Bab 23: ISTRI KEDUA SUAMIKU


 "Awww!" teriak Karina ketika pegawai salon kecantikan memenceti hidungnya. Katanya, di sana banyak sekali komedo bersarang dan membuat kulit Karina nampak kotor dan tidak sehat. Ingin sekali Karin mengumpat dan kabur dari sana, tetapi Ririn terus saja merengek agar dia bertahan sampai akhir. Sampai komedo-komedo di wajahnya minggat tak tersisa.

"Masih lama, Mbak?" tanya Karina seperti orang kepedesan. 

"Masih, Mbak. Bagian dagu, dahi, dan pipi kan belum."

Karin menarik napas perlahan lalu menoleh ke sebelah kanan, tempat di mana Ririn sedang di-facial. Gadis itu hanya nyengir kemudian pura-pura tidur. 

Penyiksaan Karina hari ini tak cukup hanya sampai sampai wajahnya. Ada hal yang lebih mengerikan dibanding facial, yaitu brazilian wax! Dia hampir saja lari tunggang langgang kalau saja Ririn tidak memegangi kakinya.

"Mbak, Ririn mohon. Biarkan Embak-embak Salon mencabuti bulu-bulu Mbak Karin!" pinta Ririn yang memegangi kuat-kuat kaki Karina.

"Mbak gak mau, Rin. Mbak bersyukur punya bulu. Gak ada yang perlu dibuang!" teriak Karin tak mau kalah. Dia sudah tak peduli lagi kalau orang di ruangan sebelah terganggu olehnya. Salon kecantikan macam apa ini? Tak hanya menyiksanya dengan cara memencete wajahnya dengan benda tumpul, kini ditambah lagi ingin mencabuti bulunya? BIG NO!

"Ah, Mbak jangan gitu. Ririn mau balas budi, Mbak. Biar Mbak Karin makin cantik."

Karin berusaha melepaskan kakinya dari cengkeraman Ririn, tapi sayang hasilnya nihil. Sepertinya tak hanya watak Ririn yang keras, tenaganya juga.

"Balas budi apa? Ini penyiksaan namanya. Lepasin kaki Mbak, Rin."

"Nooo! Please, Mbak. Mau ya di-waxing, Mbak."

"Gak."

"Mau."

"Gak."

"Mau mau mau!"

"ENGGAK ENGGAK ENGGAK!"

"MAU MAU MAU!" sahut Ririn tak mau kalah.

"Riiinn." Karin mengucapkan nama gadis itu sambil mengeram dan menatap ke bawah, tetapi Ririn tak kehabisan akal. Dia sudah mendongak ke atas dengan tatapan memohon dan dengan mata yang berkaca-kaca. Karin kalah telak dan tidak bisa menghindar lagi. Dan sejak detik itu juga ruangan di mana Karina di-waxing tak pernah tenang. Setiap kali petugas salon kecantikan itu mencabut bulunya ketika wax telah mengering, Karina pasti menjerit dan mengumpat. 

Begitu selesai ritual penyiksaan yang sungguh jahanam itu, Karin melirik Ririn yang sedang duduk di sofa seperti tukang tagih utang. "kenapa kamu gak waxing?"

Ririn bergidik ngeri. "Takut, Mbak. Ngeri deh dicabut-cabut gitu."

"Tapi kamu maksa Mbak buat waxing?" tanya Karina kesal. Ingin rsanya dia mencabuti bulu Ririn agar dia tahu prnderitaan apa yang dialami olehnya. Namun, seperti bayi tak berdosa gadis itu nyengir memperlihatkan giginya dan matanya yang bercahaya memandang Karin seperti seorang Dewi. 

Ririn langsung berdiri dari sofa dan menggelayuti bahu Karina yang wajahnya masam. "Jangan marah-marah terus dong, Mbak. Ntar wajahnya kerutan, loh. Mending kita ngemol aja sekalian cari makan."

Huuh, Karina tak bisa menolak permintaan itu. Dia sendiri juga lapar dan sudah lama tak menginjakkan kakinya di mall.

***

"Mbak, kita ke sana, yuk!" tunjuk Ririn ke arah sebuah restoran yang menjajakan makanan khas Thailand. 

"Kamu yakin mau ke sana? Kita kan cuma berdua?" 

"Yakin, dong!" Ririn menjawab dengan penuh percaya diri. Kapan lagi dia bisa makan enak kalau bukan hari ini? Uang jajan dari kakaknya tak akan bisa mencukupi kehidupannya selama sebulan kalau dibuat makan ke restoran mewah macam ini. Memanfaatkan calon kakak ipar gak ada salahnya, kan? Hehehe ....

