BAB 10: ISTRI KEDUA SUAMIKU

 


Bagi Karin, ada dua peristiwa di mana ia merasa malaikat maut sedang mengincarnya. Yang pertama saat dia melahirkan Bagas dan yang kedua adalah ketika nanti dia tidur di meja operasi dan membiarkan dokter-dokter itu membelah kepalanya dengan pisau tajam. Membayangkannya saja sudah membuat Karin bergidik sampai tidak bisa makan, apalagi jika nanti dia harus berhadapan dengan situasi itu. Oh, Tuhan! Keluh Karin tak habis pikir.

"Ma, tinggal di rumah Opa enak, deh. Banyak mainan," celoteh Bagas sambil mengerjakan PR yang diberikan oleh gurunya. Ketika pulang sekolah tadi, Pak Mamat mengantarkan majikan barunya itu untuk menemui Karin dan nanti malam Pak Mamat juga yang akan menjemputnya. 

"Bagas senang tinggal di rumah Opa?"

"Iya, tapi gak seru kalau gak ada Mama."

"Bagas gak kangen Papa?" 

Bagas meletakkan pensilnya dan menoleh ke arah Karin. "Kangen, sih. Mama kangen gak sama Papa?"

Karin terdiam dan tersenyum tipis. "Mama lebih kangen Bagas daripada Papa. 

"Bagas juga!" katanya lagi lalu kembali mengerjakan PR matematika yang membuatnya pusing tujuh keliling. "Kenapa sih Ma harus ada pelajaran matematika?" tanya Bagas kesal karena sejak tadi otaknya buntu mengerjakan perkalian dan pembagian. 

"Ya agar kita bisa berhitung."

"Bagas sudah pinter ngitung duit, kok. Gak perlu pakai rumus ngitungnya."

Nah, ada benarnya juga. Karin jadi ikut-ikutan berpikir kenapa harus ada matematika di dunia ini? Toh, kalu hanya untuk menghitung duit saja tak perlu pakai rumus, kan? Dan ketika Karin sibuk memikirkan hal itu, dia tak sadar bahwa Dokter Brian dan Suster Mala sudah berdiri di hadapannya. "Selamat siang, Bu Karin."

Errgh! Mata Karin melirik tak senang ketika melihat Dokter Brian. Entah kenapa dia membenci dokter itu sampai ke ubun-ubun. Padahal, kenal saja tidak. Dokter Brian juga tak pernah berbuat salah padanya, tetapi entah kenapa saat dekat dengannya pria itu seolah-olah membawa aura permusuhan. 

"Siang," jawab Karin ketus. 

"Sus, tolong periksa tekanan darahnya, ya."

"Baik, Dok." Suster Mala langsung memeriksa tekanan darah Karin dan mencatatnya di status pasien. 

"Ada keluhan, Bu?" tanya Dokter Brian ramah.

"Tidak." 

Suster Mala yang mendengar jawaban Karin jadi kesal dan menganggap wanita itu perempuan yang kasar. 

"Sudah selesai, Dok," kata Suster Mala singkat dan langsung kembali berdiri di belakang Dokter Brian. 

"Jangan lupa besok pasien harus mulai puasa sebelum operasi."

"Baik, Dok."

"Kalau begitu, kami permisi dulu, Bu," ucap Dokter Brian tak lupa dengan senyumnya yang manis, tapi begitu akan membuka pintu, langkah pria itu terhenti karena pertanyaan Bagas.

"Dokter, kenapa sih harus ada pelajaran matematika?"

Dokter Brian berjalan mendekati Bagas kemudian duduk di sofa. "Karena matematika dibutuhkan dalam banyak bidang pekerjaan. Bagas tahu roket?"

Anak itu mengangguk cepat dan menatap Dokter Brian dengan penasaran. 

"Untuk membuat roket, pesawat luar angkasa, kapal, para ilmuwan dan teknisi harus menghitung terlebih dahulu sebelum membuat kerangka. Bagas punya HP?"

Bagas menggeleng cepat. "Gak punya, Om. Mama yang punya, tapi gak ada kameranya kayak HP teman-teman bagas."

Duuh, anak itu! Karin jadi merasa malu mendengar jawaban anaknya.

"Nah, untuk membuat HP dengan fasilitas canggih, teknisi juga membutuhkan matematika. Sekarang Bagas paham?"

