Penjara Cinta Sang Taipan. 57

 

Penjara cinta sang taipan

Bab. 57

Kembali ke Jakarta.


Tepat pukul 09.00 pagi Juwita dan Sandra melakukan cek out dari hotel tempat mereka menginap. Sebelum berangkat ke Jakarta Sandra menyempatkan diri untuk singgah sebentar ke kosan yang selama dua minggu ini ia tempati untuk mengambil barang-barangnya.

Perjalanan panjang mereka lalui dengan menggunakan mobil menuju ibu kota. Perasaan ragu dan gelisah sempat menghinggapi hati Sandra saat akan kembali ke kota tempat kelahirannya itu. Mengerti dengan kegelisahan hati Sandra Juwita pun mencoba menenangkan sahabatnya itu dengan mengusap punggung tangannya seolah berkata semua akan baik-baik saja.

Namun perasaan was-was dan tidak nyaman selalu saja menghinggapi pikiran Sandra. Banyak sekali yang ia takutkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti saat ia kembali bertemu dengan orang-orang yang pernah dikenalnya dulu.

"Kenapa?"


Pertanyaan itu mengalihkan perhatian Sandra yang sedari tadi terus menunduk menatap tautan tangannya sendiri.

"Aku ragu."

"Tenang saja. Jakarta itu luas peluang mu untuk bertemu dengan orang yang ingin kau hindari masih sangat besar. Percaya sama aku!" ucap Juwita mencoba menenangkan sahabat yang tengah duduk dengan gelisah di sebelahnya.

"Iya kau benar. Tidak ada yang harus aku takutkan. Karena hidup ku milikku sendiri mereka tidak berhak mengusik kebahagiaan ku. Karena Sandra yang dulu sudah mati. Hanya ada Sandra yang baru saat ini!" ucap Sandra yakin.

"Ini baru Sandra sahabat ku. Sini berikan aku pelukan hangat!" Juwita merentangkan lebar kedua tangannya menunggu sang sahabat berhambur memeluknya. Perjalanan pun mereka lalui dalam kebisuan karena mereka sibuk menyelami pikiran masing-masing.


*****


Di sisi lain Arga dan Bening pun telah bersiap untuk meninggalkan villa yang telah mereka tempati beberapa hari ini. Karena tanggung jawab pekerjaan yang tidak bisa Arga tinggalkan terlalu lama. Apalagi Raka yang terus-terusan menerornya agar secepatnya kembali ke kantor.

Walaupun sedikit berat bagi Bening karena ia sudah merasa terlalu nyaman tinggal di tempat yang jauh dari hingar bingar keramaian kota.

"Bening pasti akan sangat merindukan Bibi!" ucapnya setelah memberikan pelukan perpisahan kepada wanita bernama Sri itu.

"Bibi juga Non. Bibi pasti akan merindukan tawa ceria Nona Bening di villa ini."

"Bening pergi dulu ya Bik!"

"Hati-hati ya Non. Bibi tunggu kedatangan Nona kembali. Dan semoga Nona dan Tuan muda lekas mendapatkan momongan," ucap Bik Sri tulus.

Degh-

Momongan? Ya Tuhan, bahkan aku sendiri tidak berani membayangkan untuk memilikinya.

Pikiran Bening pun kembali mengingat ultimatum Nyonya Diana yang mengatakan bahwa tidak boleh ada anak di antara Bening dan Arga. Karena Nyonya penguasa tersebut menganggap Bening tidak layak untuk mengandung keturunan Ramiro selanjutnya.

"Ada apa Nona, kenapa wajah anda sedih? Apa ada yang salah dengan kata-kata Bibi tadi?" tanya perempuan paruh baya itu ketika melihat perubahan wajah Bening.

"Ah, tidak Bik. Bening hanya sedih karena harus meninggalkan tempat ini dan juga Bibi," jawab Bening beralasan.

"Bibi juga sedih Non. Tapi Nona bisa minta kepada Tuan muda untuk membawa Nona ke sini lagi di lain waktu," usul Bik Sri.

"Hala Bening nggak yakin Bik, Bening diajak juga karena dia terpaksa. Bukan karena ingin. Bibi pasti sudah paham kan bagaimana sifat Tuan muda kita itu selama ini."

"Sabar Nona, tapi Bibi perhatikan Tuan muda selalu bersikap manis selama kalian berada di sini!"

"Ya semoga saja sikapnya akan terus seperti itu. Jangan sampai berubah lagi seperti yang sudah-sudah. Bening sudah capek!"

