Bening. Bab 58

 


Bab. 58

Ibu mertua antagonis.


Bening mencengkeram erat pegangan mobil akibat kejadian mendadak tadi. Untung Arga sigap dan bisa menguasai mobilnya sehingga tidak terjadi sesuatu kepada mereka.

"Siapa orang-orang itu?!" tanya Bening ketakutan melihat sosok pria menyeramkan mendekati mobil mereka.

"Tenanglah, mereka tidak berbahaya. Tunggu di sini, aku akan keluar menemui mereka!"


"Jangan keluar! Bagaimana jika mereka ingin melukaimu?!"

"Tidak akan terjadi apa-apa padaku, percayalah!"

"Kalo begitu aku juga ikut turun denganmu!" ucap Bening sembari melepas sabuk pengamannya.

"Jangan membantah, tetaplah di sini. Sampai aku kembali!"

"Tapi-"

"Cukup!" bentak Arga yang membuat Bening tak bisa berkutik lagi.

Arga pun membuka pintu mobilnya dan berjalan santai menuju tiga orang yang sedang berdiri menghadang mobilnya tersebut.

Dari dalam mobil Bening dapat melihat sang suami telah berkomunikasi dengan orang-orang itu. Kalau dilihat dari cara berpakaian mereka Bening yakin bahwa mereka adalah orang pedalaman di daerah sekitar tempat ini.

Karena mereka hanya memakai pakaian berbahan kulit binatang di tubuh bagian bawah mereka saja. 

Setelah beberapa saat Arga pun kembali ke dalam mobil dengan membawa sesuatu di tangannya.

"Apa yang mereka katakan? Dan apa itu di tanganmu?!" tanya Bening penasaran.

"Mereka hanya ingin mengucapkan terima kasih dan ini adalah hadiah sebagai bentuk rasa terima kasih mereka padaku!" jawab Arga sembari menghidupkan lagi mesin mobilnya.

"Terima kasih? Memang apa yang sudah kau lakukan untuk mereka?"

"Kamarin aku sempat memberi bantuan sedikit kepada mereka," jelas Arga.

Kemarin? Berarti waktu Arga mendapat luka robek di kakinya, begitu pikir Bening.

"Bantuan seperti apa itu. Kenapa mereka sepertinya bahagia sekali?" tanya Bening saat melihat ketiga orang itu melambaikan tangan sambil lompat-lompat senang.

"Sudah lupakan saja! Lagi pula gaya mereka memang seperti itu!"

"Cih, dasar menyebalkan! Apa susahnya menjawab sih!"

Arga yang tidak menghiraukan gerutuhan Bening tetap melajukan mobilnya dengan santai. Lagi pula mereka harus secepatnya sampai ke kota sebelum malam menjelang.

Setelah melakukan perjalanan selama berjam-jam yang amat melelahkan. Mobil yang dikendarai Arga pun masuk ke dalam garasi kediaman Ramiro.

Namun pria yang sudah berstatus sebagai suaminya itu langsung pergi lagi setelah membersihkan diri sebentar di kamar. Hal itu tentu saja membuat Bening heran. Apa suaminya itu tidak lelah setelah menempuh perjalanan jauh? Begitu pikirnya.

Tapi Bening tidak begitu menghiraukan kemana suaminya itu akan pergi karena dirinya terlalu amat lelah dan ingin segera menghempaskan diri ke atas ranjangnya yang empuk.

Suara ketukan di pintu membuat Bening kembali membuka matanya. Sosok Sari sudah berdiri dengan membawa nampan di tangannya.

"Silahkan minum vitamin dan jus anda Nona," ujar Sari setelah mendekat ke arah ranjang di mana Bening berbaring saat ini.

Sebenarnya Bening merasa curiga karena semenjak tinggal di rumah ini, dirinya selalu diberi vitamin padahal tubuhnya sangat sehat dan bugar.

"Kenapa harus minum vitamin setiap hari sih, Sar?" tanya Bening sembari bangkit dari baringnya dengan malas.

"Maaf Nona, saya hanya menjalankan tugas untuk memberikannya kepada anda. Selebihnya saya tidak tahu!" jawab Sari sopan.

"Apa Nyonya Diana yang memberikannya untuk ku?"

"Benar Nona!"

"Kemarin Nyonya Diana marah besar karena anda tidak pulang beberapa hari ini," aduh Sari dengan takut-takut.

"Kenapa memangnya? Bukankah aku pergi dengan suamiku sendiri?!" tanya Bening heran.

"Entahlah Nona saya juga tidak mengerti. Tapi yang jelas Nyonya besar sangat murka. Jadi Nona harus lebih berhati-hati!" ujar Sari memperingatkan.

"Iya Sari, makasih ya sudah mau kasih tahu aku."

"Sama-sama Nona. Saya hanya tidak mau Nona mendapat siksaan dari mereka lagi."

"Kau benar-benar sahabat ku Sari!" Bening pun menghamburkan pelukannya kepada gadis muda itu.

"Itu karena saya sudah menganggap Nona sebagai kakak saya sendiri. Sekarang Nona harus segera beristirahat. Nona pasti lelah setelah melakukan perjalanan jauh. Saya permisi Nona. Selamat malam!"

