"Jangan lanjutkan jika itu menyakitkan. Taukah kamu? Hatiku sakit setiap kali melihatmu menangisi laki-laki lain." Karina teringat kalimat itu lagi. Tepatnya, sudah seminggu terlewati sejak Brian mengucapkan kata-kata itu. Kata yang sederhana, tetapi membekas di hati wanita itu. Dia belum bisa melupakan tatapan Brian yang hangat sekaligus nampak pedih.
"Rin, diminta bos untuk datang ke ruangannya."
Karina mendesah panjang sebelum meletakkan gelas yang belum selesai ia cuci. Baru dua hari ia bekerja di perusahaan madu suaminya, rasanya sudah seperti abad. Irene selalu mengerjai Karina, memperlakukannya seperti budak sama seperti saat pada penjajahan Belanda. Hufft, entah kenapa Karina merasa itu bukan kebetulan semata. Menurutnya, Irene tahu siapa dirinya. Yang tidak Karina tahu adalah tujuannya sendiri, keinginannya untuk menghancurkan hubungan Irene dengan Adam tiba-tiba menguap entah ke mana. Sejak kehadiran Brian dalam hidupnya, sejak dia dekat dengan lelaki itu, kemarahan yang dulu menggunung perlahan mencair.
"Oh, Karin. Betapa bodohnya dirimu!" Karina memukuli kepalanya. Tidak keras, tapi cukup untuk menyadarkannya dari lamunan.
"Makasih, As. Aku akan segera ke kantor bos." Karina mengeringkan tangannya dengan cara mengelapkan pada celananya sendiri sambil berlari.
"Tolong buatkan saya kopi," kata Irene datar begitu mendengar suara pintu terbuka. Matanya tak lepas dari dokumen yang sedang dibacanya, tetapi dia tahu persis siapa yang datang. Wanita yang selama ini dia benci, wanita yang merenggut semua kebahagiannya, dan karena dialah Irene harus kehilangan satu-satunya miliknya yaitu ibunya.
***
"Kapan bapak pulang, Bu? Kok sudah lama bapak pulang. Bapak juga gak pernah ngasih Ibu uang lagi," kata Irene saat pulang sekolah. Didapatinya Ibu sedang termenung di atas pembaringannya karena belakangan sakit Ibu makin parah. "Ibu kan harus ke dokter, Bu."
Ibu gak bisa berkata apa-apa. Dia memalingkan wajahnya dari putri satu-satunya karena tidak tahu bagaimana harus menjawab semua perkataan Irene selama ini. Ke mana bapak? Kenapa tidak pernah pulang? Kenapa gak pernah ngasih ibu uang? Oh, ya Tuhan. Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa bapak telah mencampakkan ibunya dan menikahi perempuan lain yang memiliki segalanya?
Wanita yang terlihat kurus itu hanya bisa menangis diam-diam karena tak sampai hati jika harus menarik Irene ke dalam kubangan kesedihan yang sama.
"Ibu hanya kecapean, Ren. Nanti juga sembuh."
"Tapi sudah seminggu ini asma Ibu makin sering kambuh."
"Tidak apa-apa, Nak. Sekarang pergilah ke rumah bulekmu minta makan. Ibu tidak masak lagi hari ini."
Irene menatap ibunya nanar kemudian mengganti bajunya. Rumah Bulek tak jauh letaknya, persis di sebelah rumahnya. Sejak Santoso menikah lagi, dia telah melupakan anak dan istrinya di kampung. Lelaki itu juga tak pernah lagi mengirimkan uang. Padahal, secara hukum dan agama mereka belum bercerai.
Tadinya Ibu tak percaya ketika adiknya yang bekerja satu pabrik dengan Santoso mengatakan bahwa kakaknya telah kepincut anak gadis bosnya. Namun, saat terakhir kali kepulangan suaminya, Ibu barulah menyadari satu hal. Pria yang dulu pernah mencintainya telah pergi untuk selamanya. Lelaki itu tak pernah mengatakan apa-apa, tidak pernah menggugat cerai, tetapi tiba-tiba saja dia tak pernah pulang dan tak lagi mengirimkan surat.
"Gak masak lagi?" tanya Bulek sinis ketika melihat Irene datang ke rumahnya dengan membawa piring.
"Ibu masih sakit, Bulek."
"Sakit apa gak punya uang?"
Irene hanya diam saja dengan kepala tertunduk. Perkataan buleknya memang benar, ibunya sama sekali tak punya uang. Itu sebabnya Ibu tak pergi berobat, juga tak memasak. Sejak Ibu sakit-sakitan dan tak mampu lagi bekerja sebagai buruh cuci, Irene hanya bisa mengharapkan belas kasihan Bulek karena dialah satu-satunya keluarga yang dia punya.
"Bulek ...." Irene memberanikan diri membuka bibirnya yang mungil dan berwarna kehitamanan. "Tolong bawa Ibu ke dokter, Bulek."
Seketika wanita berperawakan pendek dengan rambut keriting itu membelalakkan mata seolah bola matanya itu akan jatuh ke tanah. "Bawa ke dokter? Kamu kira uang tinggal ngambil di pohon? Sudah jangan macem-macem. Hidup Bulek dan paklikmu sudah berat karena kalian. Dikasih hati kok minta empedu!"
"Tapi, Bulek ...."
"Tapi apa?" Bulek berkacak pinggang dengan gemas. "Masih untung aku berbaik hati padamu dan ibumu, tapi dasarnya benalu, terus merongrong inangnya!"
Irene tak sanggup lagi berbicara karena sedang sekuat tenaga menahan tangisnya agar tak keluar. Gadis cilik itu hanya bisa menggenggam piring yang terbuat dari seng dengan erat. Ia berjalan melewati Bulik dengan hati hancur berkeping-keping menuju dapur. Dia yakin hari ini Ibu belum makan dan dia hanya mau makan ketika Irene-lah yang mengambilkan dan menyuapinya.
***
"Bueh! Apa-apaan ini?" Irene memuntahkan kopi yang barusan dia minum. "Terlalu pahit. Buatkan lagi."
Hah, bukankah tadi dia bilang minta kopi tanpa gula? Pikir Karina kesal. Sejak kapan ada kopi tanpa gula rasanya manis? Wanita picik seperti itukah yang dicintai dan dicintai suaminya? Hah!
"Kok malah bengong? Cepat buatkan lagi?" Irene menyipitkan matanya menahan kesal. Bukannya lekas-lekas pergi ke pantry untuk membuat kopi, Karina justru menatap sinis bosnya.
"Baik, Bu. Akan saya buatkan kopi lagi yang tidak pahit!" Bergegas Karina mengambil cangkir kopi di depan Irene dengan kasar hingga ada kopi yang muncrat dan mengenai jas Irene. Karina langsung lari terbirit-birit. Dia tidak menghiraukan Irene yang menjerit dan mengumpat padanya.
"KARINA KURANGAJAR! Cepat kembali ke sini atau kau akan merasakan akibatnya!"
0 Comments