"Ayo dong Mbak masuk. Ririn ngiler nih liat gambar ikan segede gitu." Ririn menunjuk ke arah gambar yang terpasang di dinding. Ikan gurame goreng ukuran besar yang disiram saus mangga muda. Karin sendiri sampai menelan ludah ketika membayangkan rasa ikan yang sedikit pedas bercampur asam. Uh, sangat menggiurkan. Tanpa ragu lagi Karin dan Ririn melangkah ke dalam restoran, tetapi langkahnya terhenti ketika matanya menangkap bayangan seseorang yang paling dikenalnya. Bayangan itu lama kelamaan terlihat jelas dan matanya kemudian tertumpu pada sosok perempuan yang duduk di sofa. Wanita itu seperti seorang eksekutif, dari ujung kepala sampai ujung kakinya nampak berkelas. Dan di sebelahnya, Karina melihat seorang anak perempuan yang terlihat cantik dengan gaunnya berwarna pink.

Sesaat napas Karina terasa berat, kepalanya terasa pening, dan pandangan matanya kabur karena tertutupi air mata yang mengembun.

"Mbak, Mbak Karin kenapa, Mbak?" tanya Karin yang cemas karena melihat calon kakak iparnya itu tiba-tiba berwajah pucat. "Tangan Mbak Karin dingin. Kita pulang saja ya, Mbak? Biar Ririn telpon Mas Brian."

Menangkap kekuatiran Ririn, Karin berusaha menabahkan hatinya. Menahan agar air matanya tak terjatuh. Ia menggigit bibirnya dengan keras, menggenggam tangan Ririn kuat-kuat. "Mbak gak apa-apa, Rin. Kita pindah restoran aja, yuk. Tiba-tiba Mbak pengen makan korean food."

"Wah, boleh juga tuh, Mbak. Kita makan hot pot yuk, Mbak."

"Boleh, tapi Mbak juga pengen jajangmyeon."

"Kita beli semua aja deh, Mbak. Mumpung bawa kartu kreditnya Mas Brian!"

"Nah, ketahuan, kan. Kamu cuma manfaatin Mbak aja biar bisa belanja dan nyalon gratis!"

Ririn memeluk lengan Karin dengan erat. Mereka meninggalkan restoran itu dengan tawa yang riang. "Sesekali kan gak apa-apa, Mbak. Habisnya Mas Brian pelit kalau sama Ririn!"

***

Hari sudah petang saat Karin dan Ririn sampai di rumah. Tidak hanya makan, mereka bahkan shopping dan nonton film bersama. Sudah lama Karin tidak merasakan kesenangan seperti hari ini, begitu juga dengan Ririn. Berkat Karin, dia bisa membeli baju dan jam tangan idamannya. Kalau tidak hari ini, kapan lagi dia membeli barang dengan merek ternama itu.

"Belanjaanmu banyak sekali, Rin?" tanya Ibu kaget karena anak itu menenteng banyak sekali belanjaan.

"Bukan punya Ririn kok, Bu! Ini semua punya Mbak Karin. Ya kan, Mbak?" Gadis itu mengerlingkan matanya pada Karin.

"Ini punya Karin, Bu."

Ibu mendesah panjang lalu menjewer kuping putrinya. "Kamu kira Ibu gak tahu kalau kamu bohong, Rin?"

"Ampun, Bu. Ampun. Kuping Ririn bisa copot nih, Bu."

"Ganti saja dengan kuping babi!" Suara itu tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Dengan cepat Ririn menyusul kakaknya, memeluk lelaki itu dengan pelukan paling manja.

"Gak ada yang lebih jelek dari kupi babi, Mas?"

"Ada. Kuping monyet!"

Mereka semua tertawa termasuk Karin. Dipandanginya Brian dengan tatapan hangat dan tiba-tiba rasa menyakitkan tadi siang saat melihat Adam bersama istri keduanya mendadak menguap entah ke mana.

***

"Terima kasih untuk hari ini." Karina memulai pembicaraan setelah hampir sepuluh menit mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Ibu dan Ririn pergi ke arisan RT dan meninggalkan mereka berdua di rumah.

"Mas Brian, pastikan kalian ngapa-ngapain kalau kami pergi, ya," goda Ririn sebelum mereka pergi.

"Sudah lama aku tidak menikmati hidup," sambung Karina membetulkan baju tidur yang menurutnya terlalu seksi dan terbuka.

"Kau bisa bersenang-senang setiap hari jika jadi istriku, Rin."

Karina tak menyahut, tetapi jantungnya berdetak kencang sekali. Seperti genderang yang ditabuh tak karuan.

"Hari ini aku bertemu dengan suamiku dan istri keduanya," kata Karina ragu-ragu.

"Aku tahu. Ririn yang bilang padaku. Katanya kau melihat seseorang yang membuatmu tak jadi masuk ke restoran."

"Kamu tahu?" Karina meremas gaun tidurnya yang terbuat dari kain satin berkualitas tinggi. "Mereka tampak bahagia dan harmonis. Putri mereka juga cantik," lanjut Karina tawar. "Aku iri me ...."

Belum lengkap kalimat Karin, Dokter Brian meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya erat. "Jangan lanjutkan jika itu menyakitkan. Taukah kamu? Hatiku sakit setiap kali melihatmu menangisi laki-laki lain."

0 Comments