Arga. Bab 62

 


Di kediaman Ramiro Bening tampak bangun kesiangan karena ulah suaminya yang semalam tidak mau melepaskannya.

"Selamat siang Nona. Saya datang untuk membawakan sarapan anda," ucap Sari.

Gadis itupun meletakkan nampan berisi makanan yang dibawanya ke atas nakas dan beralih membuka gorden kamar Bening agar bisa memberi akses masuk cahaya matahari dari luar ruangan.


"Astaga! Ini sudah siang ya? Aku terlambat bangun lagi. Dan aku juga tidak menemani Opa sarapan tadi pagi. Cucu menantu macam apa aku ini!" ujar Bening seraya memukul kepalanya sendiri.

"Tidak apa-apa Nona. Tuan sepuh sudah memahaminya. Jadi Nona tidak perlu khawatir."

"Bahkan aku tidak tahu kapan suamiku itu berangkat bekerja!" sesal Bening.

"Suami sebaik Tuan muda tidak akan menuntut anda menjadi istri yang sempurna. Percayalah Nona, Tuan muda tidak seperti yang anda pikirkan."


Mendengar pernyataan Sari tersebut membuat Bening teringat obrolan mereka waktu itu saat gadis itu menceritakan tentang kebaikan suaminya kepada dirinya.

"Oh ya Sar, masih ingat tidak kalo kau punya hutang penjelasan kepadaku?"

"Maksud Nona?!"

"Kau masih belum selesai menceritakan tentang suamiku itu kepadaku. Apa kau lupa?"

"Sebenarnya tidak ada yang perlu saya ceritakan Nona, karena secara tidak langsung anda sudah mengetahuinya sendiri. Entah anda sadari ataupun tidak anda pasti sudah mengetahuinya walaupun secara perlahan."

"Waktu itu dia pernah membawaku pergi ke sebuah panti asuhan tapi aku malah tertidur jadi aku tidak tahu apa yang telah dia lakukan di sana. Aku bertanya pun dia tidak mau menjawabnya. Yang ada aku malah dikatai cerewet."

Begitulah sifat Tuan muda Nona. Beliau tidak akan menceritakan kebaikannya kepada orang lain." 

Sari pun menjeda ucapannya sejenak kemudian mendekatkan kepalanya ke arah Bening sebelum melanjutkan kata-katanya-


"Sebenarnya Tuan sepuh, Tuan besar dan Tuan muda adalah orang yang sangat baik di balik sikap tegasnya selama ini, Nona. Kecuali Nyonya Diana, dia benar-benar sangat kejam dan menakutkan. Jadi Nona harus selalu berhati-hati terhadapnya," bisik Sari.

"Iya Sar, aku juga merasa seperti itu."

"Sudah Nona, kita harus berhati-hati dalam berbicara apalagi tentang masalah ini. Takutnya ada CCTV, karena semua gerak-gerik kita di rumah ini ada yang mengawasi."

"Kau benar Sari."


"Kalau tidak ada yang Nona butuhkan lagi, saya permisi keluar dulu!"

"Iya, dan terima kasih sarapannya!"

Bening pun segera memakan sarapan sekaligus makan siangnya itu karena cacing di perutnya sudah merontah minta diberi makan.


*****


Malam ini Juwita mengajak Sandra untuk menghadiri sebuah pesta yang digelar di sebuah ball room hotel ternama.

Suasana pesta tampak begitu semarak dan glamour karena diadakan oleh salah satu pejabat penting negeri ini. 

Pesta kelas atas yang selalu menjadi ajang kaum borjuis untuk pamer harta dan kekayaan.

"San, ayo aku kenalkan dengan pemilik pesta ini!" Juwita menarik tangan Sandra menuju ke arah seorang pria yang tengah berdiri di tengah kerumunan banyak orang dengan setelan tuxedonya. Hingga menampilkan kesan gagah dan tampan.

"Ta, jangan main tarik donk!" protes Sandra tak suka dengan kelakuan sahabatnya tersebut.

"Selamat malam Tuan Sanders," sapa Juwita setelah tiba di hadapan sang empunya pesta.

"Juwita! Selamat malam. Terima kasih sudah hadir di pestaku malam ini," jawab Tuan Sanders ramah, sebelum ekor matanya melirik keberadaan seorang wanita yang tengah berdiri di samping Juwita. "Siapa wanita cantik ini?" tanya Tuan Sanders kemudian.

"Perkenalkan ini adalah Sandra sahabat terbaikku," ucap Juwita kepada pria di hadapannya. Kemudian pandangan Juwita beralih kepada sahabatnya yang masih berdiri mematung. "Sandra beliau adalah Tuan Sanders, salah satu anggota dewan yang terhormat." Juwita mengenalkan mereka berdua.

"Sanders, senang berkenalan denganmu, Cantik!" ucap Tuan Sanders memperkenalkan diri, sebelum kemudian mencium punggung tangan Sandra sebagai bentuk penghormatan.

