Bab 8: ISTRI KEDUA SUAMIKU

 


"Yang di amplop coklat," jawab Bagas dengan santai. Dia tetap melanjutkan makannya, tetapi beda dengan Karin yang terlihat panik.

"Amplop yang Mama taruh meja?" tanya Karin setengah tak percaya, setengahnya lagi penasaran. 

"Humm."

 Karin segera lari menuju ruang tamu dan langsung menyambar dan membuka amplop yang lemnya sudah terbuka. Mula-mula Karin memejamkan mata dan berdoa agar kata-kata Bagas adalah dusta. Namun, sayangnya doa itu tidak terkabul. "Mama gak tahu dalamnya foto?" tanya Bagas yang sudah berada di belakang punggungnya. Dia juga penasaran foto siapa sebenarnya itu. Bagas tak ingat punya Tante selain Tante Anggun.

Karin mengambil satu lembar foto dan masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya kemudian menjawab dengan suara gemetar. "Gak tahu, Sayang," kata Karin sambil mengamati lagi foto itu. Pria yang terlihat tampan itu, meski dipotret dari jauh, Karin bisa mengenalinya. Itu Adam, suaminya. Pria yang ia pilih dan rela meninggalkan keluarganya. Namun, siapa wanita yang digendengnya dengan mesra? Karin tak mengenali wanita itu. Wajahnya juga tidak terlalu jelas.

"Tadi ada foto anak kecil juga, Ma. Itu siapa? Keponakannya Papa? Kok Bagas gak tahu."

Karin langsung menumpahkan semua foto yang ada di amlpop itu. Puluhan foto langsung teronggok di atas meja dan beberapa ada yang berjatuhan di lantai. "Inikah bos yang selama ini dilayani Mas Adam?" gumam Karin ketika melihat foto Adam dan Irene yang sedang berjalan bergandengan tangan. Diambilnya foto lain ketika Adam sedang menemani wanita yang sama pergi ke klinik. Yang membedakan hanya perut wanita itu yang buncit. Di foto lain, Karin melihat foto suaminya sedang menggendong bayi, di foto yang lain lagi bayi itu telah menjelma menjadi gadis cilik yang cantik dan menggemaskan. Dan Karin kini bisa menyatukan kepingan misteri dari foto-foto itu. Suaminya telah memiliki istri lain dan dari pernikahan itu benih yang dia tanam telah bersemai.

"Ma! Mama!" teriak Bagas ketika kesadaran Karin mulai hilang dengan sakit kepala yang tidak tertahankan dan tubuhnya limbung dengan hati yang hancur. Suaminya yang ia kasihi, yang dia percayai, dia telah memiliki istri lain selain dirinya. Dan kini Karin merasa bodoh karena selama ini dia meminta Adam untuk mencari istri lain agar bisa menggantikannya saat ia mati nanti.

***

"Karin ...," ucap Mama lirih ketika melihat putrinya terbaring lemah dan tidak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Dengan segera dia mendekati Karin menggenggam tangannya dengan lembut. "Kenapa dengan Karin, Nggun?" tanya Mama pada Anggun yang duduk bersama Bagas.

"Dia pingsan setelah melihat foto-foto yang Tante berikan. Untung saja bagas menelepon Anggun."

"Bagas?" Mama baru sadar bahwa ada anak kecil yang sedang duduk di sofa. Selama bertahun-tahun dia hanya bisa melihat Bagas dari jauh dan diam-diam menyewa orang untuk mengambil foto bagas, kini Mama bisa melihatnya secara langsung. Oh, Tuhan. Akhirnya kini dia bisa memeluk cucu satu-satunya. "ini Oma, Sayang."

"Oma? Neneknya Bagas?"

Mama mengangguk dengan air mata berlinang lalu memeluk cucunya. "Benar, Sayang. Oma neneknya Bagas."

"Tapi, kata Mama Bagas gak punya nenek."

"Sekarang Bagas punya Nenek dan Kakek."

Meskipun masih tidak begitu mengerti, Bagas ikut memeluk Mama dan mengelus punggungnya dengan lembut. "Jangan menangis, Oma. Kata Tante Anggun, Mama pasti sembuh." 

