Izinkan Aku Mengobati Lukamu. Bab 10

 


"Ke mana kalian akan tinggal, Leo?" tanya Mayang ketika menantunya datang ke rumah bersama Putri. Mereka mengatakan pada Mayang bahwa ingin mengontrak dan belajar mandiri tanpa bantuan siapa pun, termasuk mertuanya. Leo bertekad ingin menghidupi keluarganya sendiri agar memiliki kebanggan sebagai seorang laki-laki. 

"Kami sudah melihat-lihat rumah yang akan kami tinggali, Ma," kata Leo sambil memegangi tangan Putri yang sejak tadi memilih diam karena dia ingin Leo-lah yang mengambil alih semuanya. Dia ingin memberikan kepercayaan diri pada suaminya bahwa Leo bisa menjadi laki-laki yang bertanggung jawab untuk anak istrinya. "Saya sudah menjual sepeda motor saya satu-satunya. Kami akan menggunakannya untuk membayar kontrakan dan kebutuhan sehari-hari sampai saya dapat kerja."

Mayang menoleh pada suaminya dan mata itu seolah-olah berbicara. "Lepaskanlah mereka, Sayang. Anak-anak kita sudah dewasa." Mayang tak bertanya apa-apa lagi dan hari itu juga Putri dan Leo pindah ke rumah kontrakan mereka yang sederhana. Tidak ada lagi Mbak Puji, tidak ada lagi supir yang bisa mengantarnya ke mana pun Putri ingin pergi. Namun, di rumah baru ini Putri begitu bahagaia. Leo mulai berubah, dia mulai bersikap layaknya seorang suami. Pria itu melakukan apa pun untuk mendapatkan uang. Bekerja di bengkel karena kebetulan dia menyukai hal-hal berbau motor sejak muda dan tak jarang saat malam tiba dia juga akan nongkrong di pinggir jalan sebagai tukang ojek. 

Sementara menunggu suaminya pulang, Putri akan membersihkan rumah. Dia belajar bagaimana mencuci baju serta memasak. Tak jarang makanan gosong, keasinan, serta kurang matang tersaji di atas meja makan. Namun, Leo tak protes. Dia tidak mengejek masakan istrinya. Justru, hal itulah yang membuat Leo makin mencintai Putri. Wanita itu rela hidup miskin bersamanya. Membangun biduk rumah tangga berdua tanpa bantuan siapa pun. Dan di rumah ini, dua orang yang pernah menjadi teman baik kini berbagi dalam segala hal. Suka, duka, dan juga tawa. 

"Kamu pasti lelah," ucap Leo sambil memagut bibir istrinya yang ranum. Wanita itu menggeliat dan tangannya mencengkeram bahu suaminya dengan kuat dan gelora gairah pun menggelegak.

"Terima kasih, Leo. Terima kasih karena telah memberikan kebahagiaan padaku."

"Aku ingin menjadi suami dan ayah yang baik untuk anak kita. Itu kan yang kamu inginkan?"

Putri tersenyum lalu memeluk suaminya. Leo dengan sigap membuka baju istrinya dengan perlahan. Memberinya cinta, kehangatan, serta jalan kenikmatan tak berujung hingga sebuah telepon masuk ke ponselnya pria itu terpaksa berhenti. 

"Halo?"

"Leo?" Suara yang terdengar asing itu membuat Leo mengerutkan dahi. "Alex. Papanya Putri."

"Oh. Iya, Pa," jawab Leo kaku lantaran ini pertama kalinya mereka berkomunikasi karena Alex tak datang saat pernikahan Leo dan Putri. 

"Ibunya Putri sedang di ambang kematian. Bisakah kamu menolong Papa untuk membujuk Putri agar mau menemui ibunya?"

Leo menatap istrinya dengan ragu. Dia tidak tahu apakah dia akan berhasil meminta Putri untuk menemui ibu kandungnya atau tidak, tapi Leo tahu bahwa di hati Putri masih tersimpan luka menganga yang diakibatkan oleh ibu dan ayahnya.

***

"Untuk apa dia meneleponmu?" tanya Putri dingin ketika Leo mengatakan bahwa Alex-lah yang menghubunginya.

"Papa bilang ibumu sakit keras dan ingin kamu menemuinya."

"Ibu siapa? Mama baik-baik saja, kok!"

Leo merengkuh istrinya ke dalam dadanya yang masih telanjang. Dipeluknya wanita itu dengan hati-hati. "Kamu masih membenci papa dan ibumu? Tidak bisakah kamu memaafkan mereka, Sayang?"

"Kamu sendiri bagaimana?" Putri menyentakkan pelukan Leo dan menggeser tubuhnya agar menjauh. "Apakah kamu sudah memaafkan ayahmu karena telah menyakiti ibumu? Apakah kamu memaafkannya karena telah menikah lagi dan menelantarkan anak-anaknya?"

"Sayang ...." Leo berusaha meraih tangan istrinya. "Cerita kita tidak sama. Papamu tidak pernah memukul mamamu dan papamu masih memperhatikanmu."

"Apa bedanya, Leo? Bukankah kita sama-sama menjadi korban keegoisan mereka. Gara-gara papa aku tak percaya pada pria mana pun."

"Tapi kamu percaya padaku, kan? Leo menggenggam tangan Putri dan menciumnya dengan mesra. "Selain Andi, Om Rahman, aku adalah satu-satunya pria yang kamu percayai kan, Sayang?"

Putri tak menjawab, tetapi sorot matanya seolah berkata bahwa aku mempercayaimu, Leo. Jika bukan padamu kepada siapa lagi aku hendak percaya. "Haruskah kujawab, Leo?"

"Tak perlu. Aku sudah mengetahui jawabannya, Sayang," balas Leo sekali lagi memagut bibir Putri dengan mesra, lembut, dan penuh kasih sayang. Sekali lagi ranjang mereka yang berdecit menjadi saksi percintaan keduanya di malam yang panas. Putri semakin mencintai suaminya dan Leo makin tak kuasa menahan hasratnya. Dia menyesal kenapa tak dari dulu saja dia melakukannya dan memilih memperhalankan egonya sebagai pria.


0 Comments