"Maksud Nona?!" tanya Bik Sri tidak mengerti.

Bening yang hampir keceplosan pun merutuki kebodohannya sendiri. Kemudian cepat-cepat mencari alasan.

"Enggak bukan apa-apa kok Bik. Maksud Bening suami saya itu suka sekali berubah moodnya."

"Oh begitu Non. Ya sudah kalo begitu Bibi hanya bisa mengaminkan saja."

"Makasih ya Bik!"

Obrolan mereka terhenti saat melihat Arga dan Pak Karto telah keluar dari dalam villa. Sepertinya mereka berdua telah melakukan pembicaraan serius sehingga tidak mengijinkan Bening untuk ikut mendengarkan.

Dengan sigap Pak Karto pun membukakan pintu mobil untuk sang Tuan dan istrinya.


"Silahkan Tuan muda, Nona Bening," ujar Pak Karto setelah pintu mobil terbuka.

"Terima kasih Pak Karto," jawab Bening riang sedangkan Arga hanya merespon dengan sedikit mengangguk.

Bening menurunkan kaca mobil dan melongokkan kepalanya keluar.

"Bening pamit ya Bik, Pak Karto. Assalamualaikum!" ucap Bening sambil melambaikan tangannya.

"Wa'alaikum salam. Hati-hati di jalan Nona dan Tuan!" jawab suami istri itu serempak sembari membalas lambaian tangan Bening.


Mobil yang dikendarai Arga pun perlahan bergerak meninggalkan villa. Menuju Ibu kota yang sudah menunggunya dengan setumpuk masalah di dalamnya.

Baru beberapa menit berkendara Arga sudah melihat Bening menguap beberapa kali. Sepertinya gadis itu tengah mengantuk.

"Tidurlah!"

"Tidak, aku akan menemanimu saja," tolak Bening dengan berusaha melawan rasa kantuknya.

"Aku tahu kau mengantuk. Sudah tidur saja, lagi pula aku tidak butuh ditemani!"


"Aku memang selalu begini. Suka mendadak ngantuk jika naik kendaraan. Tapi bedanya dulu aku naik mikrolet bukan naik mobil pribadi seperti sekarang ini."

"Mikrolet? Apa itu?!"

"Masa kau tidak tahu mikrolet? Orang kaya sepertimu tidak tahu mikrolet? Cih, mobil saja banyak tapi tidak tahu mikrolet!" cibir Bening.

"Kalo aku tahu, apa gunanya bertanya padamu!" jawab Arga tak kalah tajam.

"Mikrolet itu angkutan umum yang digunakan untuk kami warga desa jika ingin pergi ke kota," ucap Bening menjelaskan.

"Maksudmu taksi?!"

"Ck, mana ada taksi di desa, Tuan muda!"

"Jika bukan taksi lalu apa?!"

Astaga! Bicara dengan manusia seperti suaminya ini Bening harus benar-benar ekstra bersabar. Status sosial mereka yang bagaikan bumi dan langit itu, begitu merepotkan jika harus berada di situasi semacam ini.

Bagaimana caranya rakyat jelata seperti dirinya menjelaskan tentang kehidupannya kepada sultan seperti suaminya itu.

"Tuan muda, mikrolet itu angkutan umum sejenis minibus yang digunakan warga untuk alat transportasi mereka. Semacam angkotlah!" jelas Bening.

"Astaga, angkot saja kenapa bahasamu berputar-putar seperti itu. Kalo sejak tadi kau bilang angkot, aku pasti langsung mengerti!"

Bening memutar bola matanya malas menanggapi ocehan suaminya itu.

"Angkot kalo di kota, kalo di desa mah mikrolet atau angdes, kalo enggak ya angkam," gerutuh Bening.

"Angdes, angkam? Apa lagi itu?!"


"Ya kan secara angkot itu angkutan kota. Kalo angdes kan angkutan desa. Angkam itu angkutan kampung," terang Bening dengan kesal.

Tiba-tiba tangan Arga terulur untuk menyentuh dahi Bening dan berkata-

"Nggak panas!"

"Hizz, apaan sih. Kamu pikir aku gila!"

Arga yang melihat reaksi Bening langsung terbahak karena berhasil memancing emosi gadis itu.

Karena perdebatan non faedah dengan sang suami membuat Bening kehilangan rasa kantuknya.

Namun saat melintasi jalan menurun Arga dikagetkan dengan sesuatu yang menghadang laju mobilnya hingga Arga pun terpaksa harus menginjak kuat pedal remnya.


0 Comments