Toko Kelontong Bu Narsih. Bagian 2


 "Tumben Bapak sudah wangi begini, Pak? Ada guru muda yang cakep, ya?" cetus Bu Narsih ketika melihat suaminya keluar dari kamar dalam keadaan wangi. Tak biasanya dia pakai parfum kalau mau pergi mengajar. 

"Ini kan parfumnya Ibu yang gak pernah dipakai."

"Masak, sih? Ibu kok gak ingat kalau pernah beli parfum?" Bu Narsih berpikir sampai sepuluh kali pun tetap tak ingat kalau dia pernah membeli parfum, tetapi kalau pakai minyak kayu putih atau minyak angin, sering! Pasalnya dia kan kerap kena masuk angin.

"Ibu pasti lupa. Faktor U."

"Faktor U?" Bu Narsih mengernyitkan dahinya. 

"Faktor umur, Bu. Yasudah, Bapak berangkat dulu, ya."

Bu Narsih yang sedang menyapu pun langsung meletakkan sapu dan mencium tangan suaminya. "Hati-hati ya, Pak."

Selepas suaminya pergi, Bu Narsih langsung membuka tokonya dan pelanggan pertamanya adalah orang yang tak pernah disangka-sangkanya. Bu Dona. 

"Kecap satu, Bu Nar." Dengan cekatan Bu Narsih mengambilkan kecap untuk Bu Dona, pegawai negeri sipil yang kerjanya di kantor gubernur. 

"Apa lagi, Bu?"

"Minyak goreng seliter, mi telur dua, telurnya sekilo, sama teh botolnya satu krat, ya."

"Ada acara apa, Bu? Banyak betul belanjanya."

"Mau bikin mi soto. Hajatan mobil baru," kata Bu Dona dengan rasa bangga. "Nanti siang waktu istirahat teman-teman kantor mau ke sini."

Ooo. Hanya itu yang terucap dari bibir Bu Narsih. Habisnya, mau bilang apa lagi? 

"Ini uangnya ya, Bu," ucap Bu Dona meletakkan uang seratus ribu di atas meja. "Kalau kurang, ngebon dulu ya, Bu," katanya lagi sambil mengerlingkan mata yang bulunya sudah dibubuhi maskara.

"Tapi, Bu ... utang yang kemarin-kemarin kn belum dibayar."

"Duh, sama tetangga aja pelit banget sih. Utang juga gak seberapa."

"Bukan pelit, Bu Dona. Saya kan butuh modal biar tokonya jalan." 

"Alah, bilang aja gak boleh utang! Gitu aja kok repot!" sambar Bu Dona dengan wajah yang sudah merah padam, tetapi tangannya tak lupa mengambil belanjaan yang sudah terbungkus plastik di atas meja. 

"Tehnya jadi gak, Bu? Nanti saya anterin!" teriak Bu Narsih ketika Bu Dona sudah berjalan agak jauh dari rumahnya. 

"Gak jadi! Makan tuh teh botol!"

Duh, galaknya. Pikir Bu Narsih ngeri. Zaman sekarang yang utang sama yang ngasih utangan, galakan orang yang berutang! 

***

"Lho, Bu Dona gak masuk kerja?" tanya Sulis, ibu-ibu tukang sayur yang kerap mangkal gang mangga, manggis, dan rambutan. Pokoknya semua gang yang memiliki nama buah, pasti jatahnya si Sulis. Kalau ada pedagang sayur lain yang nyerobot, siap-siap kena kena omel. Meskipun tak ada palang pintu yang menyatakan bahwa ini wilayah Sulis, tapi dia sudah memproklamirkan diri menjadi the one and only pedagang sayur di gang buah-buahan! Siapa yang melawan, berarti mengibarkan bendera peperangan dengan ibu bertubuh kurus dan tinggi itu. 

