BAB 6: ISTRI KEDUA SUAMIKU

 

Novel Istri kedua suamiku


"Maafkan Anggun ya, Tan. Anggun gak bisa mencegah Karin pergi," ucap Anggun penuh sesal dan ikut sedih melihat Mama menangis. Sudah lima menit dan wanita paruh baya itu tak bisa menghentikan air matanya yang jatuh ke pipi. 

"Tidak apa-apa, Nggun. Bukan salahmu."

"Anak itu adatnya memang jelek, Tan. Sudah jadi orangtua, tapi sifat jeleknya tak berubah," gerutu Anggun kesal. Rasanya dia ingin pergi ke rumah Karin dan memberi pelajaran padanya. Biarpun sahabat, kalau salah tetap salah, kan?

Mama mengusap air matanya dan memegang tangan Anggun dengan lembut. "Jangan marah dengan Karin, ya. Dia memang keras seperti papanya."

Anggun mendesah pasrah. Itulah orangtua. Meskipun anaknya berkelakuan buruk, tetap saja dibela. "Kalau Anggun punya anak model begitu, udah Anggun ceburin ke sungai, Tan!"

Rosmia tertawa kecil mendengar ucapan Anggun. "Sayangnya jika itu anak kandungmu sendiri, kamu tidak akan tega, Nggun. Sebanyak apa pun kesalahan anak, orangtua pasti akan memaafkan."

"Itu karena Tante terlalu baik! Mau Anggun antar ke rumah sakit, Tan?"

Mama menggeleng pelan dan mengeratkan genggaman tangannya. "Tante ingin minta tolong satu hal padamu, Nggun. Kamu mau kan menolong Tante?"

"Katakan saja, Tan. Anggun pasti bantu."

***

"Berhasil menemui anakmu?" tanya Santoso ketika melihat istrinya masuk ke dalam ruang rawat inap VIP yang belakangan jadi tempat tinggalnya. Meski Papa sudah tahu apa yang terjadi dari raut wajah Mama, tetap saja kurang afdal kalau belum istrinya sendiri yang mengatakan. 

"Anak Papa juga, kan?" jawab Mama lesu kemudian duduk di samping ranjang suaminya. "Obatnya sudah diminum, Pa?"

"Papa bosan minum obat. Minum obat gak langsung bikin Papa sembuh, kan?"

Rosmia mendesah. Tidak anak, tidak bapak, sama-sama keras kepala. "Setidaknya Papa jangan mati dulu sebelum baikan sama anak."

"Bukan Papa yang rugi, kok."

"Yakin?" tanya Mama kesal sambil mengupas jeruk untuk Papa. "Terus buat apa selama ini Papa bayar orang untuk mengawasi Anggun? Jangan dikira Mama gak tau."

"Itu khayalan Mama saja," jawab Papa sambil mengambil jeruk yang diberikan Mama dan langsung memasukkan ke dalam mulut. 

"Kalau cuma khayalan Mama, foto-foto siapa yang ada di laci meja ruang kerja Papa?" 

Papa langsung tersedak mendengar kata-kata istrinya. Untuk biji jeruknya belum ketelan. "Mama ngawasin Papa, ya?"

"Apa salahnya? Kita menikah gak cuma sepuluh dua puluh tahun. Mama tahu kebiasaan Papa."

"Berarti Mama juga tahu kan kalau Adam punya selingkuhan?"

"Apa bedanya tahu atau gak? Toh Papa sudah ngasih amplop itu ke Mama, kan?" jawab Mama yang tahu persis apa yang ada di dalam amplop coklat yang tadi diberikannya pada Anggun. Rosmia tahu semuanya meski dia tidak pernah bertanya pada suaminya. Sering Mama melihat Papa termenung sambil memandangi foto masa kecil Karin. Mama juga tahu kalau Papa menyewa seorang detektif untuk selalu mengawasi anak dan cucunya. Foto-foto mereka sampai menumpuk di laci dan hanya itulah yang bisa mengobati kerinduan Papa. Rindu seorang ayah yang dibalut oleh kesombongan dan tak mau mengalah pada putrinya.

"Pa ...."

"Apa?"

"Papa yang nyuruh Mama untuk menemui Karin kan, Pa?"

"Hmmm."

"Karin keburu pergi sebelum Mama berhasil ngomong."

"Terus?" tanya Papa yang sudah menduga akan begitu kejadiannya. Santoso sudah hafal sifat anaknya. Dari kecil Karin memang tak suka ditentang, apa pun kemauannya harus diruruti.