"Senang berkenalan dengan anda Tuan. Nama dan wajah anda sering saya jumpai di layar televisi. Tapi baru kali ini saya bisa bertemu langsung dengan anda. Sungguh suatu kehormatan untuk saya," jawab Sandra merendah.

"Tuan Sanders ini adalah pelanggan tetap di tempatku San," sela Juwita sembari mengerlingkan sebelah matanya.

"Dan setelah ini aku akan lebih betah menjadi pelangganmu Juwi. Karena sekarang aku sudah menemukan apa yang aku inginkan!" ujar Tuan Sanders dengan tatapan yang sulit diartikan. Pandangan matanya tak sekalipun berpaling dari Sandra.

"Tentu Tuan, kami akan selalu menunggu kedatangan anda. Dan anda bebas memilih siapapun yang anda inginkan!" Juwita menimpali.

"Bagaimana jika aku memilih wanita yang saat ini berada di sampingmu?" jawab Tuan Sanders dengan seringai di wajahnya.

"Tuan Sanders bisa saja! Sandra bukan bagian dari anak buahku, kecuali jika Sandra sendiri yang menginginkannya." Juwita tampak menyenggol lengan sahabatnya yang sedari tadi tampak diam saja di tempatnya.

"Bagaimana kalau kita berdansa!" ajak Tuan Sanders sembari mengulurkan tangannya ke arah Sandra.

Sandra pun melirik ke arah Juwita untuk meminta pendapat. Setelah mendapat persetujuan dari sahabatnya itu, Sandra pun menerima uluran tangan pria tampan  tersebut. Kemudian melangkah bersama menuju lantai dansa.

Alunan musik klasik terdengar mengiringi. Sudah banyak pasangan yang telah lebih dulu memenuhi lantai dansa itu.


Sandra tidak ragu untuk mengaitkan lengan tangannya di leher pria tampan yang menjadi pasangan dansanya malam ini. Pun dengan Tuan Sanders yang memeluk pinggang Sandra dengan posesif. Seakan tak ingin memberi jarak di antara mereka berdua.


Sedangkan Juwita hanya memperhatikan sahabatnya itu dari kejauhan dengan duduk di depan meja bartender dan menikmati minuman beralkohol yang telah disediakan.


Pasangan dansa itupun menikmati alunan musik dengan penuh penghayatan. Bergerak ke kiri dan ke kanan sesuai dengan alunan lagu. Tuan Sanders bahkan tak ragu memberi kecupan-kecupan kecil di bahu Sandra yang terbuka.


"Jadilah wanitaku malam ini," bisik Tuan Sanders tepat di telinga Sandra. 


"Kita bahkan baru saja saling mengenal, Tuan!" jawab Sandra sembari menahan desahan karena merasakan gigitan-gigitan kecil di telinganya.


"Kita tidak membutuhkan waktu terlalu  lama jika hanya untuk saling memuaskan. Aku berjanji akan membuat hidupmu bahagia. Jadilah simpananku!" tawar Tuan Sanders.


Sandra mendorong pelan dada Tuan Sanders agar menjauhi wajahnya. Kini tatapan mereka saling bertemu. Itu membuat Tuan Sanders tidak tahan untuk tidak mencium bibir merah Sandra.


"Masih banyak wanita yang lebih cantik dan lebih muda yang bisa kau dapatkan selain diriku!" ucap Sandra setelah melepas tautan bibir mereka.


"Tapi aku hanya menginginkan dirimu. Biarkan aku menciummu. Biarkan aku menghisap madumu. Maka kau akan tau seberapa perkasanya diriku!"


"Kau terlalu percaya diri, Tuan! Sudah berapa banyak wanita yang telah mendengar mulut manismu itu Tuan Sanders?" Sandra menekankan kata-katanya.


"Sebagai seorang petualang aku memang sudah terbiasa melakukannya. Tapi tentang pernyataan yang menginginkan dirimu untuk menjadi milikku, aku serius mengucapkannya!"


"Wow! Aku sungguh merasa sangat tersanjung!"  


Di kejauhan tampak seorang pria gagah baru saja memasuki area pesta. 


Pria itu tampak mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan seperti mencari seseorang.


Tak lama setelah itu, ekor matanya menangkap sosok yang sedang ia cari berada di antara kerumunan orang di atas lantai dansa.


Pria itu tersenyum ke arah Tuan Sanders. Menyadari hal itu Tuan Sanders melambaikan tangannya di balik punggung teman dansa yang kini dipeluknya.


"Ayo kita ke sana. Aku ingin menemui temanku!" bisik Tuan Sanders tepat di telinga Sandra.


Sandra hanya mengangguk mengiyakan ajakan pria itu.


Langkah mereka berdua membela kerumunan orang yang tengah asik berdansa, menuju di mana pria yang baru datang itu berada.


Perlahan namun pasti jarak semakin  mengikis di antara mereka hingga-


Degh-


"Bajingan itu?!"


"Sandra?!

0 Comments