Bening. Bab 19

 


Bab. 19

Perseteruan Ayah dan anak.


"Sampai kapan kau akan melakukan hal bodoh itu, Arga!" Suara bariton Tuan Jordan menggelegar di penjuru ruangan.

Suasana tampak mencekam di salah satu ruangan gedung milik Ramiro group. Dua orang pria dewasa berbeda generasi kini saling bertatap nyalang. Tidak ada satu pun yang mau mengalah di antara mereka berdua. Ego yang tinggi membuat Ayah dan anak itu selalu bersikap layaknya musuh. Bagai api dalam sekam, perang dingin antara dua manusia dengan ikatan darah yang sama itu pun tidak dapat dielakkan.

"Sampai aku bosan. Dan anda menyesal telah memiliki anak sepertiku," jawab Arga santai.

"Apakah begitu caramu berbicara dengan orang tua. Di mana sopan santunmu itu?!" hardik Tuan Jordan.

"Orang tua? Sejak kapan kau menganggapku anak? Bukankah selama ini aku hanyalah boneka mu saja!" Pemuda itu tersenyum miris.

Plakk-

Satu tamparan keras mendarat di pipi pemuda itu, sehingga membuat wajahnya berpaling akibat kerasnya tamparan yang ia dapatkan.

Pemuda bernama Arga itu pun tersenyum mengejek, sembari mengusap sudut bibirnya yang berdarah.

"Hanya itu saja yang bisa anda lakukan padaku?" ucap Arga dengan senyum meremehkan.

Tuan Jordan yang mendengar kata-kata sang putra bergetar menahan amarah. Ia nampak mengepalkan tangannya kuat, menahan agar tidak melakukan hal yang lebih jauh lagi kepada pemuda yang di tubuhnya mengalir darah yang sama dengan dirinya itu.


Selama ini hubungan Ayah dan anak itu memang tidak pernah akur. Sejak kecil Arga sudah kehilangan sosok Ayah karena Tuan Jordan yang tidak pernah peduli dengan keberadaan Arga, waktunya hanya dihabiskan untuk bekerja dan bekerja.

Kalau urusan materi Arga kecil tidak pernah sedikit pun merasa kekurangan. Tetapi kasih sayang dan perhatian dari kedua orang tua tidak pernah ia dapatkan. Bahkan hubungan kedua orang tuanya saja seperti bukan suami istri. Mereka seperti tenggelam dengan urusannya masing-masing. Tapi entah mengapa pernikahan mereka masih bertahan hingga saat ini.

Pemuda itu menegakkan tubuhnya menghadap laki-laki yang notabene adalah Ayahnya itu. Ia maju beberapa langkah, kemudian berkata-

"Saya mohon maaf, jika anda merasa terganggu dengan berita yang telah saya timbulkan. Tapi saya jamin berita tentang saya tidak akan membuat nama baik anda tercemar Tuan Jordan yang terhormat!" ucap Arga menekankan kata-kata terakhirnya.

"Permisi!" Pemuda itu pun berlalu pergi meninggalkan sang Papi dalam kebisuan.

Tuan Jordan nampak memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Kepalanya terasa mau meledak. Ia sadar betul sikap dan perilaku putranya saat ini adalah hasil dari perbuatan dirinya sendiri. 

Pernikahannya dengan sang istri hanya sebuah kamuflase saja yang membuat dirinya frustasi, sehingga melampiaskannya ke dalam pekerjaan. Ia tidak mengirah bahwa yang akan menjadi korban dan menanggung semua ini adalah putra semata wayang mereka yaitu Arga.

Pertengkaran dengan sang Papi membuat suasana hati Arga memburuk. Ini memang bukan untuk yang pertama kalinya tapi rasa sakit itu selalu datang setiap kali ia harus bersitegang dengan orang yang seharusnya menjadi panutannya itu. 


Tetapi di sini berbeda, jika anak lain menjadikan seorang Ayah sebagai pahlawan hidupnya. Arga justru tidak pernah tahu apa itu yang namanya kasih sayang orang tua sesungguhnya. Dan di sini lah dia sekarang, di tempat yang bisa membuatnya lupa dengan segala beban di hatinya. Ia menumpahkan kekecewaan serta amarah ke dalam minuman.

