BAB 20: ISTRI KEDUA SUAMIKU

Istri kedua suamiku

 "Aku ingin kamu segera menceraikan istrimu, Mas," kata Irene begitu mereka selesai makan malam.

"Bisakah kita bahas soal ini lain kali, Ir? Aku harus pulang sekarang. Karina pasti sedang menunguku."

"Mas yakin Karin sedang menunggumu pulang?" Pertanyaan Irene membuat perasaan Adam tak karuan, tetapi dia tahu Irene bukanlah wanita yang suka membual. Sebagai seorang pemimpin perusahaan, Irene tidak suka banyak bicara. Setiap apa yang dia bicarakan memiliki makna tersembunyi dan Adam tahu persis soal itu. 

"Apa maksudmu, Ir?"

"Ya, bukan hal mustahil kan dia selingkuh, Mas?" senyum Irene tersungging kemudian berjalan melangkah ke kamarnya. "Hati-hati saat pulang, Mas. Jangan lupa kunci pintunya."

Adam sendiri heran dengan sikap istri keduanya malam ini. Di satu sisi dia ingin agar dia segera menceraikan istri pertamanya, di sisi lain Irene mengusirnya. Huh, dasar wanita! Sulit ditebak apa kemauannya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Karina belum menangkap tanda-tanda bahwa Brian ingin segera pulang. "Sudah jam sembilan," kata Karin berharap agar pria itu peka dan tahu diri. Namun, mustahil mengharapkan dokter muda itu untuk peka. Dia justru tersenyum jahil dengan tatapan tak senonoh.

"Saya tidak keberatan menginap di sini."

Sialan! Pikir Karina gemas. Entah ngidam apa ibunya saat hamil dia dulu. Sikapnya benar-benar ... urgh! Tak bisa ditebak. "Pulanglah sebelum digrebek warga."

"Justru itu yang saya tunggu. Saya gak keberatan kok kalau digrebek dan disuruh kawin."

Rahang Karin mengeras. Kok ada ya laki-laki tak tahu malu seperti ini?

"Dokter ... bersikaplah seperti orang yang bermartabat."

"Saya rela menjadi orang yang tidak bermartabat jika itu demi orang yang saya cintai."

Cinta? Karina diam membisu. Tak menanggapi. Dia sudah lama tak mendengar kata cinta. Htinya juga entah kapan terakhir merasakan yang namanya cinta. Sejak menikah dengan Adam, cinta yang dulu menyala-nyala bak api membara, perlahan padam. Lalu, ketika dia menemukan suaminya berselingkuh dan memiliki anak dari perempuan lain, hatinya mati. 

Saat ini yang Karin inginkan hanya satu. Membalas rasa sakit hatinya pada Irene dan Adam. Suami yang dia percayai dan demi dialah Karin meninggalkan gemerlapnya dunia. 

"Saya lelah. Tidak mau mendengarkan candaan Anda, Dok."

Pria itu menggeser posisi duduknya. Mendekati Karin dengan tatapan mata yang tajam, tetapi bukan karena ingin menerkam layaknya harimau. Melainkan untuk menunjukkan keseriusannya. 

"Saya serius," kata Dokter Brian mantap. Ia mengambil tangan Karina dan menggenggamnya. Sesaat, Karina kehilangan kesadarannya. Dia terhipnotis. Entah sudah berapa lama tak ada yang menggenggam tangannya dengan begini. "Bercerailah dengan suamimu. Saya berjanji akan membahagiakanmu, Rin. Jika kau ingin membalaskan sakit hatimu, bukankah lebih baik jika sudah bercerai?"

Karina tak mampu bicara apa-apa. Dadanya berdegup sangat kencang seperti genderang yang ditabuh ketika ada perayaan imlek. Dia tahu lelaki di depannya itu tampan dan juga memiliki tubuh yang sempurna. Tak hanya itu, kariernya juga cemerlang. Namun, yang tidak ia mengerti satu hal. Kenapa dia menyukai perempuan seperti dirinya? Tak hanya fisiknya saja yang minus, terlebih lagi istri orang. Sudah kehilangan akalkah dia? Atau menganggap Karin adalah wanita yang mudah dipermainkan untuk kesenangan sesaat?

