Bab 29: Istri Kedua Suamiku


 "Saya berhak membenci siapa pun yang saya inginkan. Anda tidak memilki hak untuk mengatur hidup saya."

Memang tidak. Keluh Santoso di dalam hatinya. Puluhan tahun dia mencari Irene dan ketika kini dia menemukannya, anak gadisnya itu telah banyak berubah. Sebongkah kebencian yang membara di hatinya terpancar jelas dari bagaimana Irene menatap ayahnya. Namun, Santoso tak dapat menyalahkan anaknya. Memang betul kalau semua itu salahnya. Dialah yang berselingkuh dengan anak majikannya dan mengawini gadis manis itu. Karena sedang dimabuk cinta, dia pun lupa pada anak istrinya di kampung. Dan ketika dia ingat, semuanya sudah terlambat.

"Kamu pasti tidak percaya kalau Bapak mencarimu," kata Santoso tanpa bisa menyembunyikan kekecewaan dan rasa bersalahnya. 

"Memang tidak percaya. Yang saya tahu bapak saya meninggalkan anak-istrinya demi menikahi anak gadis bosnya."

"Bapak memang salah, Ir. Dan Bapak meminta maaf."

"Minta maaf tidak akan bisa membuat ibu kembali hidup, kan?"

"Tapi bisa mengurangi dosa Bapak."

"Dosa Bapak tidak akan terampuni. Karena dosa Bapak terlalu besar kepada saya dan ibu." 

Tajamnya lidah Irene seperti belati yang menghujam jantung Santoso, tetapi bagaimana pun sakit hatinya, pedihnya jiwanya, lelaki itu tak bisa menyalahkan Irene. Kalaupun ada yang patut disalahkan, itu adalah dirinya sendiri.

Dialah yang menelantarkan Irene dan ibunya, dan karena dia jugalah Irene ingin membalaskan dendamnya pada Karina, tetapi apa pun yang dilakukan Irene terhadapnya, seketus apa pun perkataan anaknya, Santoso tidak membencinya dan kalau bisa dia ingin membayar dosa-dosanya, tetapi bagaimana dia harus membayarnya? Irene yang sekarang tak kekurangan apa pun. Dia tak lagi membutuhkan uang dari orangtuanya, karena wanita itu bisa mencarinya sebanyak apa pun yang diinginkan.

"Bapak tahu ...." Santoso berkata dengan sirit mata yang sedih. Di dalam suaranya Irene bahkan bisa membaca penyesalan dari ayahnya. "Tapi biarkan Bapak menebus  dosa-dosa, Bapak, Ir. Agar Bapak bisa menjawab saat nanti ibumu bertanya di akhirat."

Irene tetap tak bergeming. Hingga pria itu berlalu, Irene sama sekali tak peduli. Sampai di kerak neraka pun dia tak akan memaafkan Santoso, tetapi betulkah hal itu yang paling dia inginkan? Sungguhkan maafnya tak ada bahkan jika ditebus oleh nyawa ayahnya?

***

"Bagaimana, Pah?" tanya Rosmia begitu suaminya pulang dari kantor Irene. Wajahnya murung dan terlihat pucat. Sambil memegangi dadanya, lelaki itu mendudukkan diri di sofa. "Papah gak apa, kan?" Rosmia bertanya dengan panik. 

"Papa tidak apa-apa."

Tentu saja Rosmia tahu suaminya berbohong. Bibirnya boleh berkata bahwa dia baik-baik saja, tetapi wajah Santoso berkata lain. Wajahnya lebih pucat dari biasanya dan seperti sedang menahan rasa sakit. Tanpa bertanya lagi wanita paruh baya itu mengambilkan air ke dapur, tetapi begitu kembali suaminya sudah tak sadarkan diri dan terpaksa lelaki itu dilarikan ke rumah sakit.

Karena mendapat serangan jantung yang begitu hebat, Santoso harus dirawat di ruang ICU. Pernapasannya dibantu alat dan monitor pendeteksi detak jantung terus saja berbunyi hingga membuat Rosmia berdenyut nyeri. Ia tak tega melihat suaminya terbarung lemah seperti itu, tetapi apa yang dapat dia lakukan? 

