Bab 9: ISTRI KEDUA SUAMIKU


 "Bagaimana keadaan Karin, Dok?" tanya Mama begitu Dokter Brian selesai memeriksanya. Meskipun masih muda, Dokter Brian adalah spesialis bedah saraf terbaik di Jakarta. Dia juga yang selama ini merawat Papa dan terus memberinya semangat agar mau melakukan operasi dan terapi. 

"Beradasarkan konfirmasi Ibu Anggun tentang riwayat kesehatan Bu Karin, saya rasa beliau harus melakukan pemeriksaan sekali lagi. Dari hasil CT scan itu nanti baru kita bisa memutuskan bagaimana selanjutnya."

"Tidak perlu!" celetuk Karin yang sudah merasa bosan di rumah sakit sambil mendengarkan omelan Mama. "Saya tidak sakit. Dokter tidak perlu repot-repot memeriksa saya."

"Karin!" sentak Mama yang merasa malu dengan kelakuan anaknya. 

"Tidak apa-apa, Bu. Usia memang tidak menjamin kedewasaan seseorang," balas Dokter Brian dengan sabar dan senyumnya yang memesona tak pernah hilang dari bibirnya. 

"Hahaha!" Anggun tak bisa menahan tawanya, tatapi tawa itu berhenti saat Karin menatapnya dengan tajam. "Ups. Sorry deh sorry."

"Nanti siang kami akan melakukan CT Scan. Tolong jangan biarkan pasien makan dan minum terlebih dahulu."

"Dokter mau membunuh saya?"

"Karin!" sentak Mama meradang. Dia heran, apa sih yang merasuki anaknya?

"Tidak apa-apa, Bu Ros. Saya sudah biasa menangani pasien seperti ini."

"Baik, Dok. Maaf telah merepotkan," jawab Mama yang tak enak hati. Oh, betapa mengagumkannya dokter muda di hadapannya itu. Tampan, berwibawa, dan terlihat orangnya penyabar. Seandainya saja Karin belum menikah, Mama tak keberatan memiliki menantu seperti Dokter Brian.

"Tidak masalah, Bu Ros. Oya," kata Dokter Brian lalu berbalik ke arah Karin yang berwajah masam. "Puasa beberapa jam saja tidak akan membuat manusia mati, Bu Karina Santoso, tapi saya sering mendengar bahwa orang yang selalu marah-marah, maut sering mengincarnya."

Sialan! Pikir Karin jengkel. Dia itu dokter atau tukang jagal, sih?

Anggun tertawa terbahak begitu Dokter Brian dan suster keluar dari ruangan itu. Dia tidak peduli pandangan Karin yang seperti ingin mencekiknya, tetapi ada orang yang bisa mengimbangi sahabatnya, Anggun begitu puas. 

"Kayaknya Dokter Brian naksir kamu deh, Rin."

"Lama-lama mulutmu harus dibawa ke ketok magic, Nggun!" sambar Karin dongkol melihat Bagas yang sedang dikupaskan jeruk oleh Papa.

"Ember! Kamu kira mulutku moncong bemo yang habis nabrak trotoar?"

"Ya, kali tuh mulut turun mesin!"

"Opa, turun mesin itu apa?" tanya Bagas yang sudah menghabiskan setengah buah jeruk. Sejak tadi dia duduk di pinggir ranjang dan sesekali memijiti kaki Papa. Karin tidak heran kalau anaknya cepat akrab dengan kakeknya meski baru kali ini mereka bertemu. Toh, bagaimana pun Bagas mewarisi darah Santoso. 

"Coba tanya Mamamu."

"Ma, turun mesin itu apa?" tanya Bagas setelah tidak nendapatkan jawaban dari kakeknya. 

"Apa, ya?" Karin ikut-ikutan bingung. Turun mesin ya turun mesin. Memang ada penjelasannya? "Turun mesin itu mobil yang rusak dan perlu diperbaiki agar bisa jalan lagi."

"Kayak Mama yang sakit? Perlu diobati biar sembuh?"

"Cucu Opa memang pinter!" Santoso mengelus rambut cucunya. Anak itu memang mirip dengan orang yang tidak disukainya, tapi Santoso sangat berharap Bagas bisa menjadi penerus keluarganya. 

"Bagas kan cucunya Opa. Makanya pinter!" 

