Penjara Cinta. Bab 20

 


Bab. 20

Nasehat Raka.


Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 45 menit. Akhirnya mobil yang dikendarai Raka sampai di parkiran sebuah apartemen. 

"Ga, bangun kita sudah sampai. Ayo turun!" Raka menepuk-nepuk pipi sahabatnya itu.

"Apaan sih loe. Ganggu tidur gue aja." Pemuda itu meracau kembali karena merasa tidurnya terusik.

"Bangun! Kita pindah ke dalam, loe bisa lanjutin tidur di sana entar. Ayo gue bantu loe jalan." Raka sudah membuka pintu mobil sebelah Arga. Ia menarik pemuda itu agar mau beranjak dari mobil.

"Udah gue bilang, nggak usah ganggu gue, Rak!"

Arga masih tak bergeming dari posisinya saat ini sehingga membuat Raka berdecak sebal.

"Cih, nyusain banget sih loe!" ujarnya kemudian menarik pemuda mabuk tersebut secara paksa.

Pemuda bernama Raka Atmaja itu nampak kesulitan saat memapah tubuh besar sahabatnya. Terang saja, karena kondisi fisik Arga yang tinggi besar dan berotot. Hasil dari dia berolah raga setiap hari. Karena sebelum berangkat bekerja ia selalu menyempatkan waktunya untuk melakukan gym.

Terdengar suara lift terbuka. Raka menyeret tubuh besar Arga untuk segera masuk ke dalam lift, ia menekan angka 15 di mana unitnya berada.

Kedua pemuda itu sudah sampai di sebuah unit apartement yang bisa dikatakan mewah. Apartement tempat tinggal Raka dari hasil kerja kerasnya selama ini.

Ya, selama bekerja di perusahaan Ramiro group, taraf hidup Raka meningkat tajam dari seorang pemuda biasa dan tidak memiliki apa-apa. Menjadi pemuda sukses hingga hidup berkecukupan dengan tinggal di sebuah apartemen mewah, yang dibelinya dari hasil menabung selama beberapa tahun.

Itu semua Raka dapatkan selama bekerja menjadi asisten seorang Arga, putra pemilik Ramiro group. Sebuah perusahaan besar yang menawarkan gaji yang sangat tinggi.

Pemuda itu tinggal sendiri di apartemen ini. Karena keluarga satu-satunya, yaitu sang Ibu lebih memilih untuk tetap tinggal di kampung halamannya, dengan alasan agar lebih dekat dengan makam sang suami. Yang notabene adalah Ayah Raka.

Raka menghempaskan tubuh bos sekaligus sahabatnya itu ke atas sofa panjang yang berada di ruang tamu. Ia sungguh tidak sanggup lagi jika harus membawa Arga masuk ke dalam kamar, biar lah nanti pemuda itu berpindah sendiri ke dalam kamar jika dia sudah sadar nanti.

Apartemen ini mempunyai dua kamar tidur. Satu ditempati Raka sendiri dan yang satu dibiarkan kosong, berjaga-jaga jika ada tamu menginap seperti Arga saat ini.

"Gini amat hidup loe, Ga. Ternyata punya uang banyak nggak bisa bikin hidup orang bahagia," monolog Raka. Ia tampak miris melihat kehidupan sahabatnya itu. Karena tidak ada yang pernah menyayangi-nya secara tulus. Semua orang yang mendekat kepadanya pasti ada niat terselubung.

Pemuda itu meninggalkan Arga yang masih tertidur di ruang tamu, untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri. Ia butuh air hangat untuk merendam tubuhnya yang terasa begitu lelah. Akhir-akhir ini kesibukannya semakin meningkat, akibat masalah yang telah diperbuat bos sekaligus sahabatnya itu. Karena mau tidak mau posisinya sebagai asisten pasti akan menyeretnya ke dalam masalah yang ditimbulkan Arga.

Mentari nampak bersinar menerangi bumi, saat seorang pemuda telah terjaga dari tidur lelapnya. Bau wangi makanan menggoda indera penciumannya, seakan menggoda perutnya agar segera diisi.

