Bab 4: Istri Kedua Suamiku

Novel istri kedua suamiku


 "Mas! Kenapa sih dari tadi bengong terus?" tanya Irene kesal karena sejak tadi Adam terlihat melamun dan gelisah.

 Lelaki yang sedang memegangi sendok itu pun langsung menjawab,"Ah, enggak kok. Siapa bilang aku bengong?" 

"Gak bengong tapi dari tadi diajak ngomong gak nyambung!" balas Irene kesal setengah mati. "Lihat tuh Gea sejak tadi murung karena Mas Adam gak nyahut saat diajak ngomong!" lanjut Irene lagi dengan kesal. Meskipun tadinya mereka sama sekali tak ada rencana makan di luar rumah, tapi Gea merengek ingin makan di restoran kesayangannya. Sebagai anak satu-satunya, Irene tentu tak akan menolak. 

"Ah, maafkan Papa ya, Sayang," balas Adam dengan kikuk Adam langsung mengelus rambut putrinya. Dengan cepat ia mencium pipi Gea meski pikirannya sedang melayang ke mana-mana. Ia yakin sekali bahwa perempuan yang barusan ia lihat adalah Anggun, sahabat istrinya, Karina.

 Adam langsung kuatir, bagaimana jika Anggun mengatakan pada Karin bahwa dirinya sedang bersama perempuan lain. Dan sialnya, tadi Gea memanggil Adam dengan sebutan 'papa' menggunakan suaranya yang lantang dan nyaring.

 Tuhan ... apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menghubungi Anggun dan meminta agar dia tidak mengatakan apa pun pada Karin?

"Mas? Mas!" sentak Irene yang makin kesal lantaran Adam justru melamun. 

"Ya? Kamu sudah selesai makan?" tanya Adam mengalihkan pembicaraan. 

"Kamu menjengkelkan sekali hari ini, Mas!" sentak Irene kesal. "Gea masih mau makan?"

Gea menggeleng cepat. Ia mengucek matanya yang terasa berat. "Gea ngantuk, Ma. Pa, kita pulang, ya?"

"Baik, Sayang. Biar Papa gendong, ya." Adam langsung mengangkat tubuh putrinya yang mungil dan meninggalkan Irene dengan seorang pelayan yang menyerahkan bill pada istri keduanya. 

"Pa? Malam ini Papa tidur sama Gea, kan? Gea kangen dibacakan buku cerita sama Papa," tanya Gea begitu Adam meletakkan tubuh Gea di kursi belakang.

"Papa gak bisa, Sayang. Lain kali, ya?"

"Gak mau lain kali! Gea maunya malam ini! Papa gak sayang ya sama Gea?" 

"Papa sayang sama Gea. Papa sibuk. Papa janji, lain kali Papa akan tidur dan bacain Gea dongeng," bujuk Adam ketika Gea merengek.

Irene yang telah berada di belakang Adam pun menyahut dengan ketus,"Lain kali kapan? Nunggu Gea sudah dewasa? Atau nunggu kiamat?"

"Sayang ...." Dengan segera Adam menutup pintu mobil agar Gea tak mendengar percakapan mereka. "Jangan bicara seperti itu di depan anak kita."

"Hmmpph! Salah sendiri kamu selalu plin plan! Aku sudah capek Mas jawabin pertanyaan Gea kenapa Papanya jarang ada di rumah! Sekarang gini aja, deh. Pilih Karin atau aku? Aku sudah lelah jadi istri keduamu!"

Adam tak bisa menjawab karena dia tak bisa memilih. Karina dan Irene sudah menjadi bagian dalam hidupnya serta sama pentingnya. Terlalu rakuskah jika dia ingin memiliki keduanya? 

Irene yang sedang gondok tak bicara lagi hingga mereka sampai di rumah, tak ada lagi perdebadan, apa lagi perbincangan. Bahkan, hingga sampai di tempat tidur pun Irene masih tak mengacuhkan suaminya. 

"Yakin masih mau marah?" tanya Adam yang berinisiatif membuka pembicaraan. Dipeluknya punggung Irene dan dikecupnya mesra. Kalau sudah begini, pertahanan wanita itu pasti akan roboh. Adam memang pandai mencari celah untuk memadamkan amarah istrinya. 

"Berikan aku anak lagi, Mas," desah Irene begitu kenikmatan menggelayuti tubuhnya. Suaminya memang perkasa dan itulah yang disukainya dari Adam. Dia pandai menggugah hasrat wanita yang tak lagi muda sepertinya. "Aku ingin punya banyak anak darimu." Dengan begitu kamu pasti lebih memilihku, lanjut Irene dalam hati karena dia tak ingin merusak malam yang indah ini. Malam di mana hanya ada dia dan Adam.

***

Sudah jam dua belas malam, tapi Karin tidak bisa memejamkan mata meski sudah mengantuk. Entah kenapa aku jadi memikirkan perkataan Anggun tadi. Bagaimana kalau Mas Adam benar-benar selingkuh? Ah, tapi rasa-rasanya tak mungkin, kan? Mas Adam yang kukenal begitu alim, tanggung jawab, dan juga tak pernah main mata dengan para gadis kalau kebetulan kami sedang jalan bersama, tapi Anggun bukan tipe orang yang asal bicara. Kalau tidak ada api, tak mungkin tak ada asap. Pikiran itu terus saja berkecamuk di otak Karin. Tumben-tumbenan dia memikirkan suaminya. Biasanya dia percaya saja kalau suaminya mengantar bosnya ke luar kota.