Semua orang tertawa mendengar ucapan Bagas. Sementara Mama yang sejak tadi duduk di samping Karin berkata dengan pelan. "Relakah kamu meninggalkan anakmu di tangan perempuan lain, Rin? Mama dan Papa tidak akan memintamu bercerai. Setidaknya, pikirkanlah Bagas. Bagaimana jika dia harus hidup tanpa seorang ibu?" Karin termenung sambil memperhatikan Bagas yang bermain dengan kakeknya. Senyumnya, tawanya, Karin ingin melihatnya lebih lama lagi. Dan hari itu juga dia memutuskan untuk melakukan CT scan dan serangkaian proseduri dengan Dokter Brian sebelum melakukan operasi pengangkatan tumor di otaknya. 

"Kapan operasinya, Dok?" tanya Mama dengan perasaan tegang seperti saat pertama kali tahu bahwa suaminya menderita kanker otak dan harus segera dioperasi untuk mencegah penyebaran. Dia merasa ujian bertubi-tubi menghantam keluarganya. Mula-mula keluarganya yang terpecah belah karena Karin meninggalkan rumah, suaminya sakit, dan kini anaknya yang harus bertaruh nyawa di ruang bedah. Oh, Tuhan. Entah besok ujian apa lagi yang akan Engkau berikan?

"Rabu depan."

"Dua hari lagi?"

Dokter Brian mengangguk mantab. "Tim dokter anestesi, spesialis saraf, dan saya sendiri yang akan melakukan operasinya."

"Yakin saya tidak mati kalau opersi di tangan dokter seperti Anda?" cibir Karin dengan senyum mengejek.

"Karin!" sahut Mama kesal. Ada apa sih dengan anak itu? Tiap kali ketemu dengan Dokter Brian sikapnya menjadi makin buruk. Seperti tak pernah diajari sopan santun oleh orangtuanya. 

Dokter Brian tersenyum ramah pada Mama. Senyum paten seorang dokter muda yang banyak digandrungi perawat dan juga dokter koas. "Tidak apa-apa, Bu," kata Dokter Brian tenang dan Mama semakin memujanya. Berkat dialah suaminya kini menjadi semakin membaik meski harus tetap melakukan terapi. "Sepertinya Bu Karin harus lebih mengenal saya."

"Siapa yang mau kenal dengan Anda?"

"Tak kenal maka tak sayang kan, Bu?"

Karin tak menjawab lagi dan hanya menggerutu sambil membaca majalah yang dibawakan oleh Mama. Dia heran, kok bisa-bisanya rumah sakit sebesar ini mempekerjakan dokter yang kurangajar seperti dia. 

"Pak Santoso jadi pulang hari ini?" tanya Dokter Brian pada pasiennya yang sebenarnya sudah boleh pulang beberapa hari lalu, tetapi memutuskan untuk tetap tinggal menemani Karin. 

"Iya, Dok. Cucu harus sekolah, saya juga butuh refreshing. Lama kelamaan di sini saya bisa sakit lagi karena mendengar anak saya ngomel tiada henti."

Dokter Brian menahan senyumnya. "Kalau begitu saya akan mempersiapkannya. Ingat, harus datang terapi tepat waktu, dan jangan masuk kantor dulu."

Santoso mengangguk ramah dan menghargai perhatian dokternya. "Terima kasih, Dokter. Sekarang cucu saya sudah kembali, jadi saya ingin punya umur panjang."

"Bagus. Keinginan untuk sembuh adalah salah satu obat mujarab."

"Cih. Dokter memang pandai bicara supaya laku, kan?" cecar Karin mengkal.

Santoso hanya mendesah panjang dan tersenyum. "Maafkan anak saya, Dok. Kelamaan tinggal di hutan."

"Kalau Pak Santoso perlu pawang untuk menjinakkan, hubungi saja saya," balas Dokter Brian sebelum keluar ruangan untuk memeriksa pasien selanjutnya. 

"Kok bisa sih orang kayak gitu jadi dokter?" gerutu Karin begitu pintu tertutup kembali. "Tidak ada ramah-ramahnya jadi dokter!"

Papa dan Mama saling pandang lalu mengangkat bahu. "Kalau bukan Dokter Brian, tak ada yang mau punya pasien sepertimu, Rin," balas Papa santai. Dia tak sabar lagi ingin pulang dan bermain dengan cucunya. Selama tinggal di rumah sakit, Karin sudah setuju menitipkan Bagas di rumah orangtuanya. 

"Banyak kok dokter lain di Jakarta yang lebih hebat dari dia."

Mama yang sedang mengemasi barang Papa langsung nyeletuk dengan santai. "Iya, tapi gak ada yang mau ngurus pasien badung kayak kamu!"

0 Comments