"Selamat malam, Sari!"


Detik-detik waktu telah berputar. Rembulan telah kembali ke peraduannya berganti dengan sinar mentari yang menghangatkan jiwa.

Bening berjingkat kaget melihat seluruh tubuhnya basah kuyup tersiram air. Perlahan ia mulai mengumpulkan sisa kesadarannya.

"Nyo-nyonya! A-apa yang anda lakukan-"

Belum sempat Bening menyelesaikan kalimatnya Nyonya Diana sudah menarik rambut basah Bening dengan kuat hingga gadis itu meringis kesakitan.


"Aww ... sa-sakit! Tolong lepaskan saya!" mohon Bening.

"Kau tahu apa kesalahanmu gadis kampung?!" desis Nyonya Diana.

"Ti-tidak Nyonya. Me-memang apa salah saya?"

"Kau masih tidak tahu apa kesalahanmu bodoh?!"

Bening hanya menggeleng sebagai jawaban. Kemudian-

Plakk-

Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi mulus Bening. Hingga menjalarkan rasa sakit yang tak terkira. Namun Bening hanya bisa menangis meratapi nasibnya.


"Apa maksudmu pergi berhari-hari dengan putraku seperti itu? Atau memang kau sengaja melakukannya untuk menghindari meminum pil yang telah ku persiapkan untukmu?!"

Bening pun menggeleng kuat menyangkal tuduhan tersebut karena memang bukan seperti itu kenyataannya.

"Ti-tidak Nyonya, saya tidak pernah berniat seperti itu. Saya pergi karena Tuan muda yang mengajak saya," jawab Bening seraya terisak.

"Apapun alasannya aku tidak suka dengan apa yang kau lakukan itu. Camkan itu baik-baik jika kau masih ingin tenang tinggal di rumah ini!"

Nyonya Diana pun pergi meninggalkan Bening dengan kondisi yang sangat berantakan.

"Hiks ... hiks ... kenapa Tuhan? Kenapa harus aku yang selalu disalahkan?!"

Bening meratapi nasibnya yang tidak pernah beruntung itu. Dengan mempunyai Ibu mertua antagonis yang sangat kejam.


*****


Sementara di lain tempat, tampak seorang wanita berdiri di balik pintu gerbang berwarna hitam yang tampak gagah menjulang.

Sudah dua jam lamanya wanita itu berdiam diri di sana. Namun ia tidak berniat sekalipun untuk menekan bel ataupun mencoba masuk ke dalam rumah yang sudah diawasinya sedari tadi itu. Karena ia merasa tak punya keberanian itu.

Wanita itu hanya berdiri dan mengamati dari kejauhan, dengan sorot mata yang mengisaratkan kerinduan. Berharap ada sosok yang dapat ia lihat dari tempatnya berdiri saat ini. 

Kesabaran itu akhirnya membuahkan hasil, karena tak lama setelah itu ada sosok perempuan tua yang keluar dari balik pintu seperti sedang ingin berolah raga ringan. Ingin sekali ia berlari mendekat tapi ia tak punya cukup keberanian.

"Maaf ada keperluan apa anda berada di sini?" Suara pria berseragam security membuyarkan fokusnya mengamati seseorang di sana.

Tanpa menjawab apapun, wanita itu segera beranjak pergi dari tempatnya berdiri. Yang membuat security tersebut bingung dan merasa curiga.

"Nyonya tunggu ... Nyonya tunggu!"


Mendengar suara teriakan penjaganya, wanita tua yang sedang berolah raga ringan itupun menghentikan  aktifitasnya sejenak. Kemudian mencari tahu apa yang sedang terjadi di luar pagar rumahnya.

"Ada apa Man? Kenapa teriak-teriak begitu?"

"Oh itu Nya, tadi ada wanita berdiri di sini. Tapi setelah saya tanya ada perlu apa, wanita itu langsung pergi begitu saja."

"Apa kau mengenali wajahnya?"

"Tidak Nya. Karena wanita itu memakai masker dan kaca mata hitam!"

"Mungkin orang yang ingin meminta sumbangan. Sudah biarkan saja."

"Mungkin juga Nya. Tapi-"

"Ah sudah jangan terlalu dipikirkan. Kalau dia ada perlu pasti dia akan datang lagi."

"Iya Nya!"

Masa iya mau minta sumbangan. Tapi kenapa dia langsung pergi waktu ku tegur tadi. Padahal tadi dia sudah berdiri di sini lama sekali. Ah sudah lah nggak usah pikirkan hal yang tidak penting.

Karena dirasa tidak terlalu penting, wanita tua itupun kembali melanjutkan  olah raganya yang sempat tertunda.

Berlari dan menghindar dari orang-orang yang dikenalnya sudah Sandra lakukan sedari belasan tahun yang lalu. Saat ini ia juga kembali berlari dari orang yang sangat dirindukannya.

Di dalam taksi yang ditumpanginya, Sandra menangis dalam diam membayangkan wajah-wajah yang telah ia rindukan belasan tahun ini. Melihat dari kejauhan pun ia rasa sudah lebih dari cukup dan bisa sedikit mengobati rasa rindu di dalam kalbu. Karena ia tak pernah ingin dicap sebagai anak durhaka.


0 Comments