Pemuda itu sudah sangat mabuk, yang membuatnya terus meracau seperti orang gila. Sebelum sahabatnya datang, dan membawanya pergi dari tempat hiburan malam itu.

Ya, dia adalah Raka. Sang asisten sekaligus sahabatnya. Dengan susah payah Raka membawa Arga keluar dari tempat hiburan malam. Walaupun ia harus menyingkirkan terlebih dahulu beberapa wanita malam yang berusaha menggoda Arga. Bahkan Raka harus berhati-hati dari paparazzi agar beritanya tidak sampai masuk media seperti sebelum-sebelumnya.


"Loe mabuk lagi, Ga?" Raka membuka suara saat ia sudah berhasil membawa masuk Arga ke dalam mobilnya.

"Gue benci pria itu. Gue rasa gue bukan anaknya. Ha ha ha!" Pemuda itu tampak kacau. Ia tertawa dan meracau tidak jelas, yang membuat Raka hanya bisa menggelengkan kepala.

"Loe tau nggak, Rak? Dia adalah pria terbrengsek yang pernah gue temui. Mana ada orang tua yang menelantarkan anaknya sendiri. Memangnya siapa yang mau jadi anak dia? Gue juga gak minta dilahirin dalam keadaan seperti ini. Gue benci, benci sangat benci." Suara itu tiba-tiba menghilang digantikan dengan suara dengkuran nafas teratur.

Raka mengalihkan pandangan ke arah sahabatnya  yang ternyata sudah tertidur itu. Raka adalah orang yang paling dekat dengan Arga. Dia tahu semua tentang kehidupan sahabatnya itu. Kehidupan yang di mata banyak orang begitu sempurna dan juga membuat iri banyak orang, ternyata menyimpan begitu banyak kekurangan.

Ibarat pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua sudah ada porsinya masing-masing. Ada kalanya hidup yang tidak kita inginkan, begitu sangat diharapkan oleh orang lain.

Begitupun dengan Raka, ia dulu sempat merasa iri dengan kehidupan Arga yang terlihat begitu sempurna. Selalu bergelimang harta, sehingga tidak perlu bersusah payah mencari uang untuk membiayai pendidikannya sendiri. Mempunyai orang tua lengkap, tidak seperti dirinya yang seorang yatim karena harus ditinggal sang Ayah pergi menghadap sang Khalik, saat dirinya masih sangat kecil.

Pemuda itu menghela nafas sejenak, sebelum ia menghidupkan mesin mobil dan berlalu pergi meninggalkan pelataran tempat hiburan malam tempat Arga mabuk tadi.


Mobil yang dikendarai Raka membelah jalanan yang cukup lengang malam ini, hingga suara ponsel mengalihkan perhatiannya dari jalanan di depan. Rupanya yang berbunyi adalah ponsel milik Arga.

Raka meminggirkan mobilnya di tepi jalan, ia berniat melihat ponsel sahabatnya itu karena sedari tadi tidak berhenti berdering. Diambilnya benda pipih itu dari dalam saku celana bahan yang dipakai Arga dengan sedikit bersusah payah.

"Jangan ganggu gue, Rak!" racau Arga karena merasa tidurnya terganggu.

Terterah nama 'Mommy' di layar benda pipih itu. Raka sempat ragu tapi kemudian ia menggeser icon berwarna hijau dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.

"Halo Nyonya!"

"Raka kenapa kau yang menjawab telfon ku. Di mana Arga?!" Terdengar nada gusar dari suara Nyonya Diana di seberang sana.


"Maaf Nyonya, tapi Tuan muda sedang- ehm sedang-" Belum selesai Raka berbicara suara Nyonya Diana sudah menginterupsi.

"Sedang apa, Raka? Bicara yang jelas!" bentak Nyonya Diana dengan tidak sabaran.

"Sedang tidur Nyonya, karena Tuan muda mabuk berat." Raka tampak menghembuskan nafas lega setelah berhasil menjawab pertanyaan sang Nyonya tadi.

"Baiklah, bawa saja putra ku ke apartemenmu. Kejadian ini jangan sampai diketahui Papi dan Opahnya. Kau mengerti!" ucap Nyonya Diana.

"Iya baik. Saya mengerti Nyonya," jawab Raka. Kemudian 'tut tut tut' Raka mendengar suara sambungan terputus karena diakhiri secara sepihak oleh Nyonya Diana.


0 Comments