Beberapa hari ini suaminya terus saja mengatakan padanya bahwa dia ingin menemui Irene. Rosmia tak melarang. Bahkan ketika Santoso ingin membagi warisan untuk Irene dan Karina, istrinya tidak memprotes. Dia tahu bahwa suaminya telah bekerja keras dan dia berhak membaginya ke pada siapa pun yang dia inginkan, termasuk anak dari istri pertama Santoso. 

"Istirahat saja, Bu," kata Dokter Brian ketika dia muncul di ruang ICU. Dia memang sedang tak memiliki pasien di sini, tetapi begitu tahu Santoso ada di ruang ICU, pria itu cepat-cepat datang padahal dia baru saja keluar dari ruang operasi. 

"Bagaimana Ibu bisa beristirahat, Nak ...." Tatapan Rosmia tak hanya sedih, tetapi juga diliputi ketakutan. Entah mengapa dia merasa hidup suaminya tak akan lama lagi. "Apakah ini alasannya dia meminta pengacaranya untuk menulis surat warisan? Seolah-olah dia tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi."

Dokter muda itu tak menjawab, tetapi tangannya yang kuat, besar, merangkul bahu Rosmia yang terlihat rapuh dan memerlukan sandaran. 

"Karin sudah tahu ayahnya di rumah sakit?"

Rosmia menggeleng pelan. Mana sempat dia memberitahu anaknya. Apalagi Karina sedang bekerja dan sebagai office girl, jabatan paling rendah di kantornya, dia tak diperbolehkan membawa ponsel ketika bekerja. 

"Biarkan saya yang memberitahu Karin, Bu."

"Tidak merepotkan?"

Dokter Brian memperlihatkan senyumnya. Senyum yang paling ramah dan membuat siapa saja terpikat. Dan senyum itulah yang membuat lelah Karina seketika menghilang saat sore itu Dokter Brian muncul di halte bus. 

"Kau terlihat lelah," kata Dokter Brian dengan tatapan mata yang masih melihat ke depan. Ke arah jalanan yang masih penuh sesak oleh kendaraan bermotor dengan mesin yang menderu-deru. Meskipun begitu dia tak keberatan mengisi paru-parunya dengan udara yang sudah tercemar.

Karina mendesah pelan sebelum menjawab. Pikirannya masih terpaku saat tadi dia melihat ayahnya keluar dari ruangan Irene. Dia bertanya-tanya apakah yang dilakukan ayahnya di sana? Urusan bisniskah? Atau urusan suaminya? Tapi, kenapa wajahnya terlihat murung, tertekan, dan nampak sakit? Padahal tadi pagi saat mereka sarapan bersama, Santoso terlihat baik-baik saja.

Belakangan ini memang dia kerap menjumpai ayahnya sering melamun sendirian di teras belakang rumah. Dipandanginya taman bunga mawar kesukaan Rosmia sambil menyesap chamomile hangat yang disiapkan istri tercintanya. 

"Madu suamiku sudah tahu bahwa aku kerja di perusahannya." Karina memulai ceritanya. Dengan nada dibuat sedatar mungkin. "Dulu aku membencinya, tetapi sekarang entah mengapa aku merasa kasihan padanya. Belakangan ini dia juga terlihat tidak baik-baik saja. Aku penasaran dengan apa yang terjadi padanya. Apakah dia sedang ribut dengan Mas Adam? Hari ini aku juga melihat Papa keluar dari kantornya. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku sangat ingin tahu."

"Kenapa tidak bertanya saja pada ayahmu?"

"Mungkin nanti saat tiba di rumah."

Kemudian tanpa Karina duga sebelumnya, Dokter Brian meraih tangannya dan menggenggamnya dengan erat. "Ayahmu sedang di rumah sakit. Serangan jantung."

Karina langsung membekap mulutnya menggunakan tangannya sendiri agar dia tak berteriak karena terkejut. Kenapa tiba-tiba ayahnya kena serangan jantung? Apakah ada hubungannya dengan pertemuan antara ayahnya dan bosnya? 


0 Comments