Bab 5: ISTRI KEDUA SUAMIKU


 Bagas sudah berangkat sekolah dan di rumah reot itu hanya tinggal Karin seorang yang sedang sibuk membereskan rumah meski rumah mertuanya tetap begitu-begitu saja. Perabot lama, cat kusam, dan juga tak punya taman seperti rumah ayahnya. Belum lagi jarak rumahnya dan tetangga yang hanya satu meter yang jangankan teriak, berbisik saja mereka bisa saling dengar. Rumah-rumah di pinggiran kota memang beda dengan rumah masyarakat elit. Jangankan suara tetangga yang sedang bertengkar atau berisiknya saat mereka sedang menyetel radio yang sedang siaran acara campur sari, tembok pagar saja tak jarang lebih tinggi dari pemiliknya. Kadang-kadang Karin heran juga dengan dirinya sendiri. Kok bisa sih dulu dia cinta mati dengan Adam dan rela hidup dalam kemiskinan? Karin ... Karin ... cinta memang buta.

"Karin!" teriak seorang wanita yang tanpa menoleh pun Karin sudah tahu siapa itu. Siapa lagi kalau bukan Anggun? Sampai detik ini cuma gadis itu satu-satunya yang mau berteman dengan anggun yang tempramental. 

"Dari mana? Tumben pagi-pagi sudah ke sini?" tanya Karin meletakkan sapu yang sudah patah, tapi sayang untuk dibuang. Pokoknya selama masih dipakai, hukumnya haram kalau mau beli lagi.

"Dari surga! Ya dari rumahlah!" sahut Anggun nyolot. Pokoknya kalau ketemu Karin, darahnya langsung tinggi. Untung saja dia belum kena stroke. "Ikut aku, yuk," kata Anggun lagi.

"Ke mana? Gak lihat aku lagi bersih-bersih rumah?"

Anggun mengawasi rumah sahabatnya dan rumah itu tidak kelihatan bersih tuh meski sudah dibersihkan tiap hari. "Rumah kayak gini tuh harusnya dibongkar, Rin. Bukan dibersihin. Mau kamu bersihin satu juta kali, gak akan ngaruh!"

"Kalau itu aku juga tahu."

"Nah, tunggu apa lagi? Buruan ganti baju, deh! Buang tuh daster butut."

Karin melihat dasternya yang memang sudah bulukan. Batiknya tak lagi kelihatan seperti batik dan warnanya kusam seperti wajahnya. "Enak aja main buang-buang. Ini bisa dijadikan keset estetik, tauk! Di rumahmu pasti gak ada kan keset dari daster?" jawab Karin tak mau kalah. Bukan Karina Santoso namanya kalau tidak beragumen meski dalam keadaan salah sekalipun. 

***

"Ngapain sih ngajakin aku kemari?" tanya Karin ketika mereka sampai di sebuah kafe berkelas di tengah kota. Entah kapan terakhir kali Karin menginjakkan kaki di tempat-tempat mewah. Dia sudah lupa. Pagi- pagi begini cafe sudah ramai oleh anak muda. Entah yang beneran pesan kopi dan makanan atau hanya sekadar numpang pakai WIFI. 

Anggun menggamit lengan sahabatnya dan mengajaknya berjalan ke arah meja yang sudah dipesan. "Sarapan. Sudah lama kan kita gak ngafe bareng?" 

"Aku sudah lama gak sarapan makanan bule," jawab Karin kesal. "Kamu kenapa, sih? Sejak kemarin aneh, deh."

"Aneh gimana?"

"Bilang kalau Mas Adam selingkuh dan hari ini ngajakin ke kafe pagi-pagi."

"Denger deh, Rin." Anggun menghentikan langkahnya dan terpaksa Karin ikut berhenti, tapi gadis itu sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.

"Denger apa? Ditunggu dari tadi diem aja," semprot Karin gerah to

"Seaneh-anehnya aku, lebih aneh kamu!"