Perlahan Arga membuka mata mencoba menyesuaikan cahaya yang tertangkap netranya. Ia merasa kan sakit kepala yang luar biasa akibat dari mabuk semalam. Dan bukan itu saja, badannya juga seakan remuk karena semalaman ia meringkuk tidur di atas sofa.

"Sudah bangun?" Suara bariton seseorang yang sangat ia kenali, tengah mengganggu indera pendengarannya. Yang tak lain adalah Raka.

"Loe yang bawa gue ke sini?" tanya pemuda itu dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.

"Iya." Pemuda bernama Raka itu pun berjalan mendekat ke arah Arga dengan membawa segelas air putih dan bungkusan plastik kecil di tangannya.

"Minum obat ini, biar sakit kepala loe cepet hilang," titahnya sembari menyodorkan obat yang dibawanya.

"Thanks," jawab Arga. Ia pun segera meminum obat yang telah diberikan oleh sahabatnya itu.

"Semalem loe parah banget, Ga. Sampai kapan loe akan nyiksa diri loe kayak gini?" tanya Raka setelah mendudukkan dirinya di sebelah sahabat sekaligus bosnya itu.

"Gue nggak tau. Tapi yang jelas, gue udah bosan dengan hidup gue." Pemuda tampan itu tampak menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.

"Hidup yang loe bilang bosan tadi, sangat di-impikan oleh banyak orang di luar sana. Asal loe tau aja," cetus Raka.

"Jadi maksud loe. Loe mau bilang gue kurang bersyukur. Begitu?" Arga merasa tersentil dengan perkataan Raka baru saja.

"Hanya loe sendiri yang bisa jawab pertanyaan loe tadi," jawab Raka kemudian.

"Cih, hidup kayak gue." Pemuda itu nampak tersenyum miris.

"Ga, loe harus coba ngebuka hati loe, ikhlaskan semuanya. Agar dada loe terasa lapang. Cukup sudah loe membenci orang-orang terdekat loe, termasuk diri loe sendiri. Karena loe juga berhak bahagia." Raka tampak menasehati sahabatnya itu.

"Andai semuda itu ngelakuin yang loe bilang tadi, Rak. Bahkan semua orang yang ngedeketin gue nggak pernah ada yang tulus. Mereka semua mempunyai maksud tertentu," ucap Arga sinis.

"Jadi, loe juga menganggap gue nggak tulus sama loe?" tanya Raka sarkas.

"Bukan gitu maksud gue, Rak. Elo beda dari teman-teman gue yang lain, makanya loe udah gue anggep seperti saudara sendiri." Arga merasa tidak enak hati dengan pertanyaan Raka tadi. Ia takut menyinggung perasaan sahabatnya itu, karena sungguh bukan seperti itu maksudnya tadi.

"Tidak semua orang yang deket sama loe itu nggak tulus, Ga. Di sini loe seharusnya bisa menilai sendiri mana yang baik dan nggak buat loe. Jangan menyama ratakan semua orang dengan penilaian loe itu. Dan semua keputusan ada di tangan loe. Loe udah cukup dewasa untuk bisa menyingkapi ini semua," ucap Raka panjang lebar.

"Jadi jangan pernah menyia-nyiakan hidup loe dan apa pun yang loe milikin saat ini," imbuh Raka kemudian.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Arga untuk menjawab perkataan sahabatnya itu. Pemuda itu bergeming dengan tetap menyandarkan kepalanya di sofa sembari menutup mata.

"Gue akan ke kantor sekarang. Makanan sudah ada di atas meja makan kalau loe mau sarapan." Pemuda yang sudah rapi dengan setelan kantornya itu pun melangkah menuju pintu sebelum ia teringat sesuatu kemudian menghentikan langkahnya. "Semalam Mommy loe telfon dan gue yang angkat. Dia tau loe ada di sini." Pemuda itu pun kembali melanjutkan langkahnya sebelum terdengar Arga membuka suara-

"Bentar lagi gue nyusul." Raka hanya mengangguk mendengar ucapan bosnya itu, kemudian ia menghilang dari balik pintu.

0 Comments