"Enggak. Bagas gak suka matematika."

Dokter Brian mengelus kepala Bagas dengan lembut. Bukan karena dia menyukai anak-anak atau terbiasa dengan mereka, tetapi ada perasaan lain terhadap Bagas. Perasaan yang muncul ketika dia bertemu dengan Karina di rumah sakit ini.

"Kalau jadi dokter, harus pintar matematika juga, Om?"

"Bagas ingin jadi dokter?"

"Iya. Soalnya ...."

"Soalnya?" Dokter Brian mengernyitkan dahi. 

"Gak jadi, Deh!" kata Bagas kemudian lari dari ruangan itu. 

"Bagas? Jangan keluyuran jauh-jauh!" teriak Karin yang sudah hafal sifat anaknya. Anak itu sehari saja tidak main, pasti kakinya gatel. 

"Oke, Maaa!" teriak Bagas yang suaranya perlahan menghilang.

***

Bagas berlari kencang setelah membeli es krim di kantin rumah sakit agar es krimnya tidak leleh. Dia berlari melewati kamar ibunya menuju kamar paling ujung, kamar yang dihuni oleh teman baru yang dia dapat ketika Karin dipindahkan ke kamar VIP. "Echa ...," panggil Bagas membuka pintu dan gadis cilik yang sedang menonton televisi itu langsung tersenyum. Dia tahu siapa yang datang, anak lelaki yang akhir-akhir ini sering menemaninya bermain.

"Bagas? Kamu sudah pulang sekolah?"

"Hmph! Aku baru selesai mengerjakan PR-ku. Ini untukmu," balas Bagas menyodorkan es krim rasa caramel pada Echa. Gadis itu langsung mengambilnya dan perlahan membuka bungkus es krim. "Terima kasih, ya. Punyamu mana?"

"Aku sedang tidak ingin makan es krim. Kamu makan saja. Mama dan Papamu belum ke sini?"

Echa menggeleng pelan. "Belum. Mereka masih sibuk kerja." Ada segurat kekecewaan di mata Echa dan Bagas bisa melihatnya dengan jelas. "Mama dan Papa bekerja keras untuk membayar biaya rumah sakit. Itu makanya aku tidak boleh sedih."

"Sekarang kan ada aku," kata Bagas menepuk dadanya dengan bangga. Besok aku akan datang lagi dan membawakanmu sesuatu!"

"Rambut nenek!"

"Rambut nenek?" Bagas mengulangi kata-kata Echa.

"Iya. Aku ingin makan rambut nenek. Dulu ada di depan sekolahku, tapi ...."

Bagas menepuk pelan bahu Echa yang terlihat ringkih. "Aku akan mencarikan rambut nenek untukmu! Aku janji."

"Sungguh?" Mata Echa berbinar. Sejak kehadiran Bagas di dalam kehidupannya, hari-harinya terasa berbeda. Anak itu mampu mengembalikan senyumnya dan kadang-kadang tingkah konyolnya membuat Echa melupakan rasa sakitnya. Di usia yang baru tujuh tahun, Echa berperang melawan kanker yang menggerogogoti tubuhnya. 

"Hum! Aku janji! Besok aku akan datang lagi setelah pulang sekolah."

"Aku akan menunggumu. Aku juga akan berdoa untuk Mamamu agar operasinya berjalan lancar." Dan Bagas baru ingat Mamanya. Dia tak boleh lama-lama bermain di kamar Echa agar Karina tidak khawatir. 

"Terima kasih. Aku pergi dulu, ya."

Echa melepas kepergian Bagas dengan senyuman. Dan setelah lari dengan kecepatan maksimal, akhirnya dia sampai juga di ruang inap ibunya. 

"Mama!" teriak Bagas terengah-engah dan mendekati Karin. 

"Bagas? Dari mana saja kamu?"

"Mmm anu. Beli es krim!"

Karina menyipitkan mata dan memandangi putranya. "Mana es krimnya?"

"Sudah habis. Ma?" tanya Bagas yang langsung memeluk kaki ibunya. "Mama gak akan mati kan, Ma?"

Karin tersenyum dan memeluk putranya dengan erat. "Mama tidak akan mati, Sayang. Tidak sebelum membuat perhitungan dengan Mas Adam," batin Karin yang hanya menyimpan kalimat itu cukup di dalam hatinya. 

0 Comments