"Sialan!" gerutu Karin melanjutkan jalannya dan diikuti Anggun yang masih memegangi lengan temannya. "Kirain mau ngomong apa. Dasar!"

"Jangan marah-marah terus deh, Non. Ingat tuh keriput yang makin numpuk. Pasti situ gak pake skin care dan dompet care, kan?"

Belum sempat Karin membuka mulut dan balas mencerca Anggun, dia telah melihat sepasang mata yang sedang menatapnya dengan rasa sakit dan kerinduan. Wanita itu duduk di meja pojok dengan dua sofa panjang yang terlihat empuk. Ingin rasanya Karin lari dari sana, tapi Anggun memang licik. Dia memegangi tangan Karin dengan erat dan setengah menyeretnya mendekati meja. 

"Pagi, Tante. Maaf ya Anggun telat."

"Gak apa-apa, Nggun. Ayo duduk, Tante sudah pesan sarapan untuk kalian." 

Anggun langsung menyuruh Karin duduk di pojokan agar tak bisa lari. Sedangkan dia sendiri duduk di pinggir menjaga tawanan agar tidak kabur. "Mama juga sudah pesankan pancake untuk kamu, Sayang," lanjut Mama dengan senyum tulus pada Karin. Sudah lama dia memimpikan hari ini, bertemu dengan putri satu-satunya. 

"Tidak usah. Aku sudah sarapan di rumah."

Mama menghela napas pelan. Dia tahu kalau Karin masih marah padanya dan juga suaminya, tapi tidak bolehkan seorang ibu merindukan anaknya sendiri?

"Temani Mama sarapan, ya. Mama belum makan," jawabnya berusaha sabar.

"Ke mana para pembantu di rumah Mama? Atau jangan-jangan suami Mama sudah bangkrut dan tidak bisa lagi memberi makan istrinya?" tanya Karin ketus seperti biasa. Sejak diusir oleh Papa dan Mama sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, Karin tak mau menemui mereka lagi meski Mama kerap datang ke rumah suaminya.

Hati Mama nyeri mendengar ucapan anaknya sendiri, tetapi ia masih mencoba untuk menahannya. Dia tidak mau pertemuannya dengan Karin rusak. "Papa sedang sakit. Kamu mau menengoknya, kan?" kata Mama dengan harapan hati anaknya akan sedikit melunak.

Karin tidak menjawab, tapi jauh di dalam lubuk hatinya dia kaget mendengar ayahnya yang dulu gagah dan keras kepala sedang sakit. Parahkah sakitnya? Sudah sembilan tahun tak bertemu, apakah Papa masih marah padaku? Karin bertanya pada dirinya sendiri. Namun, Karin jika dia mau mengalah. Dalam keadaan cemas pun dia masih bisa menyakiti hati Mama.

"Sakit apa? Papa kan punya banyak uang yang bisa menyembuhkannya. Percuma dong punya uang banyak, tapi sakit."

"Karin!" bentak Anggun yang merasa sahabatnya sudah kelewatan. "Seperti itukah sikapmu pada orang yang sudah melahirkanmu?"

"Seperti itu gimana? Omonganku gak salah, kan?"

"Salah! Kamu kekanakan, pendendam, dan tidak tahu cara menghormati orangtua!"

"Kamu benar!" Karin berdiri dari tempat duduk dan naik ke atas sofa. Dia tidak peduli beberapa pasang mata melihatnya. "Aku kekanakan, pendendam, dan tidak tahu cara menghormati orangtua. Itu sebabnya aku pulang saja. Oke? Selamat menikmati sarapan ala orang kaya kalian!" tandas Karin langsung melompati sofa dan berlari meninggalkan kafe. Mama yang sejak tadi menahan tangisnya kini tak bisa membendung rasa sedih itu lagi. Oh, Tuhan ... sudah tertutupkah jalan mereka untuk bersatu kembali sebagai sebuah keluarga?

0 Comments