"Gak, ah. Malas!" jawab Bu Dona sekenanya sambil memilih sayur di dalam keranjang. "Saya lagi sebel sama Bu Narsih. Baru punya toko kelontong aja sombongnya bukan main. Apalagi kalau punya mol? Hmmph! Bisa-bisa jalan gak pakai mata!"

"Terus pake apa dong Bu Kalau gak pakai mata? Masak pakai pantat?"

"Nih, pake kaki!" Bu Dona menunjuk kakinya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya dengan gesit mengambil ayam setengah kilo yang terbungkus rapi di dalam plastik. 

"Lho, ngutang lagi, Bu?" Mata Sulis terbelalak jengkel begitu menyadari Bu Dona sudah berjalan menjauh dari tempatnya mangkal. "Wah, jangan utang lagi dong, Bu. Bisa tekor kalau Bu Dona ngutang melulu!" cerocos Sulis yang mengikuti Bu Dona sampai ke rumahnya. "Masak beli mobil mampu, beli sayur ngutang melulu."

"Besok-besok kan pasti bayar!" sahut Bu Dona kesal sambil masuk ke rumahnya yang terbilang bagus. 

"Besok kapan, Bu Don? Nunggu kiamat? Kalau gak dibayar, mending siniin deh ayamnya." Sulis sudah berkacak pinggang di depan pintu rumah Bu Dona. Ribut ribut, dah. Daripada diutangun melulu. Bisa gulung tikar kalau begini terus. 

"Ih, pelit amat sih jadi orang? Pantes badannya situ kurus kayak tiang listrik!"

"Eh, biarin. Daripada Bu Dona badan subur karena kebanyakan ngutang!"

"Utang saya berapa, sih? Sampai segitunya nagih-nagih?" Bu Dona sudah membelalakkan mata. Hampir saja tuh bola mata copot karena melotot. "KPK aja gak gitu-gitu amat ngejar koruptor!"

"Gak banyak kok, Bu. Harga skin care Bu Dona aja. Cepetan sini kembaliin ayamnya kalau gak mau bayar." Sulis tetap tak mau kalah. Kesabarannya sudah habis menghadapi Bu Dona dan ibu-ibu lain di komplek ini. Modalnya sudah habis-habisan. Kalau terus menerus ngutangin, bisa-bisa dia gak makan, anak-anaknya kelaparan. Hah! Untung lima ratus perak kok tega-teganya diutang! 

Karena kesal sekaligus malu dijadikan bahan tontonan pagi-pagi begini, Bu Dona terpaksa mengambil ayam yang sudah dia masukkan ke dalam kulkas. "Nih! Ayam busuk aja dijual!" Wanita itu melemparkan ayamnya ke lantai lalu menutup pintu rumahnya keras-keras. 

Sulis tersenyum dan berteriak-teriak penuh kemenangan. Pokoknya mulai sekarang say no to ngutang! 

"Pokoknya mulai sekarang Bu Narsih kudu tegas!" kata Sulis begitu sampai di depan rumah Bu Narsih. "Ngutang sih boleh, Bu. Tapi jangan terlalu sering. Kita kan orang kecil, bukan rentenir."

Bu Narsih mendesah pelan. Apa yang dikatakan Sulis itu memang betul, tapi kalau habis itu toko kelontongnya sepi gimana? Atau yang paling parah, dia bisa jadi musuh tetangga-tetangga yang marah karena tidak diberi utang. Wah, bisa repot. "Kalau ngutangin terus, gimana kita muterin duitnya?"

"Gimana ya, Bu Lis ...."

"Bu Narsih kudu tegas! Barang-barang di toko Bu Nar kan kering semua. Gak basah-basah kayak punya saya. Lebih baik lakunya lama, tapi cash. Daripada laku cepet, tapi duitnya macet!"

Bu Narsih manggut-manggut setuju dan mulai memutuskan akan menerapkan apa yang Sulis katakan. Dan apa yang dikatutinya benar-benar terjadi. Tokonya sepi dan parahnya lagi mulai muncul cerita-cerita yang tak sedap didengar di telinga. 

0 Comments