"Ah, daripada bertanya-tanya terus, lebih baik aku telepon saja Mas Adam saja, deh." Karin bangkit dari tempat tidur dan dan mengambil ponsel di atas meja. Setelah beberapa kali mencoba menelepon Adam, akhirnya yang ketiga-lah yang diangkat. Karin menarik napas dalam-dalam sebelum menyapa suaminya. Dia memasang telinga baik-baik agar bisa mendengar apa pun suara yang ada di sekitar Adam. 

"Halo, Mas. Sudah tidur, ya?" tanya Karin basa-basi. "Aku kok tiba-tiba kangen ya sama Mas Adam."

"Halo, Rin. Iya, nih. Capek banget. Aku juga kangen Rin sama kamu," jawab Adam merasa tak bersalah sedangkan Irene yang tidur di pelukannya merasa jengkel bukan main. Buat apa sih perempuan itu telepon malam-malam begini? Gerutu Irene pelan.

"Kapan pulang, Mas?"

"Tumben tanya? Ada apa?"

"Bosnya Mas Adam laki-laki atau perempuan, sih?" Baru kali ini Karin bertanya bertanya tentang bosnya dan Adam sendiri harus berbohong. Tak mungkin kan dia bilang bahwa bosnya seorang perempuan? Adam belum siap didamprat istrinya.

"Laki-laki, Rin. Tumben tanya. Ada apa?" balas Adam curiga. Apakah tadi Anggun berkunjung ke rumahku atau menelepon Karin dan mengatakan bahwa aku bersama wanita lain? Pikir Adam mulai resah dan cemas. Dia belum siap menghadapi kenyataan kalau istri pertamanya tahu dia menikah lagi dan sudah memiliki seorang putri. 

"Yasudah kalau gitu. Selamat istirahat ya, Mas. I love you."

Baru akan mengetik balasan I love you too, Irene sudah menyambar ponsel suaminya. "Buat apa sih dibalas, Mas? Bilang saja kamu sudah tidur."

Adam berusaha sabar kemudian mengelus rambut Irene yang setengah basah. "Jangan bilang kamu cemburu."

"Apa salahnya cemburu dengan suami sendiri? Mas lebih sayang aku atau dia, sih?"

"Lho, kok jadi tanya gitu."

"Gak dosa kan kalau tanya? Tidak ada larangannya kan di dalam kitab suci?"

Lelaki itu akan memakai cara lain, cara liar yang selalu disukai Irene. Kalau hanya adu mulut, tak akan pernah selesai pertengkaran mereka. Selain itu Adam menyadari betul betapa kuat dan nekat istrinya kalau sudah punya keinginan. Tak heran di usianya yang masih duapuluhan, ayahnya menyerahkan perusahaan di tangan Irene dan berkat dialah perkembangan usaha keluarganya di bidang properti berkembang sangat pesat karena keuletan dan kerja keras Irene. 

***

"Gas, Bagas ...." Karin yang baru selesai membuat sarapan memanggil Bagas. Ayam sudah berkokok dan matahari sudah mulai terlihat, tapi anak itu masih belum bangun juga. "Bagas? Sudah jam enam. Ayo bangun."

Anak itu tidak kelihatan juga batang hidungnya. Terpaksa Karin masuk ke kamar anaknya dan yang benar saja, anak itu masih molor. 

"Bagas, bangun. Kamu sekolah kan hari ini?"

Bagas menggeliat dan mengucek matanya yang masih mengantuk. "Bagas malas sekolah, Ma."

Karin menarik selimut Bagas dan menepuk-nepuk pantat anaknya. "Ayo bangun. Gak ada kata malas-malas."

"Papa belum pulang ya, Ma?"

"Belum. Nanti deh Mama tanyain kapan Papa pulang. Sekarang kamu bangun dan mandi. Mama gak mau kamu bolos sekolah. Ingat, sekolah bayarnya mahal."

"Iya iya," gerutu Bagas langsung menyahut handuk yang tergantung di pintu. Kalau mamanya sudah ngomel begini, Bagas iyain aja biar cepat kelar. 

Bagas buru-buru mandi dan memakai seragamnya sebeelum Karin membuka mulut.

 "Ma? Kaos kaki Bagas mana?" tanya Bagas begitu dia mencari-cari kaos kakinya, tapi tidak ketemu. 

"Kemarin kamu taruh mana? Baru sekali pakai, kan? Besok baru ganti yang baru."

"Memangnya Bagas punya kaos kaki baru?"

"Maksudnya yang sudah dicuci!" jawab Karin gemas sambil membuatkan segelas susu untuk Bagas.

"Ma, di mana kaos kaki Bagas?" 

Hufft. Tiap pagi kalau gak ada drama nyari sesuatu, rasanya kurang lengkap kehidupan Karin. Dia berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar Bagas dan langsung berjongkok melihat ke bawah kasur. Seonggok kaos kaki warna putih yang digulung-gulung ada di sana. "Nih! Dari kemarin kan ada di sini."

"Tadi pas Bagas nyari gak ada." Bagas meringis aambil memakai kaos kakinya yang sudah longgar.

"Lain kali nyarinya pakai mata, jangan pakai yang lain."

"Kan ada Mama yang seperti detektif!" 

Ada rasa bangga di dalam hati Karin. Betul juga kata anaknya, tiap kali Bagas kehilangan sesuatu pasti Karin selalu bisa menemukannya, tapi setelah itu muncul rasa sedih di hatinya. Bagaimana nasib Bagas nanti kalau kankernya membesar dan saat itu juga belum ada pengganti dirinya? Karin tak bisa membayangkan Bagas hidup tanpa seorang ibu. 


0 Comments