"Jika Anda mengira saya mudah dipermainkan, Anda keliru, Dokter," kata Karina cepat-cepat menarik tangannya sebelum jantungnya copot dan jatuh ke lantai. "Saya bukan wanita gampangan." Karin berdiri dan hendak berjalan menjauh, tetapi sayang dia kalah cepat. Brian lebih dulu menari tubuh Karin hingga terjatuh ke atas tubuhnya. Sesaat, tubuh Karin memanas. Dipandanginya alis tebal di depannya, bibir yang memerah dan jambang yang sedang berusaha tumbuh dengan liar. Rasanya, sekarang Karin ingat kapan terakhir kali dia mengalami perasaan semacam ini. Ada percikan-percikan api yang membara di hatinya. Iya, perasaan itu terakhir kali ia rasakan saat dia masih berpacaran dengan Adam dulu. Di mana cintanya tak lagi terbendung dan rela melakukan apa pun demi pemuda itu.

"Tidak mungkin aku jatuh cinta pada dokter ...." Belum sempat Karin menuntaskan pikirannya, pintu rumah tiba-tiba terbuka dan teriakan seorang pria yang dia kenal mulai terdengar.

"KARIN! Apa-apaan ini?" Sekonyong-konyong Adam berlari ke arah sofa dan menarik tubuh Karin dengan kasar. "Kau berselingkuh di rumahku? Inikah kelakuanmu saat aku tak ada?" Sebuah tamparan yang keras melayang di pipi Karin. Terasa keras. Amat sakit. Namun, yang lebih sakit bukan pipinya. Bukan sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Melainkan hatinya yang terasa amat pedih dan nyeri. 

Melihat wanita itu diam termangu dengan memegangi pipinya, Brian langsung bangkit dan memukul wajah Adam. Adam tak siap menangkis, dia jatuh tunggang langgang ke lantai karena Brian memukulinya bertubi-tubi. Sebagai seorang pria yang dibakar amarah dan cemburu, Adam tak mau mengalah begitu saja. Ia menendang perut Brian hingga pemuda itu jatuh. Adam menginjak perut dokter muda itu dua kali, dan Brian langsung menarik kaki Adam hingga lelaki itu terjungkal. Melihat keduanya babak belur, barulah Karin kembali ke kesadarannya. Ia berteriak sekencang-kencangnya dan kedua lelaki itu pun akhirnya berhenti. Tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang. Dua-duanya sama-sama bonyok. Tak hanya perut mereka yang sakit karena terkena tinju, tetapi rahang mereka juga terasa mau patah. 

"Cukup Mas Adam!" teriak Karin ketika Adam hendak melayangkan tinjunya lagi ke arah Brian. "Dokter, ayo kita pergi." 

Karin menarik tangan dan mengajaknya berjalan ke arah pintu. Namun, langkah kakinya terhenti ketika Adam mengucapkan kalimat dengan nada dingin dan bengis. 

"Karin, berhenti di sana. Jangan pernah melngkah keluar dari pintu. Atau ...."

"Atau apa?" tantang Karin dengan suara tak kalah dinginnya. "Ingin memukulku? Membunuhku?" 

"Satu langkah lagi kau keluar dari pintu itu, aku akan menceraikanmu."

Kaki Karin terpaku di lantai. Ia tak mampu menggerakkannya sekeras apa pun mencoba. Karin memang hendak menceraikan suaminya, tetapi ketika kata CERAI itu keluar dari mulut Adam sendiri, rasanya berbeda. Ada yang menusuk-nusuk di dadanya. Meskipun dia telah menyiapkan diri untuk bercerai, tetapi kenapa rasanya sesakit itu saat mendengarnya dari pria yang pernah dicintai?

"Oke. Mari kita cerai," sahut Karin parau. Dia berjalan tanpa menoleh sedikit pun dan langsung masuk ke dalam mobil Brian. Pria itu mengikutinya tanpa bicara apa-apa, dia hanya menyetir mobil menyusuri jalan tanpa tujuan dan begitu melihat taman dengan parkir yang luas di pinggir jalan, ia berhenti di sana. 

"Sekarang menangislah."

Karin menggenggam erat roknya. Tubuhnya gemetar hebat. "Siapa yang ingin menangis?"

"Kalau kau malu, saya bisa keluar," kata Brian membuka pintu perlahan. Namun, langkahnya terhenti ketika ada tangan yang tiba-tiba melingkar di perutnya dengan air mata yang tidak lagi bisa tertahankan.

"Jangan pergi. Biarkan aku meminjam punggungmu."

Brian kembali menutup pintu dan membiarkan Karin menangis. Di satu sisi ia sangat marah karena tidak bisa menjaga Karin. Dia membiarkan wanita itu dipukul oleh suaminya, tetapi di sisi lain dia senang karena pada akhirnya Karina membutuhkannya meski sejujurnya hatinya terasa pedih.

Kenapa kau menangisi pria lain di depanku, Rin ....

0 Comments