"Benar, Sayang. Mama pasti sembuh." Sekali lagi Mama menangis. Tangisan yang mengisyaratkan kebahagiaan karena sekarang dia yakin anak dan cucunya akan kembali ke pangkuannya.

***

Saat mata Karin terbuka, orang yang dilihatnya pertama kali adalah Santoso yang berada di samping ranjangnya. Laki-laki itu sedang membaca buku dan sesekali mengawasi putrinya yang belum sadarkan diri. Semalam, Mama meminta dokter dan perawat agar memindahkan Karin ke kamar suaminya agar lebih mudah merawat mereka. 

"Papa?" gumam Karin yang belum menyadari bahwa dirinya sedang ada di rumah sakit. 

"Sudah bangun?" tanya Santoso seperti biasanya. Sinis dan terdengar kasar. Padahal, sejak semalam dialah yang paling panik saat mengetahui putrinya jatuh pingsan. Dia ingin ikut ke ruangan Karin, tetapi dilarang oleh Mama.

"Aku kira aku sedang bermimpi," balas Karin yang langsung bangun dari tidurnya dan dia baru menyadari bahwa tangannya sedang ditusuk jarum infus. 

"Anggap semua yang terjadi padamu adalah mimpi dan pulanglah ke tempatmu yang semestinya."

Wanita itu tersenyum kecut. Entah oleh ucapan Papa atau karena teringat perselingkuhan suaminya. Keduanya sama-sama tidak menyenangkan dan terasa pahit. "Sudah puas menghancurkan rumah tangga Karin, Pa?"

Santoso menutup bukunya dan menoleh pada Karin. "Jadi, kamu lebih suka dibohongi oleh suamimu daripada tahu kenyataan yang sebenarnya?"

"Itu urusan Karin. Papa tidak perlu ikut campur dan mengirimkan foto-foto itu pada Karin."

Pria paruh baya itu memegangi dadanya yang nyeri. Betulkah dia putri yang dulu pernah digendongnya? Anak yang selalu dimanjakannya dan dipenuhi segala kebutuhannya. Entah dosa apa yang pernah dilakukannya sehingga anaknya sendiri tak pernah bisa memahami maksudnya. Tak pernah mengerti kasih sayang yang ditujukan padanya.

"Karin!" teriak Mama ketika memasuki kamar setelah mengajak Bagas dan Anggun sarapan di kantin rumah sakit. "Begitukah caramu membalas niat baik Papa? Mama kecewa denganmu."

"Lalu apa yang Mama inginkan? Mama dan Papa ingin Karin menceraikan Mas Adam?" tanya Karin sinis. "Itu kan yang kalian mau sejak dulu?"

"Cerai atau tidak urusanmu!" balas Mama dengan kecewa lalu duduk di sofa. "Tapi hanya wanita bodoh yang mempertahankan suami yang telah menyelingkuhinya."

"Mama dan Papa mau cerai?" suara Bagas tiba-tiba terdengar dan dia berjalan tegak bersama Anggun. "Kalau Mama dan Papa cerai, Bagas mau ikut Mama, Oma, dan Opa."

"Tuh. Anakmu lebih pintar daripada kamu, Rin," sindir Anggun yang ikut-ikutan duduk di sofa sedangkan Bagas mendekati Karin dan memeluk kakinya.

"Bagas benci Papa. Dia yang membuat Mama pingsan. Waktu Bagas telepon Papa, henponnya mati. Makanya Bagas telepon Tante Anggun. Mama cepet sembuh ya, Ma ...." 

"Maafkan Mama sudah membuat Bagas khawatir."

"Mama janji gak akan pingsan lagi, kan? Bagas gak mau Mama sakit."

"Mama janji, Sayang," balas Karin memeluk putranya dengan erat dan tanpa terasa air matanya pun berlinang. Kini dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Apakah membiarkan dirinya digerogiti penyakit kanker begitu saja dan membiarkan Bagas diasuh oleh ibu tirinya? Atau membiarkan dirinya bertaruh nyawa di meja operasi lalu merebut kembali suaminya? Namun, pantaskah seorang Adam diperjuangkan?


0 Comments