga tidak tahu bahwa kejadiannya akan jadi seperti ini."


"Memangnya kau dari mana, sedang melakukan apa, dan kenapa semalam tidak pulang?" cecar Bening.


"Aku heran kenapa dari tadi bateraimu tidak habis-habis. Apa mulutmu itu tidak capek dari tadi bicara terus?!"


Mendapat sindiran seperti itu membuat Bening refleks menutup mulutnya dengan telapak tangannya sendiri.


"Sudah lah aku lelah. Dan aku juga belum tidur semalaman. Jadi jangan mengganggu tidurku!" Arga pun berbalik memunggungi Bening untuk memulai tidurnya.


Bening yang memang melihat wajah lelah suaminya itu hanya bisa pasrah dengan kembali mengubur rasa penasarannya.


Karena takut mengganggu tidur sang suami, Bening memutuskan untuk pergi ke dapur mencari Bik Sri. Karena saat ini ia butuh teman untuk mengobrol.


Di dapur.


"Sedang apa Bik?" tanya Bening kepada wanita yang tengah berdiri memunggunginya.


"Eh, ada yang perlu saya bantu Non?"


"Nggak ada Bik. Bening cuma butuh temen ngobrol aja. Tapi kalo Bibi sibuk juga tidak apa-apa."


"Bibi tidak sibuk kok Non. Cuma bikinin Bapak wedang sereh, sebentar lagi juga selesai," jawab Bik Sri seraya sambil mengaduk gelas di depannya.


"Wedang sereh?"


"Iya Non. Non Bening mau?!" tawar Bik Sri.


"Boleh Bik. Saya tunggu di teras samping ya Bik!"


"Baik Non, setelah saya mengatar wedang milik Pak Karto, saya akan segera ke sana."


Pemandangan alam perbukitan memang selalu membuat mata betah berlama-lama memandangnya. Seperti Bening saat ini yang sedang menikmati hamparan hijau hutan pinus dari teras villa.


"Ini wedangnya Non. Silahkan diminum mumpung masih hangat," ujar Bik Sri sambil meletakkan gelas ke atas meja marmer.


"Terima kasih Bik. Pemandangan di sini bagus banget. Bening jadi betah tinggal di sini," katanya sambil menyeruput minuman di tangannya.


"Iya Non, tapi di sini sepi tidak seperti di kota yang selalu rame."


"Bening malah suka dengan suasana yang seperti ini Bik. Lebih menenangkan hati. Bik Sri dan Pak Karto sudah lama tinggal di villa ini?"


"Lumayan Non, sejak Tuan muda menolong kami dulu."


"Menolong Bibi dan Pak Karto. Maksudnya?!"


Bab. 55

Sikap manis Arga.


Bening semakin penasaran dengan kelanjutan dari cerita Bik Sri. Wanita paruh baya itupun kembali meneruskan ceritanya-


"Dulu suami Bibi pernah difitnah melakukan malpraktek oleh salah satu keluarga pasiennya karena merasa tidak puas dengan kinerja Bapak. Orang tua pasien yang meninggal itu menuntut Bapak dengan penjara seumur hidup. Tapi karena semua itu tidak terbukti di pengadilan maka Bapak terbebas dari jeratan hukum. Namun, semuanya belum berakhir karena orang tersebut malah semakin menaruh dendam karena tidak berhasil memenjarakan suami Bibi. Dia menyewa orang untuk membunuh kami dengan cara membakar rumah yang kami tempati. Bukan itu saja, butik yang Bibi bangun dengan susah payah juga tidak luput dari incarannya. Harta benda kami habis dan kami nyaris menjadi gelandangan andai saja tidak mendapat pertolongan dari Tuan muda. Karena tabungan kami habiskan untuk biaya luka bakar yang diderita suami Bibi." Terlihat kilatan sendu dari netra wanita paruh baya itu saat mencoba mengingat masa lalu.


Mulut Bening mengangah tak percaya mendengar kisah pilu wanita paruh baya di depannya ini.


"Jadi Pak Karto itu memang benar seorang dokter. Bukan penjaga villa seperti yang kalian bilang sebelumnya?!" tanya Bening kemudian.


"Dulu memang profesi suami Bibi adalah seorang dokter Nona. Tapi kami sekarang lebih senang menjadi penjaga villa dan hidup tenang dari keramaian Ibu kota. Karena dengan begini kami bisa lebih mengabdi kepada Tuan muda. Menjadi dokter pribadi Tuan muda merupakan kebanggaan tersendiri bagi suami saya," jelas wanita paruh baya itu.


"Tadi Bibi bilang rumah Bibi dibakar. Apa ada korban jiwa saat itu?" tanya Bening kemudian.


"Iya ada Nona, salah satu asisten rumah tangga kami meninggal dalam kebakaran itu. Sedangkan suami Bibi menderita luka bakar hampir 70% , itu bisa Nona lihat dari kulit tangan kiri suami Bibi masih ada bekasnya. Sisa tabungan yang ada kami gunakan untuk pengobatan dan sisanya untuk menyantuni keluarga almarhumah asisten rumah tangga kami. Jadilah sekarang kami tidak punya apa-apa."


"Saat kebakaran itu terjadi Bibi ada di mana waktu itu?"


"Malam itu Bibi masih belum pulang dari butik karena ada pesanan baju yang harus segera diselesaikan. Jadi Bibi bisa selamat dari musibah itu."


"Maaf, apa Bik Sri tidak memiliki anak?"


"Suami Bibi mandul Nona. Kami divonis dokter tidak bisa memiliki keturunan. Dulu saat usia pernikahan kami berjalan sekitar 5 tahun, suami Bibi pernah menawarkan perceraian agar Bibi bisa mencari lelaki lain yang bisa memberikan Bibi keturunan. Namun, segera Bibi tolak mentah-mentah keinginan itu. Karena bagi Bibi, Pak Karto adalah suami pertama dan terakhir."