"Anggun bilang Karin sudah kena kanker kayak Papa."

Hati Papa langsung lemas mendengar putrinya mendapat penyakit menurun darinya. Kanker memang tidak disebabkan oleh genetik, tapi 5-10% terjadi akibat faktor keturunan. Biarpun sampai detik ini mereka masih berkeras dengan ego masing-masing, anak tetaplah anak. Dan Karin adalah putri kesayangan Santoso, padanyalah Santoso pernah menaruh banyak harapan sebagai penerus keluarga. 

"Sudah diangkat tumornya? Itu jalan satu-satunya supaya tidak kankernya tidak menyebar, kan?" tanya Papa dengan nada yang dibuat setabah mungkin. 

Mama memeluk suaminya dan menangis di dadanya yang tak lagi bidang seperti dulu. Dada itu kini tingg tulang yang keras seperti sifat suaminya. "Karin tidak mau, Pa. Anggun sudah membujuknya, tapi anak itu tetap keras kepala."

"Itulah anakmu. Sombong, keras kepala, dan hanya mau menuruti pikirannya sendiri."

"Lakukan sesuatu, Pa. Mama tidak sanggup kalau kehilangan anak kita selamanya."

Papa melepaskan pelukan istrinya dengan berat hati lalu berkata ,"Kamu sudah kehilangan Karin sejak dia meninggalkan kita, Ma. Mama belum lupa, kan? Dia lebih memilih laki-laki yang telah menyelingkuhinya daripada kita, orangtuanya sendiri."

***

"Rin? Karin?" Anggun sejak tadi mengetuk pintu rumah Karin, tapi Karin tak mau membukanya. Dia yakin sekali kalau sahabatnya ada di dalam rumah. Habisnya, mau ke mana lagi? Dia tidak punya teman atau tempat lain sebagai pelampiasan kemarahan.

"Oke, aku tahu kamu marah sama aku, tapi setidaknya dengarkan perkataanku. Papamu sakit kanker, Rin. Kanker otak."

Karin yang sedang duduk di sofa bututnya bisa mendengar jelas apa yang dikatakan Anggun. Wanita itu berdiri dan berjalan ke arah pintu, tetapi tidak membukanya. Dia hanya menempelkan telinga di daun pintu dan menunggu Anggun melanjutkan kata-katanya.

"Kanker Om Santoso ketahuan saat stadium tiga, Rin. Dia baru menjalani operasinya."

"Terus? Apa urusannya denganku?"

Anggun menarik napas lega karena Karin akhirnya bersuara. Ternyata hatinya tidak keras-keras amat seperti batu kali. "Om dan Tante takut kamu juga kena kanker. Makanya Mamamu ingin minta tolong aku untuk mempertemukan kalian."

"Jangan bilang kalau kamu sudah mengatakan ke Mama bahwa aku sudah kena?"

Anggun terdiam. Dia tidak menjawab pertanyaan Karin dan alhasil wanita itu jadi jengkel sendiri. "Nggun? Ditanya kok gak dijawab, sih?"

"Makanya keluar. Kayak orang pacaran lagi marahan aja, sih?"

"Males, ah," jawab Karin jual mahal. 

"Yaudah kalau gitu. Aku mau pulang aja."

Sialan! Gerutu Karin yang lekas membuka pintu sebelum Anggun ngacir. "Nyebelin amat sih jadi orang."

"Biarin. Weeeks. Kamu sendiri juga nyebelin, kan?" 

"Cepetan jawab pertanyaanku!" kata Karin yang langsung duduk di kursi bambu yang ada di dekat pintu. 

"Yaelah, sok jual mahal banget sih, Non."

"Bodo amat!"

Anggun mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop coklat tebal yang langsung diletakkan di pangkuan Karin. "Aku sudah bilang ke Tante kalau kamu stadium dua. Dan ini ada titipan dari Om. Terserah deh kamu mau buka apa gak."

"Apaan? Duit?"

"Auk." Anggun mengangkat bahunya karena memang tidak tahu apa isi amplop itu. "Kalau penasaran buka saja sendiri." Dan sampai Anggun pulang pun amplop itu tidak dibukanya. Entah kenapa ada sesuatu yang merayap di hati Karin, sebuah perasaan tak enak dan menakutkan kalau saja dia membuka amplop itu. 

0 Comments