Bening terenyuh dengan kesetiaan wanita paruh baya itu. Beliau sangat menjaga pernikahannya walaupun tanpa kehadiran seorang anak di antara mereka. Bahkan beliau tetap setia dan mau menemani suaminya di saat titik terendah dalam hidup suaminya itu.


"Bik Sri adalah wanita yang sangat luar biasa. Contoh teladan yang bisa Bening jadikan panutan. Semoga Bening bisa menjadi istri seperti Bibi," ucap Bening tulus.


"Amin! Non Bening juga gadis yang sangat baik karena tidak pernah membeda-bedakan status manusia. Tuan muda sangat beruntung memiliki tulang rusuk secantik Nona. Cantik paras dan juga hatinya," puji wanita paruh baya itu.


"Ah Bik Sri terlalu memuji. Bening jadi malu!" Pipi gadis itu bersemu mendengar pujian wanita paruh baya itu.


"Bibi doakan semoga pernikahan Tuan muda dan Nona Bening langgeng sampai maut memisahkan," ucap tulus Bik Sri.


Seketika mimik wajah Bening berubah sendu mendengar doa yang diucapkan Bik Sri tadi karena ia menyadari pernikahan mereka hanya sementara. Entah kenapa hati Bening seolah berat menerima kenyataan itu. Apakah ia sudah menaruh hati kepada suaminya saat ini?


"Amin," lirih Bening seakan tidak ada keyakinan di hatinya.


"Nona kenapa?" tanya Bik Sri setelah melihat berubahan raut wajah Bening.


"Ah, Bening nggak papa Bik. Cuma terharu dengan cerita Bibi tadi" jawab Bening beralasan.


"Tuan muda adalah orang yang sangat baik Nona. Walaupun tidak banyak yang mengetahuinya. Bibi berada di tempat ini pun atas kebaikan Tuan muda. Beliau pernah menawarkan beberapa tempat di luar kota bahkan luar negeri untuk kami hidup. Tapi semua itu kami tolak karena kami sudah terlalu nyaman tinggal di sini. Awalnya Tuan muda juga melarang kami menjadi penjaga villa dan memberikan fasilitas agar suami Bibi bisa tetap mempertahankan profesinya sebagai seorang dokter tapi suami saya menolak karena beliau lebih memilih untuk menjadi dokter pribadi Tuan muda jika ada hal yang tak terduga seperti tadi. Bahkan suami saya juga sering membantu pengobatan warga desa yang hidup di bawah lembah sana," jelas Bik Sri sembari menunjuk ke bawah.


"Apa di sana ada desa Bik?"


"Ada Nona, namanya desa Kemutih kira-kira dihuni oleh 50 kepala keluarga. Namun, desa itu sangat terisolasi dari dunia luar. Pak Karto sering ke desa itu untuk memberikan pengobatan gratis atas arahan dari Tuan muda!"


"Apakah suami saya juga tahu tentang keberadaan desa itu Bik?"


"Tentu saja Nona. Bahkan Tuan muda lah yang memberitahu tentang desa itu kepada suami saya."


Bening tidak menyangkah orang seperti Arga yang selama ini bersikap dingin dan arogan bisa berbaur dengan penduduk desa terpencil seperti yang diceritakan Bik Sri tadi.


"Saya yakin Nona akan semakin jatuh cinta kepada Tuan muda jika sudah tahu dan mengenal bagaimana pribadi Tuan muda yang sebenarnya."


Pipi Bening kembali bersemu ketika wanita paruh baya itu berkata soal cinta kepadanya.


Namun, Bening tidak mau berharap lebih tentang nasib pernikahannya nanti. Karena apapun keputusan yang diambil Arga nanti Bening akan tetap menerimanya.


Bening kembali ke dalam kamar saat memasuki waktu sholat dhuhur. Setelah mendapat pinjaman mukena dari Bik Sri tadi. Bening pun segera menunaikan tugasnya sebagai seorang muslim.


Bening berjalan mendekat ke arah ranjang di mana sang suami kini telah terlelap. Dipandanginya wajah tampan suaminya itu hingga menimbulkan rasa asing di dalam hatinya.


Apalagi setelah mendengar cerita dari Sari dan Bik Sri tentang kebaikan hati pria yang tengah terlelap ini. Awalnya Bening tidak ingin mempercayainya namun melihat keseriusan wajah saat mereka bercerita membuat Bening merubah pemikirannya tersebut.


Tanpa sadar tangan Bening sudah terulur ingin menyentuh wajah teduh saat tertidur itu. 


"Kau manis saat tidur seperti ini."


Bening senyum-senyum sendiri saat merasakan kehalusan wajah sang suami.


Namun Bening terpaksa harus menghentikan aksinya saat melihat kelopak mata Arga bergerak-gerak. Otomatis Bening langsung berpura-pura tidur.


Karena merasa terganggu, Arga pun membuka paksa matanya walaupun masih terlalu berat karena masih sangat mengantuk. Netranya menangkap wajah cantik sang istri yang kini tengah memejamkan mata di hadapannya.


Senyum indah pun terlukis dari wajah tampan Arga saat melihat pemandangan itu. Hingga ia menarik tubuh Bening dan membawanya ke dalam dekapan.


Bening yang mendapat perlakuan seperti itupun menegang gugup namun tak berani untuk membuka mata. Karena takut kedoknya akan terbongkar jika dia hanya pura-pura tidur.


Namun tak dapat dipungkiri rasa bahagia yang tiba-tiba terselip di hatinya mendapat perlakuan semanis ini dari sang suami.


0 Comments